Mohon tunggu...
Ruri Andayani
Ruri Andayani Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang penyintas kehidupan

Saya siapa yaa?

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mudah Emosi adalah Desain Besar Wanita Ogah Berpolitik

14 Maret 2018   23:33 Diperbarui: 16 Maret 2018   01:32 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun kenyataan yang tak dapat dimungkiri adalah bahwa secara fisiologis, perempuan memang ditakdirkan mudah menangis. 

Suzanne Degges-White, Ph.D., guru besar psikologi Universitas Northern Illinois, dalam tulisannya di situs Psychologytoday, menyebutkan, menangis merupakan jawaban yang "tepat" bagi wanita, karena penelitian menunjukkan bahwa secara fisiologis wanita "diprogram" untuk menangis, bukan bersumpah serapah.

Sementara itu, Vingerhoets, psikolog klinis dari Universitas Tilburg mengatakan, seperti dilansir Time dari  Science of Us, dalam air mata terkandung prolaktin; hormon yang berhubungan dengan emosi. Kadar prolaktin serum pada perempuan mencapai 60 persen, jauh di atas laki-laki. Inilah jawaban mengapa perempuan menangis lebih sering.

Vingerhoets juga mengatakan, secarafisiologis saluran air mata perempuan cenderung lebih dangkal daripada laki-laki. Hal ini memungkinkan air mata perempuan lebih mudah tumpah. Perempuan sebut Vingerhoets, menghabiskan waktu 6 menit untuk menangis dibanding laki-laki 2-3 menit.Hormon testosteron juga diketahui dapat meredam keinginan menangis pada laki-laki.

Karakter dasar perempuan yang mudah emosi dan menangis inilah, menurut saya, telah menjadi semacam "desain besar" yang tanpa disadari membatasi wanita pada umumnya untuk ogah terjun ke dunia politik.

Kondisi ini dibuat lebih langgeng akibat faktor lainnya terutama faktor teknis yang tak mendukung termasuk akses jalan tol ke parlemen (di hilir, hal teknis ini bisa saja malah menjadi faktor yang lebih besar sebagai penghambat partisipasi wanita dalam politik praktis).

Akses jalan tol yang saya maksud yaitu kemauan partai menempatkan kader wanitanya sebagai caleg di nomor urut pertama dan dari daerah pemilihan yang potensial terpilih, seperti yang didorong oleh sejumlah pihak.

Jalan tol ini di luar tren selebritis perempuan yang berhasil menjadi anggota parlemen, karena justru di sinilah perbedaan akses terlihat dibanding wanita pada umumnya. Kepopuleran merupakan akses lain untuk perempuan maju ke kancah politik, karena pergaulan juga telah mendukung mereka ke sana. Tapi alangkah anehnya jika seseorang sengaja berupaya menjadi seleb dulu, sebagai batu loncatan ke parlemen.

Faktor penghambat lain jika ini bisa disebut penghambat adalah hal yang tak bisa diperdebatkan terkait peran perempuan sebagai ibu. Saya melihat, banyak wanita yang --ketika peran suami sebagai pemberi nafkah berjalan lancar-- dia akan lebih memilih berada di rumah saja, mengurus anak. 

Kondisi bisa diperparah dengan masih kentalnya budaya patrilineal, dan bahwa ada anggapan mereka lebih cakap berpolitik rumah tangga alih-alih berpolitik praktis.

Jika mau dibandingkan dengan pria, apalagi jika menjadi anggota parlemen tak lebih sebagai tempat mencari nafkah, ini akan sejalan dengan peran wanita di dunia kerja yang juga jauh lebih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2016, menunjukkan bahwa partisipasi kerja laki-lagi mencapai 81,97 persen, perempuan hanya 50,77 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun