Beda itu biasa, yang luar biasa ketika perbedaan akulturasi agama dan tradisi menciptakan harmonisasi yang indah.
Mendengar Kampung Bugis seakan membawa saya tertuju ke daerah Sulawesi Selatan. Keberadaan kampung ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Bugis dan Melayu yang dibawa oleh sejumlah tokoh dan nenek moyang di masa lalu.Â
Nama sebuah kampung yang identik dengan Tanah Toraja itu ada juga di daerah utara Pulau Bali. Ya, sebuah kampung kelurahan yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali utara.
Di tengah kehidupan masyarakat Hindu yang sarat dengan ritual dan tradisinya yang kental, masyarakat Muslim Bali mampu berbaur dengan umat mayoritas dengan nuansa toleransi yang indah.
Namun, pemandangan itu menjadi luar biasa bagi saya ketika bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu sedang melakukan ritual penyepian (amati geni, amati karya, dan amati lelanguan) yang dilaksanakan selama 24 jam, dari matahari terbit pukul 06.00 pagi hingga pukul 06.00 pagi keesokan harinya.
Ini kali pertama saya selama di Bali menengok perkampungan muslim pada saat umat Hindu menjalankan tapa brata penyepian. Menyaksikan dari dekat dan berada di salah satu kampung muslim tertua di Kabupaten Buleleng ini sangat kental terasa akan nilai-nilai toleransi.
Namun, untuk Hari Nyepi kumandang Adzan tidak menggunakan pengeras suara. Demi toleransi dan menghormati umat Hindu yang sedang menjalankan ibadah Nyepi.
Di kampung ini saya benar-benar merasakan atmosfir toleransi yang menyejukkan.
Seperti di daerah Bali lainya yang mana pada Hari Raya Nyepi petugas dan pecalang berjaga di setiap sudut dan persimpangan jalan.Â
Tidak jauh dari Kampung Bugis bersebelahan kampung yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu, terlihat jelas begitu lengang situasi jalan dan rumah penduduk yang tertutup rapat.
Terbukti, kampung-kampung di Singaraja misalnya, banyak di beri nama sesuai dengan asal-muasal pendatang. Karena itu ada Kampung Bugis, Banjar, Jawa, Kampung Pegayaman, Kampung Arab, Kampung Tinggi, dan lainnya.
Dilihat dari sejarah para pendahulu khususnya para pedagang secara tidak langsung telah mengajarkan dan menanamkan toleransi melalui berniaga kala itu.
Mereka tidak melihat perbedaan menjadi batu sandungan. Justru dari perbedaan, hubungan antar etnis, budaya, dan agama senantiasa terjalin harmoni hingga kini.
(Keterangan: semua foto di ambil pada tanggal 25/03/20, tepat pada Hari Raya Nyepi).
Rury
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H