Saya : "Bagaimana keuntungannya?"
Mbak Tin : "Ya, mrepet Bu, labanya turun 40%, untungnya saya juga jualan tempe embus". Tempe embus adalah tempe berbahan dasar ampas tahu yang difermentasi menjadi tempe tapi tidak ada kedeleinya. Sesuai namanya rasanya ya embus-embus gitu.
Jadi ingat beberapa kali saya ditawari tempe embus, makannya anget-anget dengan lalap cabe, rasanya ya gitu, gak ada rasa delenya, namun tetap gurih di lidah.
Saya : "Dengan mengurangi ukuran tempe, bagaimana tanggapan pembeli"?
Mbak Tin: Ya gitu Bu, banyak yang komplain tapi bagaimana lagi wong memang harga bahan dasarnya  naik, dari 975.000 perkwintal menjadi 1.300.000 per kwintal.
Saya : Bagaimana Mbak Tin bisa bertahan dengan kondisi yang seperti ini?"
Mbak Tin : "Saya ingat waktu pertama kali merintis usaha ini, bagaimana saya beli mesin penggilingnya, suami dulu menjadi TKI di Malaysia puluhan tahun, trus pulang membuka usaha tempe dan tahu ini Alhamdulillah langganan sudah banyak, jadi walaupun labanya mepet, saya tetap harus bertahan, demi pelanggan".
"Selain itu, saya tetap mempertahankan kualitas barang, walaupun harga kedelai mahal saya tetap menggunakan bahan dasar tempe tanpa saya campuri apapun. Alhamdulillah walaupun mereka yang di kota menggelar unjuk rasa, saya dan suami tetap beroperasi mengolah tempe dan tahu semampu kami".
Saya : "Apakah harapan Mbak Tin terhadap pemerintah?"
Mbak Tin : "Saya berharap pemerintah segera menstabilkan harga kedelai, bagaimanapun juga jika bahan dasarnya murah, kita menjaualnya lebih gampang dengan menambah ukuran tempe seperti semula. Saat ini ukuran tempe saya kuramgi lebih tipis dari biasanya. Â
Mbak Tin cukup bersyukur, walaupun labanya sedikit, tapi permintaan semakin banyak karena banyak pengusaha tempe rumahan yang gulung tikar karena tidak kuat membeli kedelai.