Menanamkan kesadaran sejarah pada generasi muda merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi tentang sejarah bangsanya sendiri. Untuk menanamkan kesadaran sejarah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya lewat pembelajaran sejarah di kelas. Di era modern seperti saat ini, pendekatan pembelajaran sejarah sudah seharusnya juga mengikuti perkembangan jaman. Siswa saat ini sudah terlalu sering dengan pembelajaran sejarah yang biasa, yang identik dengan ceramah, mencatat, dan mengantuk.
Kenapa tidak sekali-kali sebagai guru sejarah, kita menggunakan pendekatan "berbeda" dalam pembelajaran sejarah. Pendekatan yang melibatkan siswa di dalamnya sehingga mereka ikut menjadi subyek dalam pembelajaran. Salah satu pendekatan yang telah penulis lakukan adalah pembelajaran sejarah yang dilakukan sambil mengadakan trevelling.
Travelling ??? Eiit jangan salah ya....travelling di sini bukan travelling biasa, karena travellingnya sejarah adalah travelling ke tempat-tempat bersejarah. Inilah yang penulis lakukan bersama siswi kelas XI MIA 5 MAN 1 Surakarta.Â
Sabtu 20 Februari 2016, kegiatan Travelling Sejarah itu dimulai. Kegiatan yang ku beri nama "Jelajah Sejarah Karanganyar" itu menyinggahi  tempat-tempat bersejarah di Kabupaten Karanganyar. Ada 3 obyek yang dikunjungi, yaitu makam, Petilasan Perjanjian Gianti dan Situs Matesih.Â
Amir Sjarifoeddin ? Ingatan siswiku mungkin langsung menuju ke sebuah peristiwa besar di tahun 1948 yaitu peristiwa PKI Madiun. Salah satu peristiwa hitam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dua tokoh utama dalam pemberontakan itu adalah Muso dan Amir Sjarifoeddin. Makam salah satu tokohnya ada di Karanganyar. Itulah makam Amir Sjarifoeddin, mantan Perdana Menteri ke 2 Indonesia.
Adapun isi dari Perjanjian Giyanti adalah Pemecahan kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, yaitu
1. Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengku Buwono I dan,
2. Surakarta untuk Pakubuwana III.
Situs tersebut berupa tatanan batu-batu alam yang teratur dan diduga merupakan tinggalan jaman Megalithikum (2500 – 1500 SM). Orientasi Watu Kandang ini ke arah Barat dan Timur, dimana sebelah timur berhadapan dengan Gunung Lawu, Bangun,dan Ganoman. Maka dari itu bisa disimpulkan batu-batu ini sebagaitempat pemujaan kapada alam semesta terutama menyembah gunung-gunung tersebut. Hal inimenunjukan pada masa itu, orang sudah pempunyai pandangan tertentu terhadap Roh atau Dewa. Mereka mulai mempunyai pandangan hidup yang tidak berhenti setelah orang itu meninggal.
Upacara yang paling menyolok adalah upacara pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Pelaksanaan penguburan dilakukan dengan cara langsung maupun tak langsung di tempat yang sering dihubungan dengan asal-usul anggota masyarakat atau tempat-tempat yang sudah dianggap sebagai tempat tinggal arwah nenek moyang. Si mati biasanya dibekali bermacam-macam barang sehari-hati seperti perhiasan, periuk dan lain-lain, dikubur bersama-sama dengan maksud agar perjalanan si mati ke dunia arwah dan kehidupan selanjutnya akan terjamin sebaik-baiknya.Â
Kematian dipandang tidak membawa perubahan esensiil dalam kedudukan, keadaan ataupun sifat seseorang. Seseorang bermartabat rendah akan rendah juga kedudukannya di akhirat. Dan biasanya hanya orang-orang terkemuka atau yang telah pernah berjasa dalam masyarakat sajalah yang akan mencapai tempat khusus di alam baka. Tapi di pihak lain, jasa, amal atau kebaikan – yaitu bekal untuk mendapatkan tempat khusus di akhirat dapat diperoleh dengan mengadakan pesta-pesta tertentu yang mencapai titik puncaknya dengan mendirikan bangunan-bangunan batu besar (megalitik).
Memberi atau menempatkan si mati di dalam tempat yang direka dengan bangunan batu-batu besar, seperti peti batu, mengelilingnya dengan batu-batu besar-tegak dengan hiasan-hiasan berukir maupun lukisan yang melambangkan kehidupan si mati dan
masyarakatnya, hal ini akan memberi keuntungan pada kedua belah pihak yaitu yang mati dan yang ditinggalkan. Jadi batu-batu besar demikian menjadi pelindung bagi tingkat budi baik seseorang.
Demikian sepenggah kisah penjelajahan sejarah di Karanganyar bersama siswiku. Semoga penjelajahan sejarah ini memberi kesan yang mendalam buat siswiku. Ternyata belajar sejarah bisa dilakukan dengan cara berbeda dan tentu saja menyenangkan.
Surakarta, 20 Februari 2016
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H