Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Malas Mengerjakan Tugas? Berikut Cara Saya Menyikapinya

9 November 2023   20:56 Diperbarui: 10 November 2023   15:19 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil karya anak diorama kebun binatang. (Dokumentasi pribadi)

Hari itu saat pelajaran Bahasa Indonesia, ada materi tentang pembuatan karya diorama kebun binatang. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Tiga hingga empat kelompok. Tugasnya membuat diorama kebun binatang yang terbuat dari kardus bekas yang tidak terpakai.

Semua siswa saya bagi menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga hingga empat anak. Harapannya dari ketiga anggota dapat bersinergi dan saling membantu kerja kelompok.

Setelah kesepakatan kelas, dua hari tugas kelompok harus selesai, saatnya hari ini mengumpulkan hasil karya dari masing-masing kelompok. Dari lima kelompok ada satu kelompok yang tidak mengumpulkan dengan alasan, dibawa si Aman, Aman menunjuk mengalihkan, dibawa si Mimin, hingga ketiganya saling melempar alasan karena tidak bisa merampungkan tugas kelompoknya.

Saya memang mengamati Aman, anaknya tak peduli dengan tugas yang diberikan guru, cuek dan tak acuh. Jika ada pekerjaan rumah (pr) juga jarang mengerjakan. Terlihat malas dan masa bodoh. Saat saya tanya mengapa tidak mengerjakan tugas, dengan santainya dia menjawab: "Lupa Bu".

Beberapa kali Aman selalu menghindar saat ada tugas, entah lupa atau sengaja lupa karena malas belajar. Akhirnya saya pun mencoba mencari tahu bagaimana kondisi keluarga atau lingkungan bermainnya. Saat istirahat tiba, sengaja saya mengajaknya ngobrol di halaman tempat dia nongkrong sambil makan pentol goreng kesukaannya.

Hasil karya anak diorama kebun binatang. (Dokumentasi pribadi)
Hasil karya anak diorama kebun binatang. (Dokumentasi pribadi)

"Hei, Aman boleh Bu guru, makan pentol bersamamu?" Tanyaku sambil duduk di sampingnya.

"Boleh Boskuh," jawabnya sambil bergurau.

Ada beberapa teman yang juga nimbrung bersama Aman, Dandi, juga Udin ketiganya terlihat akrab.

Aman memang masih duduk di kelas lima, namun umurnya lebih dua tahun dari teman sebangkunya. Seharusnya memang sudah kelas tujuh, karena terlambat saat masuk sekolah dasar sehingga dia lebih berumur dibanding teman sebayanya. Apalagi perawakannya tinggi dan besar, dengan rambut dipotong cepak, persis seperti ABRI yang baru menyelesaikan pendidikannya.

"Aman, kalau di rumah kamu suka nongkrong kayak gini ya," tanyaku spontan.

Wah, boro-boro nongkrong Bu, Saya kalau di rumah, sore hari harus ngarit Bu, untuk sapinya Mamak."

"Kalau malam hari belajar gak," tanyaku kemudian

"Bagaimana mau belajar Bu, ikut bantu mamak di warung kopi."

"Memangnya kamu bisa buat kopi."

"Kalau itu, sangat mudah Bu, kopi yang sasetan tinggal buka tuang di gelas dan aduk dengan air panas, beres Bu," Saya manggut-manggut saja mendengar Aman menceritakan dirinya dan keluarganya.

Menurut cerita Aman, bapaknya meninggalkan ibunya saat dia masih TK, sehingga mamaknya banting tulang untuk membiayai dia dan dua saudaranya. Kakak perempuannya kelas 9 dan adiknya masih duduk di Taman Kanak-Kanak.

"Pantesan Aman gak pernah mengerjakan PR," bisikku dalam hati.

Kegitan literasi di SDN Tunggulrejo Singgahan Kabupaten Tuban. (Dokumentasi pribadi)
Kegitan literasi di SDN Tunggulrejo Singgahan Kabupaten Tuban. (Dokumentasi pribadi)

Dari cerita Aman saya bisa menyimpulkan bahwa kondisi Aman yang kompleks itulah menjadikan dia malas belajar karena mungkin dia lelah, dan kurang minat belajar.

Namun demikian sebagai guru saya harus bisa memotivasi Aman supaya tidak ketinggalan dengan teman-temannya. Aman memang termasuk dengan prestasi yang sedang, tidak menonjol dalam beberapa mata pelajaran, namun juga tidak tertinggal dengan siswa lain.

Hanya saja nilai yang dari tugas-tugas di luar kelas, banyak yang kosong. Sebagai wali kelas saya harus mencari solusi untuk Aman. Setelah mengetahui latar belakang keluarga dan lingkungannya saya memberikan menyikapinya sebagai berikut.

