Mohon tunggu...
KAVA
KAVA Mohon Tunggu... Freelancer - a reader

Pasukan hujan.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Artikel Utama

Dongeng | Kavaleri Hujan

21 Januari 2018   00:15 Diperbarui: 21 Januari 2018   22:48 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segelas kopi telah digenggamnya. Gadis itu keluar dan mulai duduk di kursi teras depan. Saat mendung mulai bergelantung, para Kavaleri keluar dan mencari jalan mereka sendiri-sendiri. Malangnya gadis bercangkir kopi yang menjulurkan tangannya untuk menengadah pada hujan. Rintik pertama yang ia rasa adalah Kava yang membawa pesan tak bahagia. 

Kava melihatnya membuka laptop dan menuntun jemari gadis itu mencari lama pengumuman. Kava pula yang membuat matanya terbelalak membaca pengumuman tidak diterima. Kava menyaksiskan air mata mengalir begitu deras. Kava mendengar belasan kali ponsel gadis itu bergetar memintanya mengangkat panggilan, tapi tak ia jamah. Kava melihat kehancuran seorang gadis yang pulang dengan tangisan. Kava juga mengikutinya hingga tuntas; gadis itu tidak pulang menuju rumah, tapi menemui sang Ayah.

Di sudut pemakaman, ia menangis di hadapan ayahnya. Ia katakan berulang kali bahwa ia tak berguna sebagai putri. Ia teriakkan berulang kali, bahwa yang ia inginkan adalah kebahagiaan untuk Ibuknya. Ia isakkan tangisnya pada nisan dan ilalang yang terdiam melihat gadis itu lebur dalam kehancuran. Kava menyaksikannya dengan penuh penyesalan. Kali pertama yang membuatnya trauma. 

Ketika langit mulai terang, Kava pulang meninggalkan kesedihan bagi gadis itu sendirian. Setiap malam, Kava teringat dengan kabar gawat yang sudah membuat gadis itu dilumuri rasa sedih. Ia berusaha mencari cara supaya peruntungan yang kurang baik tidak usah disampaikan pada para anak manusia yang tinggal di bumi. Kava takut melihat tangis seorang gadis. Kava berusaha sekuat yang ia bisa. Namun, yang terjadi tetaplah sama. Pada gadis yang sama, pada perasaan yang sama, ia membawa peruntungan kurang baik untuk ke dua kalinya. 

Kava masih berdiri gemetar dan menyimpan banyak keraguan. Ia tak berani berlari ke ujung awan. Di sisi lain, seorang gadis penikmat bumi sedang mengurus beberapa surat rujukan untuk pergi ke rumah sakit jiwa. Senin depan, ia berurusan dengan dokter. Apakah Kava akan pergi atau menyimpan pesannya sendiri? Hanya Iris yang akan menentukan kepergian Kava. Iris, sang pelangi penunggu hujan. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun