Masih ingat kejadian itu ketika suami berangkat ke kantor dalam keadaan sehat dan  bugar, bahkan saat sarapan saya sendiri yang menyiapkan. Saya tidak pernah menyangka jika sarapan pagi itu adalah sarapan terahir yang kusuguhkan.
"Abah, jenengan sarapan pakai soto atau sambel terong?" adalah kata-kata terahir pada suami tercinta.
Berangkat ke kantorpun sempat saya iringi dengan membawakan tas, Â namun 15 menit setelah keberangkatannya mendengar kabar ada kecelakaan.
Saya membawanya ke rumah sakit, di dalam ambulanpun masih berbicara dan meminta minum. Sempat juga saya melepaskan jaket kesukaannya, namun dua jam setelah dirawat, suami dinyatakan telah meninggal, bahkan saya menunggui di ranjang pasien kapan nyawa dilepas dari raga saya tak pernah tahu.
Allohummaghfir lahu warhamhu, waafihi wa'fu 'anhu.
Ketiga, berziarah kubur untuk muhasabah diri.
Salah satu bentuk instrospeksi diri adalah dengan berziarah kubur. Â Gambaran nyata yang harus kita renungkan bahwa apapun yang kita lakoni selama hidup dengan polah tingkah kita muaranya adalah menunggu kematian.
Maka apa yang harus kita siapkan menghadapi kematian itu, sangu apa yang sebaiknya kita bawa adalah analogi yang tepat untuk menggambarkan datangnya kematian yang tiba-tiba, tanpa dinyana.
Pun yang saya terapkan pada anak-anak, saya selalu berpesan ketika di makam, bahwa semua apa yang kita ihtiyarkan hari ini dan selanjutnya harus ada bathi atau laba. Nah, laba itulah yang nanti akan menjadi sangu kita di alam kubur hingga yaumul qiyamah.
Apakah laba yang saya maksud? Adalah amal kebajikan.
Bapak dan Ibu, mari bermuhasabah, berintrospeksi diri dan menebar kemanfaatan, agar menjadi pundi-pundi amal yang bisa menemani kita kelak di barzah.