Pada Januari 2016, penyidik KPK yang akan menggeledah ruang kerja Yudi Widiana, dihadang oleh Fahri Hamzah (FH). FH membentak penyidik KPK tersebut. Eh, penyidik KPK itu, HN Christian, meskipun sempat tergagap ketika ditanya ihwal senjata yang dibawa petugas, dengan ekspresi wajah nyaris tak berubahmalah balik membentak FH. Keukeuh tak mau disuruh keluar.
Loh, apa hubungannya cerita itu dengan keterwakilan wanita di DPR?Saat saya menonton berita itu, saya membayangkan: saya mungkin sudah ngeperhabis kalau dibentak FH seperti itu. Jangankan dibentak, sekadar adu mulut saja mungkin saya tak kuat. Keburu pingsan di tempat.
Padahal dalam keseharian, saya dianggap teman-teman saya sebagai perempuan yang tegar, jago mengendalikan emosi, tidak mudah menangis. Kenyataannya kalau sudah di rumah, nangis di pojokan atau mewek saat nonton drakor (halah).
Kondisi gampang emosi ini, kadang menghambat untuk berani tampil. Kalau terlibat dalam suatu rapat, saya misalnya memilih diam kalau tak benar-benar perlu untuk bicara.
Kalau ingin mengajukan pertanyaan yang saya pikir cerdas dan berbobot dalam satu forum, sering batal karena belum apa-apa suara sudah gemetar, keringat dingin bercucuran. Pertanyaan berbobot itu pun mendadak kopong bagai kue semprong.Â
Sebenarnya saya tak yakin, apakah ini karena saya perempuan? Atau apakah laki-laki pun banyak yang seperti saya.
Sikap mudah emosi dan gampang menangis, diakui atau tidak, telah menjadi domain perempuan. Di sisi lain saya mengamati, pria kebanyakan memang tak seemosif wanita.
Saya tidak sedang berbicara mengenai saya saja, tapi sejumlah teman perempuan saya juga begitu, bahkan hampir semua (meskipun jika diberi akses jalan tol menuju bangku DPR, saya percaya teman-teman saya ini --mungkin saya juga-- bisa saja).
Namun dengan karakter dasarnya yang seperti itu, tanpa disadari wanita akan cenderung lebih mencari aman atau zona nyaman. Jika di rumah saja dan menjadi ibu rumah tangga bisa bahagia dan eksis, kenapa nyusah-nyusahin diri jadi para "pendebat" di parlemen.
Di sini saya tak bicara soal para selebriti manis dan cantik yang menjadi anggota parlemen. Yang berhasil melantai di Senayan karena popularitasnya. Yang mungkin juga lebih banyak sebagai pemanis di kubah hijau Senayan itu. Yang apabila didebat orang macam FH, ya mewek juga.
Sah-sah saja kalau ada yang tak setuju, karena bagaimanapun kajian psikologis ada juga yang menganggap bahwa itu juga disebabkan stereotip bahwa perempuan dianggap tidak apa-apa menangis, laki-laki tampak lemah kalau menangis, dan bahwa faktanya banyak pula perempuan berjiwa baja yang enteng saja berdebat dengan laki-laki, meskipun ini bukan mewakili sifat perempuan secara umum.
Namun kenyataan yang tak dapat dimungkiri adalah bahwa secara fisiologis, perempuan memang ditakdirkan mudah menangis.Â
Suzanne Degges-White, Ph.D., guru besar psikologi Universitas Northern Illinois, dalam tulisannya di situs Psychologytoday, menyebutkan, menangis merupakan jawaban yang "tepat" bagi wanita, karena penelitian menunjukkan bahwa secara fisiologis wanita "diprogram" untuk menangis, bukan bersumpah serapah.
Sementara itu, Vingerhoets, psikolog klinis dari Universitas Tilburg mengatakan, seperti dilansir Time dari  Science of Us, dalam air mata terkandung prolaktin; hormon yang berhubungan dengan emosi. Kadar prolaktin serum pada perempuan mencapai 60 persen, jauh di atas laki-laki. Inilah jawaban mengapa perempuan menangis lebih sering.
Vingerhoets juga mengatakan, secarafisiologis saluran air mata perempuan cenderung lebih dangkal daripada laki-laki. Hal ini memungkinkan air mata perempuan lebih mudah tumpah. Perempuan sebut Vingerhoets, menghabiskan waktu 6 menit untuk menangis dibanding laki-laki 2-3 menit.Hormon testosteron juga diketahui dapat meredam keinginan menangis pada laki-laki.
Karakter dasar perempuan yang mudah emosi dan menangis inilah, menurut saya, telah menjadi semacam "desain besar" yang tanpa disadari membatasi wanita pada umumnya untuk ogah terjun ke dunia politik.
Kondisi ini dibuat lebih langgeng akibat faktor lainnya terutama faktor teknis yang tak mendukung termasuk akses jalan tol ke parlemen (di hilir, hal teknis ini bisa saja malah menjadi faktor yang lebih besar sebagai penghambat partisipasi wanita dalam politik praktis).
Akses jalan tol yang saya maksud yaitu kemauan partai menempatkan kader wanitanya sebagai caleg di nomor urut pertama dan dari daerah pemilihan yang potensial terpilih, seperti yang didorong oleh sejumlah pihak.
Jalan tol ini di luar tren selebritis perempuan yang berhasil menjadi anggota parlemen, karena justru di sinilah perbedaan akses terlihat dibanding wanita pada umumnya. Kepopuleran merupakan akses lain untuk perempuan maju ke kancah politik, karena pergaulan juga telah mendukung mereka ke sana. Tapi alangkah anehnya jika seseorang sengaja berupaya menjadi seleb dulu, sebagai batu loncatan ke parlemen.
Faktor penghambat lain jika ini bisa disebut penghambat adalah hal yang tak bisa diperdebatkan terkait peran perempuan sebagai ibu. Saya melihat, banyak wanita yang --ketika peran suami sebagai pemberi nafkah berjalan lancar-- dia akan lebih memilih berada di rumah saja, mengurus anak.Â
Kondisi bisa diperparah dengan masih kentalnya budaya patrilineal, dan bahwa ada anggapan mereka lebih cakap berpolitik rumah tangga alih-alih berpolitik praktis.
Jika mau dibandingkan dengan pria, apalagi jika menjadi anggota parlemen tak lebih sebagai tempat mencari nafkah, ini akan sejalan dengan peran wanita di dunia kerja yang juga jauh lebih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2016, menunjukkan bahwa partisipasi kerja laki-lagi mencapai 81,97 persen, perempuan hanya 50,77 persen.
Normal-normal saja sebenarnya. Toh menjadi ibu rumah tangga adalah pertukaran seimbang dengan pria sebagai pencari nafkah. Ketika pria gagal memainkan peran pencari nafkah, perempuan akan dipaksa dan terpaksa mengambil alih peran itu (dan biasanya pria lumpuh untuk mengambil peran sebaliknya).
Dulu, saat masih jauh lebih muda, saya sinis dengan wacana kuota atas peran apapun untuk wanita: kalau memang sanggup kenapa harus pakai kuota. Jika bisa melebihi pria, ya hajar saja. Feminis banget.
Tapi faktanya, pemberian kuota 30% di parlemen saja belum pernah terpenuhi, bahkan belum pernah bisa mencapai 20% pun. Kini, sebagai bagian dari emak-emak, atau setidaknya bergaul di kalangan ini, entah mengapa saya lebih bisa memahami mengapa ini sulit.Â
Jadi, penetapan kuota untuk mendorong pencapaian partisipasi memang diperlukan. Ini salah satu obat untuk menekan sementara alasan-alasan kewanitaan sebagai penghambat mereka berpolitik.
Untuk sekadar diketahui, berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang dikeluarkan tahun lalu, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia, jumlah penduduk perempuan mencapai 130,3 juta (49,75%). Jika bisa tercapai, kuota 30% cukup mewakili.
Ada pernyataan menarik dari Suzzane. Kata dia, kita belum menemukan cara terbaik untuk mendidik wanita bagaimana menggunakan energi yang muncul dari kemarahan dengan cara yang sehat, efektif dan produktif. Alhasil, peluang perempuan dan anak-anak perempuan mereka, hilang secara signifikan.
Jika wanita mampu memanfaatkan kemarahan mereka dan menggunakannya untuk mendorong perubahan positif, kata Suzzane, masih dari situs Psychologytoday, dunia mungkin akan menjadi tempat yang lebih ramah dan merata untuk semua orang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H