Mohon tunggu...
Ruri Handayani
Ruri Handayani Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S2 - Universitas Mercu Buana NIM ; 55521120043

UNIVERSITAS MERCU BUANA, PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI, MATA KULIAH PAJAK INTERNASIONAL & PEMERIKSAAN PAJAK (Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Akuntansi Perpajakan PDCA_Teknologi Informasi

12 November 2022   14:54 Diperbarui: 12 November 2022   15:33 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Posisi manusia vis a vis teknolodi yang dapat dilihat juga pada Filsafat Gilbert Simondon, menurutnya teknoloid engan makna instrumentalnya bukanlah teknis pada mesin, melainkan proses dari konkretisasi dan konvergensi atau benda-benda dari keadaan ontogenesis (preindividual being) yang terus memiliki banyak potensi berkembang untuk menjadi indivisu teknis yang utuh.

Keterkaitan dan hubungan anasir teknis yang menjadikan pemikiran utama fislafat teknologi Simodnon. Bagian dari individu adalah teknologi adalah manusia itu sendiri.

Sejak Tahun 1984 Indonesia memasuki era baru system pemungutan pajak, yaitu "Self Assessment System".

Dalam reformasi perpajakan pertama ini terdapat suatu perubahan sistem  yang sangat mendasar, yaitu dari official assessment menjadi self assessment,  di mana wajib pajak tidak hanya menjadi obyek tetapi justru menjadi subyek yang diharapkan aktif berpartisipasi dalam system perpajakan nasional.

Selain perubahan system tersebut, terdapat beberapa perubahan penting dalam tax reform pertama ini, antara lain:

  • Penyederhanaan terkait jumlah dan jenis-jenis pajak
  • Penyederhanaan tarif pajak untuk memudahkan wajib pajak

Kekurangan dari penerapan Self Assessment System di Indonesia

  • Fiskus seolah-olah menjadi pemburu / hunter agar Wajib Pajak men-declare status kurang bayar pada pajak terhutang. Dalam hal ini dapat dikatakan masih lemahnya system pengawasan maupun pemeriksaan kepada Wajib Pajak, sehingga fikus harus melakukan pemburuan.
  • Hal yang mendasari secara logika adalah, jumlah Wajib Pajak itu jauh lebih banyak daripada apparat pajak atau fiscus sendiri, sedangkan Fiskus hanya akan melakukan pemeriksaan pajak terhadap WP dengan status Lebih Bayar, benar karena negara tidak bisa begitu mudahnya mengembalikan apa yang sudah WP setorkan begitu saja, atau fiscus memandang lebih bayar tersebut dikarenakan adanya ketidakbenaran dalam perhitungan yang harus diuji Kembali apakah sudah patuh atau melanggar aturan.
  • Sehingga pada akhirnya timbul akal dari WP untuk melakukan tax avoidance mungkin extreme case nya sampai melakukan tax evasion. COntoh sederhana dari akal penghindaran pajak yang marak dilakukan WP adalah status Kurang Bayar tapi tidak sepadan dengan fakta atau kenyataan bisnisnya, karena pajak yang kurang bayar itu seolah-olah dibuat agar terhindar dari pemeriksaan bukan semata-mata sudah dilakukan dengan perhitungan yang sesuai atau reliable. Namun sejatinya peristiwa ini sepertinya sudah tidak menjadi hal yang tabu bagi masyarakat.
  • Apalagi sifat pajak yang banyak masyarakat mengatakan sulit sekali manfaatnya dirasakan langsung sehingga pemikiran-pemikiran karena tidak transparansinya alokasi budget penerimaan negara dari sector pajak untuk APBN dankebutuhan masyarakat.
  • Rasanya kasus korupsi yang sering terjadi yang selalu dikaitkan dengan integrity aparat pajak atau fiscus masih belum optimal untuk pemerintah tanggulangi, kasus pajak yang terjadi selalu berakhir dengan negoisasi bagi orang-orang yang berada dalam pemangku jabatan penting.
  • Dengan self assessment system, banyak sekali Wajib Pajak yang melakukan kecurangan dalam pelaporannya, misal melakukan system 2 pembukuan biasanya sering disebut dengan istilah "double book" 1 pembukuan untuk kebutuhan internal satu pembukuan untuk kebutuhan perpajakan, sehingga dalam laporan keuangan baik komersial maupun fiscal WP tersebut menyampaikan status rugi, padahal realitanya perusahaan tersebut mendapati untung yang cukup signifikan.
  • Penyajian laporan keuangan yang sulit dimengerti oleh petugas pajak, karena biasanya perusahaan cenderung menyajikan dengan requirement dari manajemen, misal pengklasifikasian biaya terhadap nature Chart of Account yang ada didalam Laporan keuangan perusahaan.
  • Dalam hal tata cara pemungutan dan pemotongan pajak, pemerintah menyerahkan kepada wajib pajak untuk menaati peraturannya secara mandiri atau self assessment, maka dapat dikatakan disini bahwa pemerintah atau DJP hanya sebagai regulator untuk melakukan pengawasan atas kejujuran dan kepatuhan dari seluruh wajib pajak

Dok Ruri Handayani
Dok Ruri Handayani

Jenis-jenis Perkembangan Teknologi & Layanan System Elektronik Perpajakan dari jaman ke jaman serta penerapan PDCA yang sudah dilakukan pemerintah terhadap perkembangan teknologinya.

  • DJP akan membentuk satuan team khusus untuk memberikan Pelayanan Pajak pada setiap WP yang terdaftar di masing-masing KPP nya untuk dihandle oleh satu orang Account Representative (AR).
  • Seiring berjalannya jaman modern, DJP melakukan layanan via Online Call atau yang biasa disebut (Kring Pajak 15002000), pelayanan pajak terus berkembang pesat mengikuti perkembangan teknologi yang juga semakin pesat.
  • Pelaporan Perpajakan waktu jaman dulu masih manual menggunakan form kertas, bahkan Faktur Pajak pun yang disajikan dalam Excel Template sederhana, bila kita ingat lagi kasus yang terjadi waktu di era tersebut adalah banyak "Penjualan Faktur Pajak" dalam kata lain oknum yang melakukan penjualan faktur pajak ini semata-mata membuka perusahaan lalu membuat transaksi fiktif dan dijual faktur pajak tersebut ke pembelinya, yang pada akhirnya pembeli melakukan pembukuan biaya yang sebenarnya tidak ada dan melakukan peng-kreditan pajak masukan yang sebenarnya juga fiktif, bahkan dari sisi penjual pun atas faktur tersebut tidak disetor dan dilaporkan, sampai akhirnya DJP menerbitkan layanan aplikasi e-faktur guna menertibkan administrasi pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kemudahan dalam prosesnya.
  • Namun sebetulnya kritik yang perlu diperhatikan kembali lagi terhadap system Self Assessment yang sebenarnya bisa saja merugikan beberapa Wajib Pajak yang patuh akibat dari WP yang tidak patuh, sebagai contoh. WP PT. A Menerbitkan faktur pajak keluaran (PK) atas penjualan kursi ke PT. B sebagai pembeli, kemudian PT B melakukan pembayran ke PT. A dan mengkreditkan Faktur Pajak dari PT. A sebagai pajak masukannya (PM). Pada saat PT. B melakukan pelaporan SPT Masa PPN, konsep forward shifting atas pemakaian PPN pun mengurangi jumlah PPN yang seharusnya terutang untuk PT. B.
  • Kemudian PT. A diperiksa pajak dikarenakan tidak menyetorkan faktur pajak keluaran yang sudah diserahkan ke PT. B, sehingga hal ini sangat merugikan PT.B karena harus menunjukkan bukti-bukti untuk menghindari adanya tanggung renteng PPN dari transaksi tersebut , meskipun sebenarnya bukti-bukti sudah dipegang oleh PT. B bahwa benar telah membayarkan PPN nya ke PT. B karen PT. B pun menagihkan include PPN.
  • Jadi kiranya, permerintah dapat melakukan system assessment yang lebih canggih lagi untuk transaksi pajak PPN ini, agar tidak adanya WP yang tidak menyetorkan dan tidak melaporkan tapi disatu sisi lawan transaksi telah meng-kreditkannya, misal dengan cara Wajib Pajak tidak bisa menerbitkan Faktur dibulan berjalan apabila faktur-faktur yang sebelumnya sudah diterbitkan belum dilaporkan, sebetulnya aturan terbaru dalam PER-11/PJ/2022 bahwa e-faktur wajib diunggah (di-upload) menggunakan aplikasi DJP maupun PJAP paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan faktur. Ini sebetulnya aturan sangat bagus untuk diterapkan jadi WP hanya diberikan kesempatan 15 hari kalender untuk melakukan rekonsiliasi pajak PPN nya apakah sudah sama dengan laporan komersial, misal dari segi Pendapatan & nilai PPN yang terhutangnya.
  • Kritik selanjutnya yang berkaitan dengan PPN ini ialah, harus diadakannya "Penghasilan bukan Pajak" yang dicantumkan didalam SPT Masa PPN, agar WP tidak terjebak Ketika dikirimkan surat SP2DK yang berisikan pertanyaan dari KPP kenapa penghasilan yang dilaporkan pada SPT badan tidak sesuai dengan SPT Masa PPN yang dilaporkan? Padahal ada beberapa penghasilan yang bukan objek PPN, contohnya : Perusahaan yang memberikan pinjaman kepada pihak lain, Bunga Pinjaman tidak dikenakan PPN dan bukan objek PPN karena dasar pajak tersebut tidak menambah nilai pinjaman melainkan untuk penambahan penghasilan si peminjam, namun Ketika ditanya kenapa berbeda oleh fiscus? Ya karena ada penghasilan yang bukan merupakan Objek pajak, jadi apa sebaiknya DJP melakukan penyediaan kolom agar Wajib Pajak menyertakan penghasilan yang bukan objek pajak PPN didalamnya, hal ini juga memudahkan WP dalam melakukan ekualisasi pendapatan ke SPT Masa PPN sehingga tidak ada selisih, atau contoh transaksi yang lain adalah adanya beban pemberian Cuma-Cuma yang disetorkan PPN nya oleh WP , jelas jika disandingkan dengan pendapatan saja SPT Masa PPN tidak akan cocok nilainya dengan SPT Badan WP, karena atas biaya pemberian Cuma-Cuma yang terhutang PPN tersebut dicatat didalam biaya Promosi oleh WP dan bukan pendapatan.
  • Hal-hal administrasi seperti ini yang seharusnya bisa DJP pertimbangkan agar WP pun merasakan manfaat mudah dalam proses ekualisasinya, karena pemeriksaan pajak pasti akan meliputi pengujian ekualisasi dari seluruh transaksi bahkan sampai ke pengujuan arus kas dan arus barang.
  • Penyetoran perpjakan pada waktu itu pun hanya bisa dilakukan di front bank melalui slip setoran pajak, saat ini pemerintah sudah melakukan pembaharuan dengan bekerjasama dengan bank-bank swasta sehingga penyetorann pajak dapat dilakukan secara Online banking.
  • Pelaporan perpajakan selain pake Form kertas , Wajib Pajak pun juga harus dating ke KPP untuk bisa melaporkan SPT nya, hal ini tentunya tidak efektif belum lagi antrian bisa sampai Panjang dan sangat membuang waktu bagi Wajib Pajak, kemudian WP diberikan satu lembar surat yang biasa disebut BPS (bukti penerimaan surat) yang di tandatangani oleh petugas pajak yang menerimanya, dan BPS ini pun wajib disimpan dengan baik oleh WP apabila suatu hari dibutuhkan dalam kasus pemeriksaan pajak atau kasus ke pengadilan pajak, pada waktu itu pelaporan Online bisa dilakukan namun hanya bisa via PJAP (Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan), namun seiring berjalan waktu, DJP membuat layanan lapor Online dari DJP langsung.
  • Selain itu perlunya pengembangan system dari DJP berkaitan dengan SPT Masa PPh Pasal 21 yang saat ini belum terintegrasi secara Online seperti e-Bunifikasi sudah mengcover PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15, PPh pasal 23, PPh Pasal 22 & PPh pasal 26. Oleh karenanya PPh 21 masih offline, terlebih lagi WP besar yang memiliki ribuan karyawan tidak mungkin untuk diberikan bukti potong 1721-A1 harus ditandatangani oleh kuasa ataupun wakil pajaknya, seharusnya sudah menggunakan digital form juga yang sudah tidak perlu di bubuhi tanda tangan & stemple perusahaan, begitupun bukti Potong PPh 21 tidak final untuk transaksi perusahan dengan orang pribadi masih dibutuhkan tanda tangan basah & stemple, hal ini cukup rumit dalam adminsitrasinya.
  • Sekarang ini ada beberapa KPP yang diberlakukan untuk mencoba e-PBK untuk melakukan PBK misal PPh Pasal 23 secara online, yang sebelumnya pengajuan PBK harus disampaikan ke KPP dan meminta BPS nya nanti KPP akan memberikan jawaban setuju/tidaknya atas permohonan PBK tersebut, semoga proses e-PBK ini bisa berjalan lancer sehingga WP lebih mudah.
  • Kemudian status kompensasi Lebih Bayar SPT Masa PPN juga yang akan langsung di link-kan sesuai masa yang terdapat LB nya, hal ini juga baik untuk WP agar terhindar dari salah memasukkan angka atau nilai Lebih Bayar yang digunakan.
  • Untuk PPh badan pun sekarang sudah via e-form namun saat WP menggunakannya sepertinya e-form masih belum memadai untuk kapasitas data yang besar, sehingga WP yang melaporkan SPT badannya di injury time bisa saja menjadi telat lapor dan dikenakan sanksi denda telat lapor.

Diatas merupakan pemaparan kritik berbasis plan, do, Check & Act yang harus di benahi oleh DJP secara pribadi oleh penulis.

Kemudian, Sesuai Pasal 2 sampai Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 diketahui bahwa pembayaran pajak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

  • PPh Pasal 4 ayat (2) , PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 yang dipotong oleh pemberi penghasilan harus disetorkan paling lama tanggal 10 bulan kemudian.
  • PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15 yang disetor sendiri oleh penerima penghasilan harus disetorkan paling lama tanggal 15 bulan kemudian.
  • PPh Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dipotong atau disetor sendiri harus disetor sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan ditandatangani pejabat berwenang.
  • PPh Pasal 25 harus disetorkan paling lama tanggal 15 bulan kemudian.
  • Pajak dalam rangka impor (PPN, PPh 22, PPnBM) harus disetor bersamaan dengan pembayaran bea masuk atau saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
  • Pajak dalam rangka impor (PPN, PPh 22, PPnBM) yang dipungut Dirjen Bea Cukai harus disetor dalam jangka waktu 1 hari setelah pemungutan.
  • PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran atau pejabat penanda tangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPh Pasal 22, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak rekanan pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
  • PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran, harus disetor paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
  • PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  • PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
  • PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
  • PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  • PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
  • PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
  • PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN yang ditunjuk selain Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  • PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
  • Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (20) harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.
  • PPh 29 yaitu Pajak Kurang Bayar atas SPT Tahunan harus disetor paling lambat sebelum dilaporkannya SPT Tahunan tetapi tidak melewati batas akhir pelaporan SPT Tahunan itu sendiri (akhir bulan ke-3 untuk SPT Tahunan Orang Pribadi dan akhir bulan ke-4 untuk SPT Tahunan Badan)
  • Bea Meterai harus dilunasi pada saat terutang meterai.
  • Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang harus dilunasi paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh Wajib Pajak.
  • Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak PBB harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak PBB oleh Wajib Pajak.
  • Pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak PBB harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak PBB oleh Wajib Pajak.
  • Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
  • Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) / poin 23 di atas dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan. Dan ketentuan Wajib Pajak di daerah tertentu tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Namun pada pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 ada pengecualian sebagai berikut:

  • Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
  • Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun