Mohon tunggu...
Runi
Runi Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Menulis di waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pengalaman Naik Jaklingko, Busway, dan Commuterline di Jakarta

11 Agustus 2022   11:41 Diperbarui: 11 Agustus 2022   12:22 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Selain itu juga, mengusung transportasi yang cashless, transportasi umum ini mengharuskan penggunanya bertransaksi dengan kartu e-money. Hanya saja mesin untuk tap in dan tap out di transportasi itu terkadang error dan tidak bisa membaca e-money yang saya bawa. 

Hal ini sering saya rasakan saat saya naik Jaklingko. Walaupun bertarif "0" saya tetap harus tap in dan tap out pada mesin yang tersedia. 

Tapi saat terjadi error, terkadang saya mendapati supir yang malah menasihati dan menghimbau saya untuk menggunakan kartu dengan lambang jaklingko dan jangan menggunakan kartu yang saya bawa. Bahkan pernah saya mendapatkan supir yang sengaja menunggu saya seakan mengharuskan saya membayar tarif kepadanya.

Kejadian tersebut makin lama makin tidak mengenakan saat saya pernah suatu ketika mendapatkan Jaklingko tanpa sebuah mesin tap dengan alasan rusak, tapi penumpangnya boleh naik dengan menunjukan kartu e-money saja. Sangat tidak konsisten! 

Jadi sebenarnya yang salah kartu yang saya gunakan atau memang mesin-mesin tap itu yang bermasalah. Jujur saja, saya merasa tidak nyaman karena saat saya tidak berhasil tap di mesin, supir terkadang menghimbau dengan nada kesal atau meremehkan karena saya tetap tidak mengeluarkan ongkos pengganti. 

Saya merasa tidak bersalah karena kartu yang saya gunakan selalu berhasil di busway atau pun commuterline dan juga saya tidak membaca aturan harus dengan kartu khusus jaklingko. Justru sebaliknya, saya membaca himbauan untuk tidak memberikan uang cash kepada sopir.

Bukan hanya di Jaklingko pengalaman tidak mengenakan terjadi, tapi juga saat di busway dan commuterline, dari mulai menunggu lama untuk rute-rute tertentu, tapi saat datang bus dan commuterline yang dimaksud sudah penuh dengan penumpang sehingga bila tidak memaksakan diri untuk masuk akan menunggu lama lagi untuk bus dan commuterline selanjutnya, sampai hal keamanan yang mulai berkurang di dalam busway dan commuterline juga termasuk hal yang tidak mengenakan saat naik transportasi umum di jakarta.

Selain itu pernah sekali waktu pengalaman saya pada busway-busway tertentu yang memiliki 2 atau 3 pintu yang bisa dibuka, tapi waktu akan turun dari busway entah di halte ataupun terminal, saat saya sudah berdiri dan akan turun di pintu kedua atau pintu belakang yang dekat dengan tempat duduk saya, justru pintu tersebut tidak dibuka oleh sopir busway, dan mengharuskan saya berlari ke pintu paling depan dekat sopir untuk turun. Ini sangat tidak menyenangkan, karena saya merasa diledek.  Bila saat akan naik semua pintu terbuka, kenapa saat turun, hanya dibuka pintu bagian depan saja.

Begitulah Jakarta ku saat ini, tempatku benar-benar dilahirkan, tapi masyarakatnya hampir tidak bersahabat. Dan mungkin karena itu juga banyak masyarakat menjadi lebih egois dan  memilih kendaraan pribadi dibandingkan alat transportasi umum sehingga menyebabkan kemacetan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun