Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimanakah Membangun Budaya Posistif di Sekolah?

5 Februari 2024   14:15 Diperbarui: 9 Februari 2024   11:02 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah adalah salah satu tempat pembentukan karakter anak, setelah lingkungan keluarga. Jika orangtua bertanggung jawab terhadap anak di rumah maka guru mempunyai tanggung jawab yang sama saat anak berada di sekolah.

Tantangan bagi orangtua maupun guru saat ini jauh lebih berat dari pada zaman dulu. Orangtua dan guru (saya misalnya) mempunyai masa kanak-kanak yang jauh berbeda dengan zaman now. Dulu saya bermain lompat tali, gobak sodor ataupun kelereng dengan teman sebaya.

Bersosialisasi dengan kawan secara langsung, orangtua teman juga kita mengenal dengan baik, bahkan sering tidur dan menginap di rumah kawan saat belajar kelompok.

Saat akan lomba cerdas cermat, dulu saya menginap di rumah teman sambil menghafalkan pasal-pasal undang-undang dasar 1945, menghafalkan nama-nama menteri dan materi lain.

Kebiasaan-kebiasaan itu saat ini sudah tidak ada, anak-anak lebih suka dengan gadgetnya masing-masing, bermain tik-tok dan mengunggah video. Kenyataan inilah yang membedakan zaman dulu dan zaman modern saat ini.

Jika sudah sedemikian modern, apakah budaya-budaya positif yang saat itu saya alami bisa kembali kita terapkan pada anak di zaman now?

Jika harus persis mungkin tidak bisa, namun kita harus berusaha mengedukasi anak-anak dengan memberikan contoh dan keteladanan yang bernilai positif. Misalnya bagaimana anggah-ungguh dan cara berbicara dengan guru yang sopan.

Bagaimana sikap gurunya? Bagaimana tutur kata guru? Bagaimana guru bersikap pada murid? Bagaimana murid bersikap? Bagaimana guru dengan guru saling berinteraksi?

Hal-hal inilah yang perlu menjadi perhatian warga sekolah, murid, guru, kepala sekolah, penjaga juga orangtua. Semua harus berkontribusi membangun budaya positif di sekolah.

Berikut perilaku yang bisa kita terapkan untuk membangun budaya positif di sekolah.

Bersalaman dengan baoak dan ibu guru saat datang di sekolah. Gambar : SMK Gombong
Bersalaman dengan baoak dan ibu guru saat datang di sekolah. Gambar : SMK Gombong

Satu, berjabat tangan dengan guru saat datang di sekolah

Berjabat tangan dengan guru saat datang di sekolah menjadi penting, karena bisa menumbuhkan kedekatan dengan murid. Di beberapa tempat biasanya terpampang di dinding sekolah berupa slogan 6 S yaitu, Senyum, Sapa, Salam, Salim, Sopan, Santun.

Ketika anak mau berjabat tangan saat datang di sekolah, hal itu menunjukkan tawadhu' seorang murid kepada guru. Mereka ingin mendapatkan ridha dari seorang guru, sehingga saat guru datang sebaiknya murid segera menyapanya dengan salam, kemudian salim dan bertegur sapa dengan kata-kata yang sopan.

Demikian juga hendaknya guru berinteraksi kepada murid dengan menyapa dan menanyakan keadaannya hari itu, misalnya; "Andi tadi sudah sarapan belum?", atau "Diberi uang saku berapa hari oleh bunda?" atau "Tadi diantar siapa".

Kalimat-kalimat di atas sebagai penyapa guru pada murid, saat murid mendapat perhatian seperti itu dia merasa menrasa menjadi keluarga, hal itu akan membangun sikap dan karakter yang positif terhadap anak.

Hal yang sama sebaiknya juga dilakukan oleh guru, yaitu berjabat tangan dengan guru lain saat datang di sekolah, supaya menjadi contoh bagi anak, bahwa berjabat tangan juga dilakukan oleh guru.

Dua, bertutur kata yang sopan dan berperilaku yang santun

Dewasa ini sudah mulai tergerus adab dan sopan santun terhadap guru. Saya sendiri mengalaminya, anak-anak sering tidak memakai Bahasa Jawa krama terhadap gurunya, mereka banyak menggunakan Bahasa jawa lugu, seperti layaknya berbicara kepada teman sebayanya. "Bu, sampean teko endi Bu", hal yang biasa kita dengar.

Padahal seharusnya tidak demikian, kalau sudah begitu maka sebaiknya menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Misalnya sapaan kepada orang yang lebih tua, menggunakan panjenangan, namun anak-anak menyapa dengan sampean kepada gurunya. Hal-hal seperti ini jika berada di wilayah Jawa menjadi penting untuk diperhatikan. Tutur kata anak-anak tidak sopan, suka mengumpat, dan berkata kotor saat bermain. Dari sinilah budaya anggah-ungguh dan andhap- ashor harus ditanamkan.

Saya sendiri saat mendengar langsung saya tegur, saat kakinya keinjak teman yang tidak sengaja langsung saja lisannya mengatakan kata-kata yang tabu, itulah hal-hal yang perlu kita perbaiki.

Menanamkan sikap kejujuran saat latihan pramuka. Dokpri
Menanamkan sikap kejujuran saat latihan pramuka. Dokpri

Tiga, menanamkan kejujuran

Jujur sangat penting ditanamkan kepada anak-anak. Kejujuran adalah modal utama seseorang bermasyarakat. Kejujuran juga menjadi investasi yang berharga terciptanya komunikasi dan hubungan yang sehat antar manusia.

Hendaklah sedini mungkin anak-anak ditanamkan sifat dan sikap jujur. Misalnya saat memberikan pekerjaan rumah pada siswa, apakah dikerjakan sendiri atau dikerjakan oleh ibu atau kakaknya. Hal ini penting menjadi perhatian guru terhadap murid.

Boleh juga dengan mengadakan kantin kejujuran, misalnya di kantin anak-anak ambil jajanan sendiri dan dibayar sendiri, tanpa ada petugas jaga. Saat seperti inilah kejujuran akan dibuktikan apakah mereka sudah menerapkan kejujuran atau belum.

Empat, menanamkan jiwa relegius

Menanamkan relegius pada siswa, sama dengan mengamalkan Pancasila sila pertama yaitu takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan berbagai cara dan kegiatan yang mengandung unsur relegius sesuai dengan kepercayaan dan agama yang dianut.

Sekolah bisa menfasilitasi hal-hal seperti itu, misalnya bagi umat muslim, mengadakan salat dhuha atau salat dhuhur berjamaah, mengadakan peringatan hari besar Islam, membaca asmaul husna sebelum pembelajaran dimulai dan lain sebagainya.

Lima, menamakan toleransi dan rasa empati

Sekolah adalah tempat berkumpulnya anak-anak dari berbagai macam karakter dan latar belakang yang berbeda. Ada anak yang terlahir dari keluarga kaya, ada juga yang kurang mampu. Ada anak yang rajin dan pinter, namun ada yang kemampuannya di bawah rata-rata.

Dari latar belakang yang berbeda dan kemampuan yang tidak sama itulah kita harus menanamkan rasa toleransi dan empati terhadap teman, apalagi bagi mereka yang lagi kesusahan.

Misalnya ada teman yang sakit, maka hendaklah kita mengajak yang lain untuk menjenguk. Masing-masing anak diharapkan menyisihkan uang jajannya untuk dikumpulkan dan dibelikan buah tangan untuk teman yang sedang sakit.

Hal-hal seperti ini, menjadi budaya yang positif di sekolah, setiap kali ada anak yang sakit lebih dari satu minggu saya sering mengajak anak-anak untuk membesuk. Mereka kami ajak untuk berkunjung ke rumahnya, Hal ini dapat menanamkan rasa empati sekaligus menyambung silaturrahmi.

Kegitan literasi di sekolah. Dokpri
Kegitan literasi di sekolah. Dokpri

Enam, menanamkan disiplin positif

Disiplin adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dengan pembentukan karakter siswa. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi jika sekolah tidak menerapkan kedisiplinan. Murid akan masuk seenaknya, pelajaran akan diikuti sesuka hatinya, pembelajaran di kelas pun tak bisa maksimal.

Penananamkan disiplin terhadap anak harus diterapkan dalam berbagai hal, baik dalam kesepakatan kelas, atau menjadi peraturan sekolah.

Mula-mula saat melakukan disiplin anak merasa keberatan, sehingga harus memaksa diri, namun dengan berjalannya waktu kedisiplinan bisa dilakukan tanpa beban. Contoh saat datang di sekolah pukul 06.45 WIB. Otomatis untuk mempersiapkan kedisiplinan itu dimulai dari bangun pagi, sarapan dan melakukan persiapan sekolah sepagi mungkin.

Bagi anak yang malas bangun pagi akan terasa berat, namun karena dia paksa setiap hari maka bangun lebih pagi ahirnya menjadi kebiasaan.

Tujuh, membiasakan giat literasi

Budaya membaca sudah lama digaungkan, anak harus melek literasi dan numerasi. Membudayakan membaca harus sudah ditingkatkan. Kebiasaan yang baik ini hendaklan menjadi budaya di lingkungan sekolah.

Banyak manfaat yang kita dapatkan dari membaca, menambah pengetahuan juga wawasan. Bagimana guru bisa menumbuhkan minat baca bagi anak, itulah yang paling penting.

Jika anak-anak senang membaca dan bahkan menjadi kebutuhan mereka maka kita telah berhasil membudayakan literasi di lingkungan sekolah.

Menjadi penting bagi guru dan orangtua untuk menanamkan budaya positif di lingkungan sekolah maupun keluarga, karena dari kebiasaan itulah karakter anak akan terbentuk.

Salam sehat selalu semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun