Normal-normal saja sebenarnya. Toh menjadi ibu rumah tangga adalah pertukaran seimbang dengan pria sebagai pencari nafkah. Ketika pria gagal memainkan peran pencari nafkah, perempuan akan dipaksa dan terpaksa mengambil alih peran itu (dan biasanya pria lumpuh untuk mengambil peran sebaliknya).
Dulu, saat masih jauh lebih muda, saya sinis dengan wacana kuota atas peran apapun untuk wanita: kalau memang sanggup kenapa harus pakai kuota. Jika bisa melebihi pria, ya hajar saja. Feminis banget.
Tapi faktanya, pemberian kuota 30% di parlemen saja belum pernah terpenuhi, bahkan belum pernah bisa mencapai 20% pun. Kini, sebagai bagian dari emak-emak, atau setidaknya bergaul di kalangan ini, entah mengapa saya lebih bisa memahami mengapa ini sulit.Â
Jadi, penetapan kuota untuk mendorong pencapaian partisipasi memang diperlukan. Ini salah satu obat untuk menekan sementara alasan-alasan kewanitaan sebagai penghambat mereka berpolitik.
Untuk sekadar diketahui, berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang dikeluarkan tahun lalu, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia, jumlah penduduk perempuan mencapai 130,3 juta (49,75%). Jika bisa tercapai, kuota 30% cukup mewakili.
Ada pernyataan menarik dari Suzzane. Kata dia, kita belum menemukan cara terbaik untuk mendidik wanita bagaimana menggunakan energi yang muncul dari kemarahan dengan cara yang sehat, efektif dan produktif. Alhasil, peluang perempuan dan anak-anak perempuan mereka, hilang secara signifikan.
Jika wanita mampu memanfaatkan kemarahan mereka dan menggunakannya untuk mendorong perubahan positif, kata Suzzane, masih dari situs Psychologytoday, dunia mungkin akan menjadi tempat yang lebih ramah dan merata untuk semua orang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H