Pembentukan karakter sebaiknya dimulai sejak dini. Karakter anak akan tercipta sejalan dengan kebiasaan anak dalam kehidupannya baik itu di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Budaya positif menjawab harapan dan tantangan tujuan pendidikan di Indonesia.
Budaya positif adalah nilai-nilai dan keyakinan serta  kebiasaan perilaku murid  yang bernilai positif sehingga dapat membentuk karakter yang mandiri, disiplin, bernalar kritis dan  bertanggung jawab.
Dalam modul 1.4 materi 'Budaya Positif' Calon Guru Penggerak (CGP) membahas tentang bagaimana peran guru dalam menumbuhkan budaya positif terhadap anak. Misalnya bagaimana guru menanamkan disiplin, motivasi, perilaku yang positif serta memberikan posisi kontrol terhadap laku anak.
Kemendikbud telah mencanangkan  pada kurikulum-13 dan Kurikulum Merdeka Belajar bahwa nilai karakter harus ada pada setiap muatan pelajaran. Bagaimana guru bisa memberikan dan menyelipkan nilai karakter pada setiap pembelajaran  yang diampu.
Contoh di kelas 5, di tema 5 (Ekosistem). Pada pelajaran tersebut mengupas tentang hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya. Guru diharapkan dapat memberikan nilai karakter saat menjelaskan pada siswa, bagaimana nilai sosial dan gotong royong dibutuhkan oleh mahluk hidup.
Kemudian penjelasan itu dibawa kepada hubungan manusia dengan sesama, juga dengan mahluk hidup yang lain, bahwa kita tidak bisa hidup sendiri karena kita adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain.
Demikian juga ketika harus menerapkan budaya positif terhadap siswa, maka keterkaitan antara guru dan laku murid harus diselaraskan.Â
Menurut Ki Hajar Dewantara sebagai guru kita harus dapat menuntun dan menebalkan laku murid. Â Perilaku positif harus terlebih dahulu dilakukan sebagai teladan bagi murid-muridnya. Misalnya perilaku disiplin tentang kehadiran siswa. Sebaiknya guru mencontohkan terlebih dahulu. Jika memberikan keyakinan (baca peraturan) kelas bahwa murid harus datang jam 07.15 WIB, maka guru harus datang jam 07.00WIB.
Hal inilah yang dimaksud Ki Hajar Dewantara dengan konsep 'Ing ngarso Sung tuladha', bahwa jika di depan memberikan contoh dan teladan yang baik.Â
Seperti juga budaya menghormati terhadap orang yang lebih tua. Anak harus dibekali tentang sikap dan  bagaimana cara menghormati orang tua. Mulai dari cara berbicara, bersikap, juga ketika menyampaikan pendapat.
Anak cenderung meniru apa yang dia lihat dan dia dengar, tanpa menyaring dan mengolah informasi yang dia terima. Untuk itu penting bagi guru dan juga orang dewasa untuk memberikan tontonan yang baik bagi anak, sehingga apa yang dilihat dan didengar adalah hal yang positif bagi dirinya.
Contohnya suatu ketika Emma  yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar melihat TikTok tentang berjoget yang mempertontonkan aurat.Â
Suatu saat dia bergaya dan berjoget sambil hanya mengenakan kaos dalam. Ketika ditegur ibunya, "Loh Dik, kenapa jogetnya gak pakai baju?"
Dia bilang, "Biar seksi kayak yang ada di TikTok, Ma"
Itulah salah satu sifat anak, dia akan menirukan apa yang ia lihat. Sehingga penting  sebagai orang tua maupun guru memberikan bimbingan dan pendampingan pada perilaku anak.Â
Perilaku positif dan disiplin positif sebaiknya menjadi kebiasaan siswa di lingkungan belajarnya. Guru akan memberikan posisi Kontrol terhadap murid agar perilakunya bisa mencerminkan karakter yang diharapkan dalam profil pelajar pancasila.
Adapun yang dimaksud dalam profil pelajar pancasila adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan berahlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.
Untuk menanamkan budaya positif tersebut penting kiranya guru menerapkan teori kontrol pada murid.Â
Dr. William Glasser dalam control theory yang kemudian berkembang dinamakan Choice theory memandang beberapa konsep makna kontrol sebagai berikut:
Pertama, ilusi guru mengontrol murid
Guru tidak bisa memaksa murid untuk berbuat sesuatu, jika murid tersebut memilih tidak mau melakukannya. Jika guru sedang mengontrol perilaku murid sehingga dia  melakukan hal itu dikarenakan murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Pada saat itulah bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar murid yang dipilihnya. Â
Kedua, ilusi bahwa semua penguatan efektif dan bermanfaat
Penguatan positif atau bujukan adalah  salah satu bentuk kontrol. Segala usaha yang dimaksudkan untuk mempengaruhi murid agar mengulangi tindakan dan perilaku adalah usaha untuk mengontrol murid.Â
Dalam jangka waktu tertentu murid akan menyadari  dan mencoba menolak bujukan tersebut. Atau sebaliknya murid menjadi tergantung dengan penguatan yang disampaikan guru.
Ketiga, ilusi bahwa kritik dapat menguatkan karakter
Menggunakan kritik bisa mengontrol murid. Memberikan penguatan berupa kritik supaya murid bisa belajar dari kegagalannya. Hal tersebut dapat menguatkan karakter siswa.
Kritik membangun yang disampaikan dengan hati-hati akan menjadi pemantik murid untuk lebih dewasa dalam bertindak.
Keempat, ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa
Sebagian orang dewasa beranggapan bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap murid untuk melakukan pada hal-hal tertentu. Apapun akan diterima jika terdapat sebuah kemajuan. Namun dengan berjalannya waktu orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak efektif untuk jangka waktu yang panjang karena akan menimbulkan efek yang negatif.
Bapak ibu, penting kiranya menanamkan budaya positif  pada anak-anak kita, baik itu di lingkungan keluarga maupun di sekolah. Kebiasaan positif yang dilakukan akan menumbuhkan karakter yang kuat, mandiri, kreatif, bernalar kritis dan bertanggung jawab.  Â
Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H