Seperti yang kita dengar ahir-ahir ini bahwa Pemerintah  melalui Kementerian pendayagunaan Aparatur negara  dan reformasi Thahjo Kumolo akan menghapus segala bentuk  tenaga honorer di instansi pemerintahan.
Berita ini sontak memberikan ciut hati para tenaga honorer yang masih banyak di kantor-kantor pemerintahan, utamanya di lingkungan pendidikan yaitu di sekolah-sekolah.
Masih banyaknya tenaga honorer yang belum katut pada perekrutan PPPK tahun lalu, Â menjadi PR sendiri bagi lembaga atau sekolah terkait dengan kebijakan itu.
Misalnya di lembaga saya dari sepuluh tenaga guru hanya dua ASN selebihnya adalah tenaga honorer. Beruntung tahun 2021 yang lalu ada dua yang lolos menjadi Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja atau PPPK.
Pertanyaannya jika mereka tahun ini tidak lolos PPPK maka bagaimana nasib mereka? Padahal rata-rata mereka telah mengabdikan diri selama 6-8 tahun bahkan ada yang sudah sepuluh tahun.
Rasanya memang tidak tega memberhentikan mereka, dengan alasan apa mereka diberhentikan, padahal kita tahu cara kerja mereka bagus, dan banyak memberi kontribusi bagi pihak sekolah.
Jika menghentikan menjadi tenaga hororer, maka pemerintah harus punya solusi  misalnya mengangkat menjadi PPPK melalui tahapan-tahapan. Sebetulnya pernah terjadi di tahun 2007/2008, mengangkat tenaga yang sudah menerima honor dari daerah menjadi ASN, termasuk saya adalah berangkat dari tenaga honorer yang masuk menjadi honorer daerah.
Kebijakan itu terjadi di tahun 2007 dan menuntaskan kelebihannya di tahun 2008. Semua yang terdaftar menjadi honorer daerah diangkat menjadi PNS. Kebijakan ini memberikan solusi untuk menuntaskan tenaga honorer di lembaga pendidikan maupun instansi yang lain.
Menurut saya, Jika pemerintah mau menghapuskan tenaga honorer seperti yang di sampaikan menpan Thahjo Kumolo, maka harus berani mengambil kebijakan seperti tahun 2007 dan 2008 mengangkat tenaga honorer menjadi PPPK.
Di jajaran Dinas Pendidikan saja tahun 2023 banyak yang purna tugas atau pensiun maka seyogyanya diisi dengan mereka yang telah lama mengabdi menjadi tenaga honorer.
Kenyataan yang terjadi di lapangan sejak 2007 sampai sekarang pemerintah belum pernah mengangkat PNS untuk formasi guru agama. Bisa dibayangkan dalam satu kecamatan saja ada 25 lembaga SD hanya memiliki guru agama PNS sebanyak 5 orang, selebihnya terisi oleh tenaga honorer.
Alhamdulillah tahun lalu pemerintah membuka PPPK untuk guru agama namun banyak yang tidak lolos. Sungguh disayangkan jika pemerintah mengharapkan pembentukan pendidikan berkarakter dan berahlakul karimah seperti yang diharapkan menjadi pelajar pancasila, namun tidak mengangkat  formasi guru agama.
Jika menelisik bagaimana pangabdian dan kerja mereka maka sudah banyak kontribusi yang mereka berikan terhadap dunia pendidikan.
Berikut contoh kontribusi yang diberikan tenaga honorer terhadap sekolah atau instansi :
Pertama, legowo menerima upah dibawah UMR
Berapa gaji tenaga honorer? Karena saya pernah menjadi tenaga honorer di lingkungan pendidikan maka saya bisa menyebutkan menurut pengalaman yang saya ketahui.
Adalah beragam tergantung kemampuan lembaga yang menaunginya, kalau boleh saya sebutkan sekitar 300.000-600.000,- sebulan. Beruntung jika sekarang sudah dibiayai BOSNAS kisaran 750.000,- 1.200.000,-
Dengan honor yang mereka terima, mereka tetap menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, berangkat pagi dan pulang setelah jam pelajaran berakhir.
Jika melihat besaran  nomimal memang  tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun mereka tetap legowo karena menjadi guru adalah salah satu pekerjaan yang relevan dengan ijazah yang mereka miliki yaitu S1 pendidikan.
Kedua, Berniat mengabdi
Menjadi tenaga honorer memang sudah diniatkan untuk mengabdi, mereka menjalankan tugas tanpa pamrih, kalaupun ada honor dari lembaga itu sifatnya sukarela.
Memang ketika masuk dan diterima di lembaga tersebut yang bersangkutan sudah mengikrarkan bahwa tidak menuntut untuk diangkat menjadi ASN. Mereka diterima di sekolah dan mendapat  pekerjaan saja sudah bersyukur.
Niat utamanya memang mengabdikan diri, barangkali suatu saat ada kebijakan pemerintah yang memerhatikan nasibnya adalah sebuah keberuntungan.
Misalnya di tahun 2021 yang lalu syarat mengikuti PPPK adalah  mereka menjadi tenaga honorer, bahkan memprioritaskan bagi mereka yang telah berumur lebih dari 35 tahun mendapat nilai tambahan atau afirmasi.
Ini sebuah kebijakan pemerintah yang menguntungkan bagi tenaga honorer yang sudah lama mengabdi, terlepas diterima atau tidak tergantung nilai yang diperoleh ketika mengikuti tes PPPK.
Ketiga, mau menerima peran dan tanggung jawab ganda
Dalam sebuah lembaga pendidikan tidak terlepas dari segala bentuk aturan dan administrasi. Secara otomatis membutuhklan tenaga yang terampil di bidang IT. Â
Di sekolah banyak sekali kebutuhan administratif, misalnya  operator BOS, operator Dapodik, juga menangani masalah  Program Indonesia Pintar atau PIP, dan lain-lain yang  semuanya membutuhkan tenaga di bidang IT, belum lagi jika ada permintaan laporan yang sewaktu-waktu harus kirim data dengan cepat.
Dikarenakan tenaga honorer ada yang menguasai IT, ahirnya mereka mempunyai peran ganda, disamping mengajar mereka juga menjadi operator dapodik, atau operator BOS juga  menangani PIP.
Dari hal tersebut diatas menjadi sebuah pertimbangan yang harus dikaji ulang oleh pemerintah jika mereka ujug-ujug harus dirumahkan, mengingat perjuangan dan pengabdian mereka di lembaga pendidikan sudah terbukti adanya.
Jika pemerintah menghapus dan meniadakan tenaga honorer kemudian mengangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak atau disingkat  PPPK Impas saja bukan, toh banyak guru-guru yang pensiun di tahun 2023.
Tulisan ini opini penulis yang berangkat dari tenaga honorer dan mengetahui seluk beluk guru honorer yang ada di lapangan.
Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H