Mohon tunggu...
Rungla Angsana
Rungla Angsana Mohon Tunggu... -

shunya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penyembah Belatung Gigi

30 Mei 2011   01:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku adalah penyembah gigi yang sakit.

Karena sakit, aku jadi penyembah di kala sehat ku abaikan. Aku bebas.

Tapi kau harus bertanggung jawab! Karena gigiku menangis tercerai berai..

Apa aku didakwa seperti bakteri dan belatung gigi?

Kau seperti belatung hitam jahat. Gerogoti tiap lapis, menunggu busuk. BANGSAT!

Aku hanya lapar, itu saja. Kau seharusnya memujiku. Di kala sakit itu menderu, rohku hadir menjamah tiap lapisan. Busuk adalah aromaku, wewangian setajam rindu dupa.

Padahal sesajen telah kusaji setiap malam, tapi kau tetap saja menjamah tubuhku. Tak peduli rupa tampan roh-mu. Aku terusik! Enyah kau!

Sesajenmu tamu muslihat berjeda. Tak kuterima jika itu hatimu dan semakin kau kuusik. Maka, gemukkanlah aku.

Persembahanku padamu telah terlampau batas. Aku bukan kaum marjinal yang seenaknya bisa kau kentuti.

Munafik! Kau membunuhku!

Membunuhmu? Kau pikir siapa yang menjamah tubuhku sampai tinggal tulang belulang?

Bagiku itu bukan membunuh, karena kau menikmati nyerinya hampir setiap hadir dalam kesengsaraan puja laknat kau kudekap.

Kau dekap, sampai titik embus hilang. Ah.. aku selalu berdoa agar kau diserang segerombolan ulat bulu hingga hanya jiwa busukmu yang berdiri tegak.

Doamu kering sungguh. Keringat nanah diminum jadi pelega. Yang busuk yang ada padaku hakekatnya kembali ke busuk. Tanah busuk, buah busuk, Nabi busuk, Tuhan busuk.

Aku juga bukan gerwani yang pasrah pada penis busukmu..

Tanpa aku, kau kosong dan limpung lupa arah. Puja puji dengan erangan kesakitan penuhi kantong-kantong sperma. Benih belatung penebar wangi busuk.

Argh! Dunia gila! Kutemukan kepalaku tertusuk duri di gurun kaktus, tanganku terjerat daun-daun rimba di puncak Himalaya, perut dan dadaku sebentar lagi tenggelam dalam rawa pening, kaki-kakiku meronta kesakitan di rongga mulut buaya. Aku sesat! Sesat dalam penyembahanku padamu, wahai Belatung Gigi..

{kami}

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun