Mohon tunggu...
Rusdi Mustapa
Rusdi Mustapa Mohon Tunggu... Administrasi - Guru sejarah yang suka literasi, fotografi, dan eksplorasi

Guru sejarah yang menyukai literasi, fotografi dan eksplorasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Speaker Jadi Tertuduh

18 Juli 2015   00:56 Diperbarui: 18 Juli 2015   01:27 4517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah peristiwa yang memprihatinkan terjadi (lagi) di momen Idul Fitri 1436 H. Adalah peristiwa yang terjadi di kabupaten Tolikara, Papua yang saat ini menjadi perhatian luas. Ketika takbir kemenangan di hari yang suci di kumandangkan, terjadilah penyerangan dan disertai pembakaran sebuah mushola (17/7/2015). Para jamaah yang sedang melaksanakan badah sholat ied sontak berhamburan menyelamatkan diri ke Koramil setempat. Sungguh peristiwa yang patut disesalkan mengingat masyarakat Papua adalah masyarakat yang sangat tinggi toleransinya. 

Menurut Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Kota Jayapura, Pater Neles Tebay yang juga Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) mengatakan bahwa Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah. Menurut dia, Tradisi atau budaya mengajarkan bahwa orang Papua tidak boleh mengganggu tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral atau suci menurut kepercayaan budaya setempat. Tempat-tempat suci dalam budaya adalah tempat-tempat yang, menurut keyakinan orang setempat, dihuni oleh roh-roh. Apabila mengganggu tempat suci itu, menurut keyakinan orang Papua maka akan ada konsekuensi dalam hidup keluarga dari orang yang mengganggu tempat tersebut.

"Konsukuensinya bisa saja para pengganggu jatuh sakit atau salah satu anggota keluarganya meninggal dunia tanpa sakit terlebih dahulu atau terjadi musibah kelaparan," katanya (nasional.rimanews.com).

Pater mengatakan orang Papua di bina untuk menghormati tempat keramat atau sakral dalam budayanya. Ketika agama-agama besar seperti Kristen dan Islam masuk ke Tanah Papua, tempat ibadah dari agama-agama ini seperti gereja dan masjid, dipandang sebagai tempat keramat, sakral atau suci. Oleh karena itu orang Papua, entah apapun agamanya, selama ini tidak pernah mengganggu, apalagi membakar entah gereja, entah masjid. Daun rumput selembar saja tidak pernah diganggu dan dipetik dari halaman gereja atau masjid. Kejadian pembakaran mushola di Tolikara, kata Peter, merupakan peristiwa pertama kali dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar.

Speaker dan Peristiwa Tolikara

Banyak tanggapan atas peristiwa yang terjadi di Tolikara. Salah satu yang (mungkin) paling menarik adalah pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).  JK menilai penyebab kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua  disebabkan oleh pengeras suara (speaker).

JK menjelaskan, di daerah tersebut ada dua acara yang letaknya berdekatan yang digelar dari dua umat agama berbeda, Islam dan Kristen Protestan.

"Ada acara Idul Fitri, ada pertemuan pemuka masyarakat gereja. Memang asal-muasal soal speaker itu," ujar JK dalam konferensi pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150717143914-20-66909/jk-kerusuhan-antaragama-di-tolikara-disebabkan-speaker/). 

Ia menuturkan, masyarakat seharusnya dapat mengetahui bahwa ada dua kepentingan yang terjadi bersamaan. "Satu Idul Fitri, satu karena speaker, saling bertabrakan. Mestinya kedua-duanya menahan diri. Masyarakat yang punya acara keagamaan lain harus memahami," kata JK. 

Barangkali memang benar (adanya) apa yang disampaikan oleh JK. Namun apakah sesederhana seperti itu ? Sebagai seorang petinggi negeri, seharusnya JK harus lebih cermat dan hati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Jangan sampai pernyataan yang telah disampaikan, justru malah menambah permasalahan baru. Apakah JK juga telah mendapat laporan bahwa sebelum terjadi peristiwa hari jum'at 17 Juli 2015, ada selebaran yang melarang adanya kegiatan sholat ied menyambut hari raya idul fitri. Pelarangan itu disampaikan oleh GIDI Papua (Gereja Injil Di Indonesia). Alasan yang disampaikan adalah karena pada hari yang sama kegiatan bersifat internasional yang diadakan oleh GIDI. Selain pelarangan sholat Ied juga ada larangan para muslimat memakai jilbab. Apakah laporan yang JK terima juga sampai ke hal-hal tersebut di atas tadi ?

Kita semua menyesalkan dan sekaligus bersedih atas peristiwa ini. Namun jangan sampai hanya karena pernyataan yang kurang hati-hati dari petinggi negara justru akan menambah masalah baru. Mengapa Speaker yang (justru) menjadi tertuduh ? Apalah daya speaker itu ? Kebetulan penulis memiliki teman yang ada di Tolikara. Setelah mendengar berita tersebut dan juga menyimak pernyataan JK tentang penyebab peristiwa Tolikara, penulis menghubungi teman tersebut. Pertanyaan penting yang penulis sampaikan adalah : Apakah benar masalah Speaker menjadi penyebab utama peristiwa Jum'at pagi itu ? Teman penulis menjawab dengan jawaban yang sungguh sangat mengharukan :

Selama ini muslim di Tolikara jika ingin melaksanakan sholat, tidak menggunakan speaker untuk mengumandangkan adzan, jadi jika sudah masuk waktu sholat, mereka tinggal datang saja ke masjid atau mushola. Dan selama ini memang tidak ada masalah. Jadi saya heran, kenapa justru di momen idul fitri, terjadi peristiwa yang tidak kami duga seperti saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun