Memang ketika masuk dan diterima di lembaga tersebut yang bersangkutan sudah mengikrarkan bahwa tidak menuntut untuk diangkat menjadi ASN. Mereka diterima di sekolah dan mendapat  pekerjaan saja sudah bersyukur.
Niat utamanya memang mengabdikan diri, barangkali suatu saat ada kebijakan pemerintah yang memerhatikan nasibnya adalah sebuah keberuntungan.
Misalnya di tahun 2021 yang lalu syarat mengikuti PPPK adalah  mereka menjadi tenaga honorer, bahkan memprioritaskan bagi mereka yang telah berumur lebih dari 35 tahun mendapat nilai tambahan atau afirmasi.
Ini sebuah kebijakan pemerintah yang menguntungkan bagi tenaga honorer yang sudah lama mengabdi, terlepas diterima atau tidak tergantung nilai yang diperoleh ketika mengikuti tes PPPK.
Ketiga, mau menerima peran dan tanggung jawab ganda
Dalam sebuah lembaga pendidikan tidak terlepas dari segala bentuk aturan dan administrasi. Secara otomatis membutuhklan tenaga yang terampil di bidang IT. Â
Di sekolah banyak sekali kebutuhan administratif, misalnya  operator BOS, operator Dapodik, juga menangani masalah  Program Indonesia Pintar atau PIP, dan lain-lain yang  semuanya membutuhkan tenaga di bidang IT, belum lagi jika ada permintaan laporan yang sewaktu-waktu harus kirim data dengan cepat.
Dikarenakan tenaga honorer ada yang menguasai IT, ahirnya mereka mempunyai peran ganda, disamping mengajar mereka juga menjadi operator dapodik, atau operator BOS juga  menangani PIP.
Dari hal tersebut diatas menjadi sebuah pertimbangan yang harus dikaji ulang oleh pemerintah jika mereka ujug-ujug harus dirumahkan, mengingat perjuangan dan pengabdian mereka di lembaga pendidikan sudah terbukti adanya.
Jika pemerintah menghapus dan meniadakan tenaga honorer kemudian mengangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak atau disingkat  PPPK Impas saja bukan, toh banyak guru-guru yang pensiun di tahun 2023.
Tulisan ini opini penulis yang berangkat dari tenaga honorer dan mengetahui seluk beluk guru honorer yang ada di lapangan.