Pertama, mencari tahu informasi tentang keluarga dan lingkungannya

Sebagai guru, peran kita menjadi orangtua bagi anak-anak di sekolah. Sebagai orangtua seharusnya memperhatikan anak-anak dengan kasih sayang. Mengutamakan kasih sayang sangat diperlukan sehingga antara siswa dan guru tumbuh rasa saling menghormati, menghargai, dan saling memiliki.

Jika kasih sayang sudah terjalin, saat menghadapi anak yang menjengkelkan sekalipun, kita akan mencari tahu terlebih dahulu mengapa anak tersebut berulah. Bukan menjustice anak nakal atau mbeling. Sebaiknya mencari informasi terlebih dahulu penyebab anak tersebut berbuat seperti itu.

Seperti ilustrasi di atas, Aman setiap kali ada tugas sering tidak mengerjakan, sebagai guru saya merasa disepelekan, namun perasaan itu saya singkirkan, karena saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Aman.

Selidik punya selidik ternyata Aman mempunyai latar belakang keluarga yang tidak utuh. Seperti ilustrasi di atas, sehingga saya bisa mengambil langkah yang baik bagi Aman.

Kedua, tetap memberikan tugas dengan rentang waktu yang berbeda dengan temannya

Walaupun sering tidak mengerjakan tugas, maka jangan sampai dibiarkan saja, namun tetap beri perhatian. Jika ada pembiaran nanti justru tidak peduli, sebaiknya tugas tetap diberikan namun berbeda dengan teman-temannya.

Saya memberikan tugas yang tidak sama dengan waktu yang berbeda. Jika teman-teman Aman batas pengumpulan satu kali pertemuan saja, namun untuk Aman saya memberikan tugas dua kali pertemuan baru mengumpulkan. 

Hal ini supaya Aman bisa membagi waktu antara belajar dan membantu ibunya di rumah. Namun demikian tugas yang diberikan tidak sama, supaya tidak meniru temannya.

Ketiga, memberikan motivasi supaya semangat dalam belajar

Di dalam pembelajaran libatkan anak sebagai subjek bukan lagi objek. Hal ini sesuai dengan Kurikulum Merdeka saat ini yang sudah diimplementasikan di seluruh lembaga pendidikan.

Dengan demikian mereka merasa membutuhkan materi dan konsep yang akan dipelajari. Pengalaman belajar yang diperoleh tidak tergantung pada guru, terkadang mereka menemukan sendiri, layaknya pembelajaran inkuiri.

Guru sebagai fasilitator memberikan pendampingan dan arahan bagi murid-muridnya. Mendampingi dan memberikan kenyamanan pada murid, mutlak dilakukan supaya mereka tetap semangat dalam belajar.

Memberikan motivasi dalam belajar harus selalu didengungkan oleh guru. Misalnya menceritakan para tokoh yang sudah berhasil, atau tokoh yang sukses berkat ketekunannya dalam belajar.

Motivasi belajar tidak cukup hanya dengan kalimat-kalimat berpetuah saja, namun bisa dilakukan dengan menjadikan kelas dan sekolah ramah anak, mereka bahkan merindukan suasana kelas. Hal itulah yang harus diciptakan, sehingga anak-anak merindukan suasana sekolah karena nyaman dan menyenangkan.

Keempat, memberikan reward terhadap anak-anak yang kurang berprestasi

Reward biasanya hanya diperoleh bagi anak-anak yang berprestasi, dengan kata lain reward hanya diberikan untuk anak-anak yang pintar saja, padahal sebetulnya anak-anak dengan kemampuan sedang, juga ingin menerimanya.

Jika itu yang terjadi maka selamanya mereka yang berkemampuan kurang tidak akan menerimanya. Untuk itu sebaiknya tetap memberikan walaupun sekadar ucapan selamat sebagai penyemangat.

Begitu juga dengan Aman, dua hari yang lalu saya pun memberikan ucapan kepada Aman, "Wah, luar biasa hari ini, Aman sudah ada kemajuan, tugasnya dikumpulkan sesuai dengan waktu yang ditentukan."

Anak-anak pun bertepuk tangan memberikan dukungan terhadap Aman. Aman kelihatan bahagia. Rona wajahnya berbinar penuh semangat. Dia tersipu sambil tersenyum mengucapkan terima kasih.

"Semangat Aman, kamu anak hebat," ucapku kemudian.

Bapak dan Ibu Ki Hajar dewantara mengutip dalam bukunya: "Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya. Seperti itulah seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang seni mendidik, bedanya, guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan batin."

Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun