Mohon tunggu...
Ruri Andayani
Ruri Andayani Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang penyintas kehidupan

Saya siapa yaa?

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Terjebak di Tebing-tebing Belantara Manglayang

7 Maret 2018   23:53 Diperbarui: 8 Maret 2018   16:12 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam Bandung dan sekitarnya tak habis-habis digali. Ketika saya pikir semua pergunungan di sekitar kota saya ini sudah pernah saya kunjungi, minimal bagian terluarnya, ada saja yang masih belum tersentuh.

Belum lama ini, saya dan dua teman saya yang sama-sama suka hiking ringan ke alam di akhir pekan, bagai terjebak di alam liar dan di satu rencana grup teman lainnya yang di luar rencana kami bertiga. Semula kami menduga hanya akan mengunjungi curug (air terjun) yang lokasinya tak terlalu tinggi, sekadar untuk refreshing sambil foto-fotoan.

Siapa sangka grup lainnya ini yang memang sudah janjian bertemu di lokasi wisata Curug Cilengkrang, "menggiring" kami masuk dan masuk terus lebih dalam ke hutan. Mengerikannya, mereka hanya berbekal pengalaman ke lokasi yang sama beberapa tahun lalu. Ajegile!

Dengan membayar tiket masuk Rp 3.000 atau Rp 5.000 (saya lupa), kami masuk ke wanawisata Curug Cilengkrang. Lokasinya hanya sekitar 3 km dari Lapas Sukamiskin yang berada di Jalan A.H. Nasution, Ujungberung, Bandung Timur. Tempat wisata ini tepatnya berada di kaki Gunung Manglayang.

Akan tetapi memang, begitu mobil membelok ke kiri dari Jalan A.H. Nasution, jalanan tak henti menanjak, dengan lebar jalan hanya cukup untuk dua kendaraan ukuran biasa. Gunung Manglayang memang terkenal curam.

Memasuki lokasi wisata yang dikelola Perhutani ini, awalnya curug-curug masih berserakan di posisi landai. Keciil! Kami pun masih bisa hiking sambil cengengesan.

Curug Cilengkrang sebenarnya merupakan paket enam curug di aliran Sungai Cihampelas. Keenam  curug ini, berurutan dari hilir, adalah Curug Batupeti, Curug Papak, Curug Panganten, Curug Kacapi, Curug Dampit, dan Curug Legok Leknan.

Curug Batupeti di dekat satu batu berbentuk seperti peti (dokpri)
Curug Batupeti di dekat satu batu berbentuk seperti peti (dokpri)

Curug-curug ini dinamai sesuai karakteristik yang melekat padanya. Curug Batupeti misalnya, dinamai demikian karena tak jauh dari curug ada batu berbentuk seperti peti. Atau Curug Kacapi yang menurut warga setempat kadang di lokasi curug ini seperti terdengar suara alat musik kecapi.

Di curug-curug terbawah, kami masih bertemu bocah-bocah yang antara lain main perosotan di curug yang memang seperti perosotan ala waterboom, Curug Papak. Hingga kemudian... suara tawa anak-anak pun mulai terdengar menjauh, dan lalu hilang. Senyap. Kecuali tinggal suara desah keluh kesah kami bertiga.  

Kami tak berencana hiking sejauh ini. Beda dengan grup teman lainnya yang berjumlah lima orang, yang tampaknya memang sudah berniat hiking serius.

Satu dua rintangan curug yang cukup curam dan berbahaya karena berbatu-batu dan licin, pun kami lalui. Tak bisa bohong, wajah mulai tertekuk. Hingga kemudian sampai di satu lapangan semak berkontur menanjak, yang menandai mulai makin beratnya gerak langkah.

Parade manyun pun tak tertahankan. Apalagi langit tampak menggelap. Sang guide yang nekat, Pak Asep, bagusnya tetap menyemangati kami (padahal usai turun kembali ke pintu tiketing, Pak Asep mengaku degdegan juga, waduh!).

dokpri
dokpri

Mulai muncul wacana kembali lagi saja, termasuk dari saya :D Tapi wacana ini terpatahkan karena jalur kalau balik lagi pun memang tak lebih mudah. Hingga akhirnya kami bertemu lagi dengan aliran sungai Cihampelas, aliran utama para curug, yang di posisi ini kemiringannya hampir 60 derajat. "Untuk memotong jalur, kita harus menyusuri sungai," instruksi Pak Asep.

Tak ada pilihan lain, kami menaikinya hampir dengan cara merangkaki batu-batu hitam sungai tersebut. Batu hitam ini adalah dari jenis lava basalt, yakni bekas lava yang membeku puluhan ribu tahun silam, saat Manglayang masih merupakan gunung api aktif.

Pemandangan yang indah, air yang jernih, dan suasana yang seakan hanya diberikan Tuhan kepada kami saat itu, membuat kami lupa sejenak pada muka tertekuk dan manyun di bawah tadi. Bahkan salah seorang teman nekat berbasah-basahan di bawah satu air terjun --yang ternyata Curug Kacapi-- tak sadar bahwa kami seperti sedang berada di lorong gang yang buntu.

Suasana di lorong sungai yang buntu kecuali dengan memanjat tebing (dokpri)
Suasana di lorong sungai yang buntu kecuali dengan memanjat tebing (dokpri)

Saya perhatikan suasana sekitar: kiri kanan berupa tegakan tebing yang ditumbuhi sulur-sulur akar dan pohon merambat. Mundur ke belakang, berarti kembali menuruni sungai curam. Di bagian depan adalah Curug Kacapi berdinding batu, yang menjulang puluhan meter; tempat teman-teman saya masih asyik bergaya-gaya dan berfoto-foto.

Saya mulai curiga. Kemana Pak Asep akan membawa kami keluar dari lorong sungai buntu ini? Keputusan gila diambil Pak Asep: menaiki satu tebing yang berkemiringan hampir 90 derajat dengan tinggi sekitar tiga meter. "Tak ada jalan lain, turun lagi lebih berisiko," kata Pak Asep.

Merangkaki sungai batuan lava basalt untuk mencapai Curug Kacapi (dokpro)
Merangkaki sungai batuan lava basalt untuk mencapai Curug Kacapi (dokpro)

Saya nyaris mogok, tak tahu bagaimana cara selamat memanjat tebing tiga meter hanya dengan bermodalkan satu tambang, plus satu kelebihan yang saya miliki: kelebihan berat badan. Keyakinan tumbuh begitu melihat teman yang sama-sama bahenol, sukses menaiki tebing tersebut.

Saat merayapi tebing, tak ada yang bisa memahami bagaimana saya merasa nyawa seperti sudah di ujung tanduk. Lengan saya yang sedang dalam keadaan sakit, tak bisa sempurna mencengkram tali. Kalau sampai terlepas, maka saya akan terjengkang ke batu-batu keras yang menganga di bawah. Semua sedang sibuk memikirkan keselamatan masing-masing tampaknya.

img-20180307-233206-5aa01335ab12ae2e802d6c92.jpg
img-20180307-233206-5aa01335ab12ae2e802d6c92.jpg

Pak Asep yang badannya berbobot, ternyata kemudian mengaku bahwa dia juga awalnya tak yakin bisa memanjat tebing tersebut. Apalagi tebing tersebut ternyata belum benar-benar berakhir dalam ketinggian tiga meter itu, melainkan masih ada sambungannya berupa bebatuan yang ditumbuhi tanaman perdu berkemiringan hampir 70 derajat.

Dengan jurus bak laba-laba merayap, tebing terlewati juga. Terimakasih saya ucapkan kepada para batang dan akar perdu yang acak-acakan karena menjadi pegangan untuk memanjat.

Usai melewati ujian panjat tebing, sampailah kami di satu lansekap pergunungan yang --pinjam istilah Inggris-- "breathtaking". Namun terlihat bahwa bentang alamnya baru saja diterjang longsor lumayan parah. Sejumlah pohon besar terlihat tumbang.

Cekungan Bandung bagian timur dari ketinggian kaki Manglayang (dokpri)
Cekungan Bandung bagian timur dari ketinggian kaki Manglayang (dokpri)

Perasaan campur aduk antara terpukau sekaligus cemas. Bagaimana kalau ada longsor susulan? Bagaimana kalau hujan padahal kami tak bawa jas hujan? Awan pun terlihat makin tebal. Kami pun kembali pasang muka tertekuk. Apalagi Pak Asep resmi mengaku kehilangan jejak. Longsor ini, kata dia, membuat jalur tertutup.

Syukurlah, akhirnya jalan setapak menuju pulang ditemukan juga. Kami sama sekali tak berniat menemukan dua curug berikutnya, yakni Curug Dampit dan Curuk Legok Leknan.

Ada yang lucu mengenai asal kata "legok leknan", yakni terkait di masa perjuangan ketika satu pesawat yang dipiloti seorang letnan penerbang, jatuh di kawasan ini. Sang Letnan selamat. Warga, dengan aksen Sunda memanggilnya leknan alih-alih letnan.

Kiri bawah: Curug Kacapi bagai dinding jalan buntu. Atas: Cekungan Bandung timur, Kanan bawah: jalur jalan setapak hilang gara-gara longsor (dokpri)
Kiri bawah: Curug Kacapi bagai dinding jalan buntu. Atas: Cekungan Bandung timur, Kanan bawah: jalur jalan setapak hilang gara-gara longsor (dokpri)

Sisa perjalanan, kembali membuat kami lupa kesulitan yang telah lalu karena pemandangan di depan membuat kamera selalu dalam posisi terpasang: pemandangan Cekungan Bandung sebelah timur.

Sesampainya kembali di gerbang tiketing, kami mampir di satu warung untuk merenggangkan otak dulu dengan segelas kopi instan panas dan sepiring bala-bala. Segala emosi yang menggelegak saat berada di atas, menjadi lebur dalam gelak tawa. Pak Asep habis dimarahi.

Bagaimana tidak, ini perjalanan sulit yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, namun berakhir dengan membahagiakan jiwa karena suguhan pemandangannya yang spekta selama perjalanan. Padahal saya yakin, seperempatnya pun kami belum mencapai tinggi gunung berketinggian 1.800-an meter ini. Dan syukurlah, hujan pun tak pernah turun pada hari itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun