Melihat kondisi saat ini, wabah virus Corona (Covid-19) yang menjadi artis baru yang tengah naik daun sejak awal tahun 2020, bukan hanya di Indonesia namun juga secara global. Hal ini memberikan dampak yang cukup buruk terhadap produktifitas dari banyak komunitas yang ada di Indonesia.Â
Akan, tetapi, situasi ini sejatinya dapat pula digunakan sebagai peluang untuk terus mengembangkan diri, bukan hanya berdiam diri menunggu sampai keadaan membaik. Oleh karena itu, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk berbagi ilmu dan pengetahuan baru terutama perihal sejarah dan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat luas.Â
Inilah yang memantik Association for Scientific Computing Electronics and Engineering (ASCEE) Student Branch Tiongkok bersama Solo Societeit (Komunitas Sejarah di Solo), mengadakan webinar nasional bertema "Tradisi Lisan dan Mitos Pagebluk di Jawa".Â
Kegiatan yang mendapatkan dukungan Imasfek UNSRI (Ikatan Mahasiswa Seni Fakultas Ekonomi), dan Indonesia Students and Youth Forum (ISYF) ini diselenggarakan secara online pada 28 Juni 2020.Â
Tampil sebagai pembicara adalah Heri Priyatmoko, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Dani Saptoni selaku ketua Solo Societeit. Webinar ini diadakan karena selama ini jarang sekali akademisi memberi panggung pada mitos atau gugon tuhon untuk dibedah. Seolah mitos yang hidup dalam memori masyarakat Jawa itu bukan fakta berharga.Â
Pagebluk dalam sudut pandang kawuruh Jawa bukan hanya dari sisi kesehatan, tetapi dalam laku kehidupan manusia. Dani Saptoni menyebut, konsep Kawruh Jawa terbangun dari lima unsur yaitu reaksi terhadap fenomena sekitar, mendefinisikan fenomena yang terjadi, upaya mempertahankan keseimbangan, menciptakan kesadaran terhadap ilmu pengetahuan, dan meleburkan diri dalam keseimbangan.Â
Bentuk pagebluk menurut Dani Saptoni berupa memala (penyakit), sukerta/sukreta (suatu keadaan spiritual yang buruk), lara pataka, dan rajapati yang bisa disebarkan melalui teluh, sawan dan lelembut. Hal ini timbul karena dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berupa kesalahan etik dan etika manusia, pola hidup tidak sehat, dan ketidakseimbangan makro dan mikro kosmos. Sedangkan faktor eksternal berupa takdir (ginaris/pepesthi) dan siklus alam.Â
Masyarakat Jawa memaknai pagebluk sebagai sarana kontemplasi (renungan) dan alarm  ketika harmoni mengalami ketidakseimbangan. Solusi terhadap pagebluk yang dilakukan masyarakat Jawa antara lain Ngelmu Titen (melihat hubungan antara suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya dengan berbasis tradisi).Â
Ngelmu Titen merupakan kearifan lokal yang dapat dipelajari secara tradisional dan turun temurun dari nenek moyang bangsa kita. Selanjutnya adalah berupaya menyeimbangkan kembali harmoni dengan upaya internal berupa menanggalkan kebiasaan lama yang keliru (eling lan waspada) serta upaya eksternal berupa melakukan ritual labuhan, ruwatan, kirab dan barikan. Hal ini agar tercipta kembali keseimbangan antara makro dan mikro kosmos sebagai akibat dari munculnya kesadaran atas Sangkan Paraning Dumadi (cara manusia menyikapi kehidupan ).
Terkait fakta dan mitos pagebluk di Jawa diuraikan secara mendalam oleh Heri Priyatmoko. Menurutnya, pada abad XIX, penyakit kolera yang sempat mewabah, belum ditemukan obatnya.Â
Terlebih lagi, masih sedikit tenaga medis atau dokter yang menangani kesehatan masyarakat. Juga faktor ekonomi yang kurang mampu untuk membeli obat di apotek. Akhirnya alam pemikiran masyarakat tradisional dan erat dengan mistik, mencari cara sendiri yang sulit dinalar alias ora tinemu nalar untuk menanggulangi pagebluk.Â
Misalnya orang Solo pada tahun 1885 melihat Lintang Kemukus di Paseban dan Alun-alun Utara. Mereka berkerumun menyaksikan ekor komet itu dan mempercayai bakal terjadi pagebluk. Ternyata benar, siangnya muncul musibah banjir melumat Solo dan membawa penyakit. Fakta historis tersebut berharga bahwa Lintang Kemukus bukan omong kosong, sebagaimana saat pagebluk Covid-19 masyarakat Yogyakarta menyaksikan Lintang Kemukus.
Fakta-fakta historis lain terkait fenomena pagebluk adalah cerita tentang  penderita kolera dan penyakit kulit lainnya bisa sembuh gara-gara minum tirta umbul di Pengging yang dipakai mandi raja Paku Buwana IX. Sehingga Pengging dijuluki dengan tanah yang sakti tirto panguripan.Â
Fakta lain yang menarik adalah sumur bur di pemandian  Langenharjo (milik Kagungan Dalem Paku Buwana IX dibangun tahun 1870), yang mengalirkan air tawar dan air asin yang mampu mengobati aneka penyakit. Berkat liputan jurnalis koran Bromartani tahun 1892, masyarakat luar Solo berbondong-bondong ke Langenharjo membawa botol dan kendi mengambil "air sakti" tersebut.Â
Bersamaan dengan itu, muncul mitos ramuan suket teki mengobati masyarakat di lereng Lawu yang terkena pagebluk kolera. Ramuan itu dikabarkan pemberian Sunan Lawu kepada petani setempat. Dalam catatan sezaman, tindakan itu diyakini dapat menangkal penyaki. Sunan Lawu yang melegenda ini dihadirkan dalam cerita guna meyakinkan para warga agar memanfaatkan bahan alam itu tanpa merogoh kocek.Â
Ada juga fakta historis ketika masyarakat Yogya mengarak pusaka tombak Kyai Tunggul Wulung saat mewabahnya Kolera pada 1874, 1876 dan 1892. Pusaka tersebut diarak oleh para alim ulama istana. Kalau dibaca dari sudut padang Barat, pasti jatuhnya klenik dan irasional.Â
Bermodal fakta sejarah tersebut, Heri Priyatmoko turut mendorong agar kalangan medis dapat melakukan penelitian air umbul dan suket teki demi kepentingan pengetahuan timur. Kita tidak melulu mengagungkan dunia farmasi Barat, harusnya ada kemandirian sekaligus menghargai warisan kakek moyang.Â
Perlu pula membaca kritis fakta historis yang terekam dalam data berupa serat dan koran sezaman. Menurutnya selain meluaskan wawasan publik perihal penyakit, webinar ini juga menjadi ruang tukar pengetahuan tentang data yang dapat digunakan untuk bahan skripsi, jurnal ilmiah, dan kepentingan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H