Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Sayapku Hilang

12 Januari 2022   21:38 Diperbarui: 12 Januari 2022   21:41 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama dalam mobil ambulans Abah beberapa kali minta minum. Namun, aku hanya menghiburnya, "Nanti saja Abah, kalau sudah sampai di rumah sakit!" Jawabku yang sebetulnya ingin sekali memberinya. Perawat yang ikut dalam mobil ambulance menyarankan untuk tidak memberinya minum, hawatir nanti kesedak.

Beberapa kali Abah memintaku untuk mengangkat lututnya, "Ma, Kakiku angkat", aku angkat lututnya sehingga kaki terangkat membentuk sudut 45 derajat, itu yang diminta sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, sambil sesekali aku memijitnya.

Alhamdulillah setelah melakukan perjalanan selama 30 menit sampailah aku di rumah sakit. Setibanya di sana segera perawat membawa Abah ke UGD, dengan sigap dokter dan perawat memeriksanya, selang infus dari Puskesmas masih terpasang.

 Abah terbaring lemah, aku dipanggil oleh perawat untuk segera mendaftarkan di loket pendaftaran untuk memastikan perawatan di ruang inap.

Sebelumnya aku sempat berkomunikasi :

"Abah nanti jaketnya digunting saja ya, biar enak mencopotnya?" tanyaku kepada Abah.

"Gak usah nanti dicopot sambil duduk saja".

Jawabnya yang masih mempertahankan jaket kesayangannya. Padahal aku tau untuk duduk saja Abah mengalami kesulitan, tubuhnya lemah.

Melihat kondisi ini aku segera menghubungi saudara yang ada di Dusun, Pak Lik dan Pak Puh. Agar terkendali dan tidak membuat cemas aku mengatakan kondisinya baik-baik saja, jika ingin membesuk nunggu kabar aja, saranku di ponsel yang beberapa kali berdering menghubungiku.

Karena masih kondisi pandemi proses pendaftaran cukup memakan waktu, beberapa kali harus menuliskan nama dan tanda tangan. Entah rangkap berapa aku menuliskannya, ahirnya mendapat ruang inap. Abah masuk di HCU, setelah proses selesai ahirnya aku kembali ke ruang UGD.

Disana tak kudapati Abah, ternyata sudah masuk di ruang rontgsen bersama dua temanku Mbak Lilik dan Mas Mudi. untuk mengetahui apa ada tulang dada atau tangan yang patah akibat kecelakan ini.

Setelah itu masuk ke ruang CT-scanner, aku berusaha masuk menemani, namun petugas tidak mengizinkanku. Ahirnya aku keluar menunggu di depan pintu.

Setelah selesai, pintu terbuka aku segera masuk dan membantu untuk mengangkat tubuh Abah dari tempat CT-scanner ke ranjang pasien kemudian kami dorong menuju ke UGD lagi. Abah terlihat tidur pulas, mungkin ruangan AC membuatnya nyaman untuk menghantarkan tidurnya. Aku duduk di sebelahnya, kupandangi suamiku yang tertidur pulas.

Beberapa saat kemudian terpikir olehku, kenapa Abah tertidur pulas, lama-kelamaan semakin terdengar suara mendengkur. Aku mulai curiga, aku berusaha memanggilnya, menggerakkan tubuhnya, namun diam saja.

Dalam situasi yang panik aku berusaha merespon dengan mengajaknya bicara:

 "Lo, Abah, mengapa aku harus menunggui orang mendengkur di sini?"

"Abah...bangun... jenengan dicari Elha!"

"Abah...mana tasbih Abah!"

"Ayoo... gerakkan jari Abah!"

"Abah...Abah dicari Bela... Abah dicari Nata!"

Aku merusaha menyebut nama anak-anakku agar ada respons namun tetap saja tubuh Abah terbujur kaku di hadapanku.

"Dokter...Dokter...Abah tak ada respon!", teriakku di ruang UGD,

Segera dokter dan perawat pasang alat pendeteksi jantung, selanjutnya dokter melihat hasil CT-scaner yang baru keluar, dokter mendekatiku dan menunjukkan hasilnya sembari memainkan telunjuknya di lembaran hitam yg terbuat dari plastik itu.

"Ibu, mari kita lihat hasilnya, pembuluh darah pecah dan sudah masuk di otak 14 cm, kalau hanya 5-6 cm kami masih bisa menanganinya. Keadaan Bapak saat ini kritis Ibu", kata dokter menerangkan.

"Dokter, kritis tapi gak apa-apa kan,  Dok", tanyaku memburu seakan tak percaya dengan apa yang disampaikan.

"Lo, Bu, kritis kok gak apa-apa, yo apa-apa Buk?" jawab dokter mengernyitkan dahinya dan meyakinkanku. "Ibu yang sabar ya", ucapnya sambil menepuk bahuku dan berlalu.

Melihat kondisi ini segera aku menelpon keluarga, menyampaikan kalau saat ini kondisinya kritis.

"Assalamu alaikum Pak Lik, segera datang dan jangan ditunda, suami kritis!" ucapku mengabarkan yang sebenarnya.

"O, ya Mbak aku segera ke sana ," segera kututup ponselku kemudian kembali  mendekati Abah.

Aku mencoba tetap merespons Abah, apapun kukatakan,

"Abah baca wirid dalam hatimu, aku yakin Abah pasti bisa!"

Kalimat itu yang kubisikkan ditelinga Abah, sambil kugerakkan pipinya dengan kedua tanganku. Beberapa kali kuangkat lehernya kuulurkan tanganku di bawahnya, sehingga beliau tidur di tanganku. Namun usahaku sia-sia, abah tetap tak merespons bahkan tidak bergerak sama sekali.

Perawat datang dan memberikan suntikan di lengan tangannya, namun lagi-lagi Abah tak ada reaksi sakit sama sekali,

"Mbak Bapaknya kok diam saja?" tanyaku kepada perawat

"Ya Bu, coba Ibu respon saja karena Ibu yang paling dekat dengan Bapak"

Setelah perawat berlalu, aku berusaha tetap merespon Abah, kupegang tangan kanannya mulai dingin, aku perhatikan dadanya tak ada tanda-tanda bernapas, pikiranku mulai kacau.

Aku berteriak : "Dokter...Dokter... Abah tak ada napas,  Abah diam tak ada respons!" segera Dokter datang, memegang tangan Abah dan mengatakan : "Ibu, denyut nadi Bapak sudah tidak ada, yang sabar Bu nggih!"

"Maaf Dokter apakah masih ada usaha lain?"

"Ada Bu, dengan cara memberi pompa jantung, namun atas persetujuan Ibu, tapi kecil kemungkinan bisa berhasil", jawab dokter,

"Iya Dokter aku mengizinkannya, coba diusahakan saja!"

Akhirnya dua perawat bergantian memompa jantung Abah dengan kedua tangannya, persis yang sering kulihat di sinetron. Aku menyaksikan sendiri bagaimana perawat itu memompa tepat di atas dada, setelah itu bergantian dengan perawat yang lain. Setelah beberapa kali tidak berhasil maka aku mengatakan:

"Dokter!"

"Aku ikhlas"

"Aku ikhlas"

"Aku ikhlas Dok! "

Aku mengehentikan usaha perawat yang memompa jantung Abah, aku tak tega melihatnya.

"Ibu, Bapak sudah meninggal dunia, Ibu yang sabar ya!" kata Dokter sambil memegang  kedua pundakku.

Aku berdiri memandangi Abah yang tertidur pulas di hadapanku.

Kedua temanku yang menyaksikan peristiwa itu, duduk lemah, menangis sesenggukan dihadapanku,

"Ibu bagaimana ini apakah kami bisa mengabari orang rumah?"

"Jangan Mbak, aku masih belum percaya Abah meninggal, aku masih ingin melihatnya," jawabku tak percaya melihat apa yang terjadi di hadapanku.

 "Coba lihat!, Abah kelihatan seperti orang yang sedang tidur, wajahnya bersih kelihatan ganteng Mbak", ucapku tertegun menyaksikan belahan jiwaku yang pergi meninggalkanku sendiri. Satu sayapku hilang.

Ya Allah mengapa begitu cepat Engkau panggil untuk menghadapMu,

Ya Allah masih banyak pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan dengan Abah,

Robby...Aku ikhlas ... Kau angkat satu sayapku  

Namun, kutamakkan doa 

Ya Alloh angkat beliau di surgaMU

 Aku menyaksikan, bahwa Allah Mahakuasa untuk menentukan taqdir seseorang. Begitu lemahnya manusia, orang yang ada dihadapannya tak pernah mengetahui kapan detik-detik  nyawa melepaskan raga.

Mengenang 350 hari kepergian Abah dari sisiku, 12 Jumadil  Tsani 1443 H

Allhummaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun