Mohon tunggu...
Rusdi Mustapa
Rusdi Mustapa Mohon Tunggu... Administrasi - Guru sejarah yang suka literasi, fotografi, dan eksplorasi

Guru sejarah yang menyukai literasi, fotografi dan eksplorasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Asyiknya Jelajah Sejarah di Karanganyar

20 Februari 2016   22:22 Diperbarui: 20 Februari 2016   22:40 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menanamkan kesadaran sejarah pada generasi muda merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi tentang sejarah bangsanya sendiri. Untuk menanamkan kesadaran sejarah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya lewat pembelajaran sejarah di kelas. Di era modern seperti saat ini, pendekatan pembelajaran sejarah sudah seharusnya juga mengikuti perkembangan jaman. Siswa saat ini sudah terlalu sering dengan pembelajaran sejarah yang biasa, yang identik dengan ceramah, mencatat, dan mengantuk.

Kenapa tidak sekali-kali sebagai guru sejarah, kita menggunakan pendekatan "berbeda" dalam pembelajaran sejarah. Pendekatan yang melibatkan siswa di dalamnya sehingga mereka ikut menjadi subyek dalam pembelajaran. Salah satu pendekatan yang telah penulis lakukan adalah pembelajaran sejarah yang dilakukan sambil mengadakan trevelling.

Travelling ??? Eiit jangan salah ya....travelling di sini bukan travelling biasa, karena travellingnya sejarah adalah travelling ke tempat-tempat bersejarah. Inilah yang penulis lakukan bersama siswi kelas XI MIA 5 MAN 1 Surakarta. 

Sabtu 20 Februari 2016, kegiatan Travelling Sejarah itu dimulai. Kegiatan yang ku beri nama "Jelajah Sejarah Karanganyar" itu menyinggahi  tempat-tempat bersejarah di Kabupaten Karanganyar. Ada 3 obyek yang dikunjungi, yaitu makam, Petilasan Perjanjian Gianti dan Situs Matesih. 

Obyek pertama "Jelajah Sejarah Karanganyar" adalah sebuah makam. Mengapa ke makam ? Memangnya apa yang istimewa dari makam itu ? Demikian barangkali pertanyaan yang muncul di benak siswiku. Semuanya akhirnya terjawab sudah ketika kami mulai memasuki kompleks pemakaman. Kami langsung menuju ke sebuah makam yang terbuat dari keramik berwarna merah. Tertulis di sana "Rest In Peace, Mr. Amir Sjarifoeddin".

 

Amir Sjarifoeddin ? Ingatan siswiku mungkin langsung menuju ke sebuah peristiwa besar di tahun 1948 yaitu peristiwa PKI Madiun. Salah satu peristiwa hitam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dua tokoh utama dalam pemberontakan itu adalah Muso dan Amir Sjarifoeddin. Makam salah satu tokohnya ada di Karanganyar. Itulah makam Amir Sjarifoeddin, mantan Perdana Menteri ke 2 Indonesia.

Ada sebelas makam di situ yang berjajar, satu makam milik Amir Sjarifoeddin dan sepuluh makam lain yang berwarna putih adalah makam para pengawal Amir Sjarifoeddin yang ikut di eksekusi di tempat itu. Seperti diketahui setelah pemberontakan PKI Madiun dapat ditumpas oleh Divisi Siliwangi dan Divisi Brawijaya, tokoh-tokohnya dapat ditangkap ataupun terbunuh. Muso berhasil di tangkap dan dibunuh di daerah Pacitan. Sedangkan Amir Sjarifoeddin ditangkap dan diadili di Yogyakarta yang kemudian dieksekusi di daerah Ngaliyan, Karanganyar. Dan hari itu, siswiku berkesempatan mengunjungi makam yang sampai saat ini tidak di ijinkan di buatkan papan petunjuk makamnya itu. Pengalaman yang berbeda dirasakan oleh siswiku ketika mereka bisa melihat langsung makam itu.

Obyek kedua adalah petilasan Perjanjian Giyanti. Berdasarkan data sejarah, Perjanjian Giyanti terjadi karena adanya perlawanan Mangkubumi dan Mas Said. Dalam sejarah disebutkan bahwa pasukan Mangkubumi terpecah ketika melawan kompeni Belanda (VOC) karena pasukan Mas Said tiba-tiba memisahkan diri dari komando bersama. Hal tersebut dapat terjadi karena Mas Said sendiri bertahan di daerah Sukawati (Sragen) dan ingin menjadi raja. Dalam perkembangan selanjutnya, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh VOC, Pakubuwana III, dan Pengeran Mangkubumi pada tahun 1755. Akhirnya perlawanan tersebut diakhiri dengan Perjanjian Giyanti.

Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.

Adapun isi dari Perjanjian Giyanti adalah Pemecahan kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, yaitu

1. Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengku Buwono I dan,

2. Surakarta untuk Pakubuwana III.

Hari ini, siswiku bisa mengunjungi tempat yang bersejarah tersebut. Tempat yang menjadi awal dari pecahnya trah Mataram. Di bawah pohon beringin inilah perjanjian Giyanti ditandatangani. Batu bekas tempat duduk wakil VOC, Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi masih bisa kita saksikan. Sekarang, semenjak masa bupati Karanganyar sekarang, Drs. H. Juliatmono, setiap tanggal 13 Februari diadakan peringatan perjanjian Giyanti, sebagai sarana mengingat peristiwa besar tersebut.

Obyek terakhir penjelajahan sejarah berakhir di sebuah tempat yang disebut "Situs Matesih". Dahulu namanya "Situs Watu Kandang". Situs Watu Kandang merupakan situs peninggalan jaman pra sejarah yang terletak di Dukuh Ngasinan Lor, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.

Situs tersebut berupa tatanan batu-batu alam yang teratur dan diduga merupakan tinggalan jaman Megalithikum (2500 – 1500 SM). Orientasi Watu Kandang ini ke arah Barat dan Timur, dimana sebelah timur berhadapan dengan Gunung Lawu, Bangun,dan Ganoman. Maka dari itu bisa disimpulkan batu-batu ini sebagaitempat pemujaan kapada alam semesta terutama menyembah gunung-gunung tersebut. Hal inimenunjukan pada masa itu, orang sudah pempunyai pandangan tertentu terhadap Roh atau Dewa. Mereka mulai mempunyai pandangan hidup yang tidak berhenti setelah orang itu meninggal.

Orang yang meninggal dianggap pergi kesuatu tempat yang lebih baik, dan orang yang sudah meninggal masih dapat dihubungi pada orang yang masih hidup didunia ini begitu sebaliknya. 

Upacara yang paling menyolok adalah upacara pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Pelaksanaan penguburan dilakukan dengan cara langsung maupun tak langsung di tempat yang sering dihubungan dengan asal-usul anggota masyarakat atau tempat-tempat yang sudah dianggap sebagai tempat tinggal arwah nenek moyang. Si mati biasanya dibekali bermacam-macam barang sehari-hati seperti perhiasan, periuk dan lain-lain, dikubur bersama-sama dengan maksud agar perjalanan si mati ke dunia arwah dan kehidupan selanjutnya akan terjamin sebaik-baiknya. 

Kematian dipandang tidak membawa perubahan esensiil dalam kedudukan, keadaan ataupun sifat seseorang. Seseorang bermartabat rendah akan rendah juga kedudukannya di akhirat. Dan biasanya hanya orang-orang terkemuka atau yang telah pernah berjasa dalam masyarakat sajalah yang akan mencapai tempat khusus di alam baka. Tapi di pihak lain, jasa, amal atau kebaikan – yaitu bekal untuk mendapatkan tempat khusus di akhirat dapat diperoleh dengan mengadakan pesta-pesta tertentu yang mencapai titik puncaknya dengan mendirikan bangunan-bangunan batu besar (megalitik).

Memberi atau menempatkan si mati di dalam tempat yang direka dengan bangunan batu-batu besar, seperti peti batu, mengelilingnya dengan batu-batu besar-tegak dengan hiasan-hiasan berukir maupun lukisan yang melambangkan kehidupan si mati dan
masyarakatnya, hal ini akan memberi keuntungan pada kedua belah pihak yaitu yang mati dan yang ditinggalkan. Jadi batu-batu besar demikian menjadi pelindung bagi tingkat budi baik seseorang.

Demikian sepenggah kisah penjelajahan sejarah di Karanganyar bersama siswiku. Semoga penjelajahan sejarah ini memberi kesan yang mendalam buat siswiku. Ternyata belajar sejarah bisa dilakukan dengan cara berbeda dan tentu saja menyenangkan.

Surakarta, 20 Februari 2016

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun