Mohon tunggu...
RuRy
RuRy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Demak Jawa Tengah

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kedewasaan Itu Seperti Gelar Sarjana, Ada Proses dan Tahap untuk Meraihnya

21 Februari 2020   17:07 Diperbarui: 10 Oktober 2022   07:17 3826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: 123rf via daysoftheyear.com

Benarkah seiring bertambahnya usia, kedewasaan juga mengikutinya?

Untuk meraih gelar sarjana mesti ada proses juga tahapan yang harus dilalui. Seperti halnya kedewasaan di mana proses belajarnya malah tergolong lebih sulit. Ritme yang harus dilalui tak seeksplisit seperti mengejar mendapatkan gelar. Prosesnya yang implisit malahan sering tak kita sadari.

Kedewasaan biasanya pertama kali muncul dalam bentuk kesadaran yang lebih tentang hal-hal. Kesadaran yang mencakup hal yang lebih luas dan menyeluruh dalam hidup.

Berpikir dewasa sangat diperlukan dalam menyikapi hal apapun. Terlebih pada era seperti sekarang ini, yang terkadang kita lebih mengutamakan tuntutan sosial daripada kebutuhan pribadi yang lebih krusial. Ini contoh!

Parameter kedewasaan itu apa?
Bukan masalah angka pastinya, apalagi umur. Dari dulu kita sering mendengar ungkapan, "apa kabar, lama tak ketemu sekarang sudah tambah dewasa ya", ini seolah bertambahnya umur seseorang akan otomatis juga bertambah dewasa pikirannya. Padahal usia itu angka sedangkan kedewasaan itu sikap juga pemikiran (positif).

Banyak sekali sikap kedewasaan.

Sebagai contoh:

  • Dewasa bersosial media
  • Dalam rumah tangga
  • Bergaul
  • Menerima informasi
  • Bermasyarakat
  • Berpolitik
  • Dan daftar ini bisa lebih panjang.

Jam terbang tinggi (usia) dan display tidak menjamin orang itu punya sikap dan cara berfikir dewasa. Banyak kok contoh nyata pada realitas kehidupan yang sering kita saksikan.

Untuk sekedar menjadi pintar memang mudah dikejar. Namun, untuk mampu berfikir dewasa mesti butuh pembelajaran, perenungan, penghayatan, dan mampu mengambil inti sari dari apapun peristiwa yang pernah dilalui.

Setiap manusia pasti mendapat cobaan hidup, hanya tema ujiannya yang berbeda. Ini yang membuat keder manusia, karena stigma ujian identik dengan kesusahan dan kekurangan. Padahal kesenangan dan berkelimpahan juga sama sebagai bentuk ujian. Apakah seseorang itu akan sabar atau takabur, itulah ending-nya.

Belajar tentang kedewasaan ruang lingkup kelasnya tak terbatas, lebih banyak pelajaran yang tersirat. Yang menjadi pertanyaan adalah, mampukah kita menangkapnya sebagai materi untuk pelajaran? 

Merujuk istilah Jawa 'unggah-ungguh', yaitu (etika) bisa menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ini sederhana lho, tapi ternyata tidak semua orang sanggup melakukannya. 

Meski individu tersebut tergolong terpelajar juga pintar dalam ilmu agama, tidak jaminan mutu bisa bijak membawa dirinya bersikap atau menyikapi suatu hal. Lebih-lebih dalam diri masih diselimuti tinggi hati karena merasa punya ini, punya itu, dan menganggap diri sendiri lebih tahu dibanding orang lain.

Selain itu, kedewasaan yang lain yaitu bisa memosisikan diri dengan baik. Paham dirinya sedang berada di mana, bagaimana konteksnya, di mana batasan-batasannya, dan apa hak serta kewajibannya.

Tak sedikit orang yang mapan dari segi umur, tapi belum memiliki kepribadian yang matang. Usia memang bukan jaminan dan tolak ukur kedewasaan seseorang. Tak mudah menjadi dewasa. Butuh proses panjang dan tahapan yang njlimet.

Tidak selalu ingin didengarkan, melainkan juga mau mendengarkan. Tidak ada orang yang sempurna atau paham dalam segala bidang. Yang ada orang yang bisa merangkum atas apa saja yang ditangkap  indera. Tentu saja membutuhkan pembelajaran yang terus menerus.

Kedewasaan mengikuti seseorang yang mau rendah hati, mampu menerima nasehat dan masukan dari orang lain dalam hal yang baik. Tidak keras kepala dan mengedepankan egois. 

Usia memang ikut andil dalam menentukan kedewasaan, tetapi bukan satu-satunya faktor. Justru yang paling menentukan di sini adalah bagaimana proses pembelajaran itu berlangsung di dalam diri seseorang. 

Pembelajaran di sini maksudnya bagaimana seseorang mengubah dirinya ke arah yang lebih baik, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman hidup yang didapatkan selama ini. 

Memiliki pengetahuan mengenai moral dan agama saja tidak cukup, ada faktor lain yang pasti mempengaruhi, yakni lingkungan. Kombinasi pengetahuan moral dan agama yang terus distimulasikan ke dalam perilaku keseharian dapat menjadi benteng utama untuk menghindari seseorang melakukan perilaku yang kurang pantas. 

Rury

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun