Mohon tunggu...
RuRy
RuRy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Demak Jawa Tengah

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengintip Kampung Bugis Saat Hari Nyepi di Bali

26 Maret 2020   05:49 Diperbarui: 1 Juni 2020   08:47 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beda itu biasa, yang luar biasa ketika perbedaan akulturasi agama dan tradisi menciptakan harmonisasi yang indah.

Mendengar Kampung Bugis seakan membawa saya tertuju ke daerah Sulawesi Selatan. Keberadaan kampung ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Bugis dan Melayu yang dibawa oleh sejumlah tokoh dan nenek moyang di masa lalu. 

Nama sebuah kampung yang identik dengan Tanah Toraja itu ada juga di daerah utara Pulau Bali. Ya, sebuah kampung kelurahan yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali utara.

Di tengah kehidupan masyarakat Hindu yang sarat dengan ritual dan tradisinya yang kental, masyarakat Muslim Bali mampu berbaur dengan umat mayoritas dengan nuansa toleransi yang indah.

Dokpri
Dokpri
Sepintas memang terlihat biasa seperti kampung-kampung lainnya. Di mana pada hari libur banyak warga yang keluar rumah berbincang dengan tetangga dan anak-anak yang asyik bermain.

Namun, pemandangan itu menjadi luar biasa bagi saya ketika bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu sedang melakukan ritual penyepian (amati geni, amati karya, dan amati lelanguan) yang dilaksanakan selama 24 jam, dari matahari terbit pukul 06.00 pagi hingga pukul 06.00 pagi keesokan harinya.

Ini kali pertama saya selama di Bali menengok perkampungan muslim pada saat umat Hindu menjalankan tapa brata penyepian. Menyaksikan dari dekat dan berada di salah satu kampung muslim tertua di Kabupaten Buleleng ini sangat kental terasa akan nilai-nilai toleransi.

Dokpri
Dokpri
Karena mayoritas muslim, wilayah ini banyak bangunan masjid yang setiap hari selalu mengumandangkan Adzan dan sholat lima waktu. 

Namun, untuk Hari Nyepi kumandang Adzan tidak menggunakan pengeras suara. Demi toleransi dan menghormati umat Hindu yang sedang menjalankan ibadah Nyepi.

Di kampung ini saya benar-benar merasakan atmosfir toleransi yang menyejukkan.

Seperti di daerah Bali lainya yang mana pada Hari Raya Nyepi petugas dan pecalang berjaga di setiap sudut dan persimpangan jalan. 

Tidak jauh dari Kampung Bugis bersebelahan kampung yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu, terlihat jelas begitu lengang situasi jalan dan rumah penduduk yang tertutup rapat.

Dokpri
Dokpri
Diulik dari sejarahnya, Buleleng sejak masa lampau menarik banyak pendatang. Ini terjadi karena Singaraja mulanya sebagai kota niaga dan pelabuhan.Tak sedikit dari penumpang kapal dan pedagang akhirnya pilih menetap di daerah ini. 

Terbukti, kampung-kampung di Singaraja misalnya, banyak di beri nama sesuai dengan asal-muasal pendatang. Karena itu ada Kampung Bugis, Banjar, Jawa, Kampung Pegayaman, Kampung Arab, Kampung Tinggi, dan lainnya.

Dilihat dari sejarah para pendahulu khususnya para pedagang secara tidak langsung telah mengajarkan dan menanamkan toleransi melalui berniaga kala itu.

Mereka tidak melihat perbedaan menjadi batu sandungan. Justru dari perbedaan, hubungan antar etnis, budaya, dan agama senantiasa terjalin harmoni hingga kini.

(Keterangan: semua foto di ambil pada tanggal 25/03/20, tepat pada Hari Raya Nyepi).

Rury

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun