Terkait fakta dan mitos pagebluk di Jawa diuraikan secara mendalam oleh Heri Priyatmoko. Menurutnya, pada abad XIX, penyakit kolera yang sempat mewabah, belum ditemukan obatnya.Â
Terlebih lagi, masih sedikit tenaga medis atau dokter yang menangani kesehatan masyarakat. Juga faktor ekonomi yang kurang mampu untuk membeli obat di apotek. Akhirnya alam pemikiran masyarakat tradisional dan erat dengan mistik, mencari cara sendiri yang sulit dinalar alias ora tinemu nalar untuk menanggulangi pagebluk.Â
Misalnya orang Solo pada tahun 1885 melihat Lintang Kemukus di Paseban dan Alun-alun Utara. Mereka berkerumun menyaksikan ekor komet itu dan mempercayai bakal terjadi pagebluk. Ternyata benar, siangnya muncul musibah banjir melumat Solo dan membawa penyakit. Fakta historis tersebut berharga bahwa Lintang Kemukus bukan omong kosong, sebagaimana saat pagebluk Covid-19 masyarakat Yogyakarta menyaksikan Lintang Kemukus.
Fakta-fakta historis lain terkait fenomena pagebluk adalah cerita tentang  penderita kolera dan penyakit kulit lainnya bisa sembuh gara-gara minum tirta umbul di Pengging yang dipakai mandi raja Paku Buwana IX. Sehingga Pengging dijuluki dengan tanah yang sakti tirto panguripan.Â
Fakta lain yang menarik adalah sumur bur di pemandian  Langenharjo (milik Kagungan Dalem Paku Buwana IX dibangun tahun 1870), yang mengalirkan air tawar dan air asin yang mampu mengobati aneka penyakit. Berkat liputan jurnalis koran Bromartani tahun 1892, masyarakat luar Solo berbondong-bondong ke Langenharjo membawa botol dan kendi mengambil "air sakti" tersebut.Â
Bersamaan dengan itu, muncul mitos ramuan suket teki mengobati masyarakat di lereng Lawu yang terkena pagebluk kolera. Ramuan itu dikabarkan pemberian Sunan Lawu kepada petani setempat. Dalam catatan sezaman, tindakan itu diyakini dapat menangkal penyaki. Sunan Lawu yang melegenda ini dihadirkan dalam cerita guna meyakinkan para warga agar memanfaatkan bahan alam itu tanpa merogoh kocek.Â
Ada juga fakta historis ketika masyarakat Yogya mengarak pusaka tombak Kyai Tunggul Wulung saat mewabahnya Kolera pada 1874, 1876 dan 1892. Pusaka tersebut diarak oleh para alim ulama istana. Kalau dibaca dari sudut padang Barat, pasti jatuhnya klenik dan irasional.Â
Bermodal fakta sejarah tersebut, Heri Priyatmoko turut mendorong agar kalangan medis dapat melakukan penelitian air umbul dan suket teki demi kepentingan pengetahuan timur. Kita tidak melulu mengagungkan dunia farmasi Barat, harusnya ada kemandirian sekaligus menghargai warisan kakek moyang.Â
Perlu pula membaca kritis fakta historis yang terekam dalam data berupa serat dan koran sezaman. Menurutnya selain meluaskan wawasan publik perihal penyakit, webinar ini juga menjadi ruang tukar pengetahuan tentang data yang dapat digunakan untuk bahan skripsi, jurnal ilmiah, dan kepentingan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H