"Bu, kok tidak  diberi PR?" tanya Andi anak yang rajin di kelas 5. Namun dua sahabatnya Takin dan Irul justru membantahnya.
"Gak usah Bu, Gak Usah"sahut keduanya. Takin dan Irul anak yang kemampuan kognitifnya memang jauh di bawah Andi. Sehingga keduanya menolak untuk diberi PR.
Untuk menyikapi hal tersebut saya tetap memberikan PR namun bobot soalnya tidak sama. Contohnya jika Andi dan beberapa teman yang kemampuannya sama, kami memberikan soal-soal pengayaan.
Sedangkan untuk Irul dan Takin saya memberinya soal-soal perbaikan. Artinya soal yang diberikan pada keduanya tingkat kesulitannya tidak sama dengan Andi. Bahkan jauh lebih mudah. Sehingga mereka tetap merasa senang jika diberi PR.
PR bukan lagi menjadi momok yang menakutkan namun menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Saat ini kita tidak munafik untuk melihat venomena zaman juga alam. Bahwa gadget sudah menjadi candu bagi anak-anak usia sekolah.
Bahkan banyak anak-anak yang secara terang-terangan mengaku bahwa tadi malam tidak belajar. Ketika saya menanyakan adakah tadi malam yang menonton TV? Mereka dengan serempak menjawab:
"Tidak Bu, saya melihat You Tube, Saya melihat tik tok, saya melihat video, saya WAnan dengan teman saya", Itulah yang terjadi saat ini. Maka menurut pendapat saya PR adalah hal yang sebaiknya diberikan untuk siswa.
Pada kenyataannnya, anak akan belajar jika ada PR. Jika tidak ada PR anak-anak enggan belajar, lebih suka membuka gadget dari pada  membuka buku dan membacanya.
Kedua, Mengingat kembali penjelasan guru.
Setelah guru menyampaikan materi di dalam kelas, baik itu  secara diskusi atau kolaborasi, ada saja yang lupa karena tidak memperhatikan, atau karena memang kemampuannya yang kurang mendukung.