Mohon tunggu...
Rusdi Mustapa
Rusdi Mustapa Mohon Tunggu... Administrasi - Guru sejarah yang suka literasi, fotografi, dan eksplorasi

Guru sejarah yang menyukai literasi, fotografi dan eksplorasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Sirnanya Kampung Kauman Mangkunegaran

12 Juni 2018   13:56 Diperbarui: 12 Juni 2018   14:01 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Kauman biasa dijumpai dalam peradaban kota-kota tua di Jawa. Sejak Mataram Islam berdiri, Kampung Kauman merupakan komponen utama yang harus ada. 

Kampung Kauman menjadi salah satu pilar dalam penyebaran Islam sejak kerajaan Demak berdiri. Kata "Kauman" digunakan untuk menyebut orang-orang yang ahli dalam agama Islam. Berasal dari kata "Qaaimuddin" artinya orang-orang yang menegakkan agama Islam. Karena lidah orang Jawa sulit mengucapkannya, maka berubahlah menjadi "kaum". 

Ketika para "kaum" berdiam di suatu tempat maka muncullah istilah "Pakauman" atau lebih dikenal "Kauman" untuk menyebut tempat tersebut. Kampung Kauman sudah ada sejak zaman Sultan Hamengkubuwono I memerintah. Kampung ini biasanya berada di sisi belakang Masjid Agung dan di dekat alun-alun Keraton. Bangunan bertembok lawas, gang-gang sempit, dan masjid besar menandai jati diri kampung ini.

Seperti halnya Yogyakarta, Surakarta juga terdapat kampung Kauman yang terletak di barat Masjid Agung Keraton Kasunanan. Inilah salah satu kampung tertua di mana kejayaan bisnis batik dan syiar agama Islam masa silam masih berjejak. Kampung Kauman mulai tumbuh saat raja Keraton Surakarta Paku Buwono III membangun Masjid Agung Keraton, persis di sisi sebelah barat alun-alun keraton pada tahun 1763-1788. 

Pada era pemerintahan Keraton Surakarta, Islam adalah agama negara. Raja sebagai pemimpin tertinggi politik dan pemerintahan, sekaligus menjadi pemimpin tertinggi agama. Untuk menjalankan fungsi tersebut, sang raja dibantu penghulu yang bertugas mengurusi bidang keagamaan. Dalam menjalankan tugasnya, penghulu dibantu ulama dan para kaum atau abdi dalem pamethakan (putih). Mereka oleh keraton diberikan tanah untuk tempat tinggal di sekitar Masjid Agung. 

Kampung Kauman ditinggali, antara lain, ketib atau khatib, yakni pengkhotbah shalat Jumat dan juga imam. Selain itu, modin, yakni pemukul beduk menjelang waktu shalat dan mengumandangkan azan. Pembantu modin atau disebut qoyyim dan merbot yang bertugas mengurusi kebersihan masjid hingga menyediakan tikar untuk shalat dan tugas-tugas teknis lainnya juga bertempat tinggal di Kauman. 

Kampung Kauman Mangkunegaran

Selama ini kampung Kauman di Surakarta selalu identik dengan Keraton Surakarta. Namun, tahukah kita bahwa di Surakarta juga pernah ada Kampung Kauman Mangkunegaran ? Bagaimanakah sejarahnya ? 

Inilah yang coba dikuak oleh Solo Societeit, sebuah komunitas sejarah dan budaya di Surakarta, yang mengadakan kegiatan Jelajah dan Bincang Sejarah #2 dengan tema " Sirnaning Kauman Mangkunegaran", Minggu (10/6/2018). Kegiatan yang diikuti oleh sekira 30 orang ini melakukan napak tilas di tiga situs bersejarah di Kampung Mangkunegaran, yaitu Makam putera Mangkunegoro IV, Langgar Rawatib, dan rumah Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said). 

Kampung Kauman Mangkunegaran terletak disebelah barat Pasar Legi, tepatnya sebelah utara Puro Mangkunegaran. Eksistensi Kampung Kauman Mangkunegaran tak sebesar yang ada di Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Pakualaman Yogyakarta. Bahkan jika wong Solo ditanya tentang Kampung Kauman, maka mereka akan menunjuk Kauman yang ada di barat Masjid Agung Surakarta. Mereka kebanyakan tidak mengetahui bahwasanya Surakarta juga memiliki Kampun Kauman di Mangkunegaran. 

Menurut pendiri Solo Societeit yang juga sejarawan, Heri Priyatmoko, hal ini seolah membuat eksistensi Kampung Kauman Mangkunegaran hilang. Padahal kampung ini sudah ada sejak masa Mangkunegoro I. Lokasinya masih sama yaitudi sebelah utara Kali Pepe. Jejak-jejak eksistensi Kampung Kauman Mangkunegaran saat ini masih bisa ditemukan. 

Dua papan nama kampung di utara dan selatan perempatan merupakan bukti kampung ini masih ada. Wilayah Kampung Kauman memanjang dari utara Kali Pepe hingga depan Pasar Legi. Wilayahnya berbatasan dengan Pringgading di sebelah timur dan berimpitan dengan Jageran dan Ngebrusan di sebelah Barat.

Penulis berada di ruang dalam Ndalem Sindurejan ( koleksi penulis )
Penulis berada di ruang dalam Ndalem Sindurejan ( koleksi penulis )
Salah satu artefak yang bisa dilihat di Kampung Kauman Mangkunegaran adalah rumah Tumenggung Mangkuyuda yang disebut Ndalem Sindurejan. 

Rumah ini terbilang istimewa, karena bangunannya masih asli dan terpelihara dengan baik. Selain itu rumah ini terbilang istimewa karena di sinilah pernah tinggal Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said), pendiri Kadipaten Mangkunegaran sekaligus Adipati pertama Puro Mangkunegaran yang bergelar Mangkunegoro I. Sebelum diangkat menjadi penguasa Puro Mangkunegaran, Pangeran Sambenyawa mengadakan perlawanan terhadap tiga musuh sekaligus yaitu VOC ( Belanda ), Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.

Sepak terjangnya susah dihentikan dan justru mengakibatkan banyak korban dari pihak lawan. Dari situlah ia dijuluki Pangeran Sambernyawa oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC. Pangeran Sambernyawa berperang selama 16 tahun (1741-1757). Keuletan Pangeran Sambernyawa melakukan perlawanan membuat lawan-lawannya menginginkan gencatan senjata namun selalu gagal. 

Hingga kemudian muncullah tokoh Patih Mangkuyuda yang berhasil meluluhkan hati lelaki, yang dalam Babad Panambangan,  digambarkan sebagai "Lelaki bertubuh kecil, namun nampak tegap, matanya bersinar-sinar, seperti mengeluarkan api" mau berunding.  Peristiwa ini terekam di atas ukiran pintu ruang tengah yang berbunyi "Panembahing Dwipangga Angoyag Jagad" yang diartikan sebagai tahun 1682 Jawa atau 1756 Masehi satu tahun sebelum Perjanjian Salatiga. 

Setelah Perjanjian Salatiga tahun 1757, Pangeran Sambernyawa yang bergelar  Mangkunegoro I  disediakan tempat tinggal di rumah Patih Mangkuyuda. Kelak, di sini lah dibangun Kampung Kauman oleh Mangkunegoro I. Melalui Perjanjian Salatiga juga, Mangkunegoro I tidak diperbolehkan untuk membuat alun-alun, mengingat posisinya sebagai daerah Praja. Oleh karena itu, Mangkunegro I hanya membuat pasar untuk perekonomian dan religi. Tercatat dalam Babad Panambangan, lebih dari 80 orang sebagai warga Kauman. 

Warga Kauman tersebut menguatkan identitas Kauman sebagai kampung religi pada masa Mangkunegoro I. Kampung Kauman menjadi tempat tinggal para ulama dan didirikan Masjid Kauman lama sebagai pusat penyebaran agama Islam.  Mangkunegoro I mengangkat seorang perempuan ulama bernama R.A. 

Penghulu Iman sebagai penghulu di Kampung Kauman. Diangkatnya seorang ulama perempuan oleh Mangkunegoro I tentu sesuatu yang mengejutkan. Namun jika kita mengikuti sejarah perlawanan Pangeran Sambernyawa, dia juga membentuk pasukan perempuan yang diberi nama Prajurit Estri yang kemampuannnya sangat ditakuti Belanda. 

Faktor-faktor Sirnanya Kampung Kauman

Makam kuno puteri Mangkunegoro IV ( koleksi penulis )
Makam kuno puteri Mangkunegoro IV ( koleksi penulis )
Bukti lain yang tersisa dari Masjid Kauman lama adalah empat makam kuno keluarga raja yang disemayamkan di pinggir Jl. Sutan Syahrir, dekat dengan Rumah Deret Ketelan pinggir Kali Pepe. Satu dari empat makam itu adalah makam R.A. Supartinah yang merupakan putri Mangkunegoro IV beserta anaknya. 

Makam ini berada di rumah warga. Melihat sejarah Mataram Islam, fenomena makam di area masjid bukanlah hal aneh. Hal ini bisa dilihat di Masjid Kota Gedhe, Masjid Demak, Masjid Agung, dan lainnya. Sehingga dari fakta ini bisa diyakini tidak jauh dari empat makam kuno ini dulunya terdapat Masjid Kauman lama yang dibangun Mangunegoro I. 

Kini kejayaan Kampun Kauman Mangkunegaran sebagai kawasan religi Mangkunegaran meredup. Ada beberapa faktor penyebab yaitu :

Pertama, kebijakan Mangkunegoro IV yang memboyong (Bedhol) Masjid Kauman lama ke barat Puro Mangkunegaran yakni Masjid Al Wustho tahun 1878. Hal ini mengakibatkan elemen penopang Kauman sebagai kampung religi hilang, apalagi kemudian sisa kejayaan Masjid Kauman lama dibersihkan oleh Mangkunegoro VII. Kedua,  tidak adanya gelar "Sayidina Panatagama" yang menempel di pundak Mangkunegoro, yang berarti tidak ada beban moral untuk mengembangkan kegiatan keagamaan. 

Ketiga, kepentingan ekonomi lebih penting daripada religi. Hal ini disebabkan pada masa Mangkunegoro IV, praja Mangkunegaran mewarisi hutang yang besar sehingga kemudian banyak mengembangkan bidang perdagangan dan industri, salah satunya dengan mendirikan pabrik-pabrik gula yaitu Tasikmadu dan Colomadu. 

Keempat, Pemahaman agama Mangkunegoro IV tidak begitu mendalam daripada Mangkunegoro I. Hal ini bisa disimak dalam serat Wedhatama dimana ia lebih condong pada kehidupan duniawi.

 Kelima, kejyaan pabrik gula telah menciptakan "surga" dunia. Hal inilah yang kemudian memantapkan Mangkunegoro IV dan penerusnya untuk mengurusi pabrik daripada perkara religi dan Kauman.

Keenam, masyarakat Kauman tidak mampu merespon perubahan zaman. Ulama tidak lagi luas kewenangannya sehingga lambat laut berpengaruh pada identitas ulama di Kampung Kauman. 

Berikut video kegiatan Jejak sejarah Kampung Kauman Mangkunegaran


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun