Dalam hati sih aku tertawa.
   Dan dapat uang lima ribu, tentu itu bukan yang pertama kali pula. Dan  bahkan dapat yang lebih besar nominalnya tentu lebih pernah juga. Tapi seakan-akan ia kini mendapat uang yang nilainya sangat besar sekali. Mengapa bisa begitu?
   Karena apa yang semuanya didapat kali ini adalah merupakan hasil jerih payah keringatnya sendiri. Hasil perjuangannya sendiri. Bukan hasil merengek-rengek meminta. Atau bukan dari pemberian suka rela yang seakan jatuh dari langit begitu saja. Bila hal seperti itu yang terjadi, maka akan terasa hambar dan tawar. Makanya, mendapat nilai tinggi tapi nyontek misalnya, tak berasa apa-apa didalam hati, tak meninggalkan kesan.
Dendam dan harapan
Hari berikutnya, dia bilang akan pergi latihan lagi. Sudah juara tiga kok masih latihan lagi, apa mau maju tanding lagi, tanya saya. Dia menjelaskan, kalau kemarin itu lomba handbol, footsalnya belum dan ini mau latihan futsal. Soalnya sebelumnya dia cuma bilang lomba futsal doang, jadi tahuku ya cuma itu.
   Setelah merasakan perjuangan dapat juara, dapat makan siang gratis dan uang saku, sangat bersemangat pergi berlatih. Penghargaan memang penting, walaupun sederhana sekalipun misalnya, sebab itu bisa menumbuhkan harga diri dan percaya diri. Dia bercerita, rasanya saat itu enggak ingin pulang dan disitu terus, jangan usai....! Maklumlah, pengalaman pertama ikut lomba dan dapat juara.
  Ibunya, sebagai guru matematik, berharap juga ia bisa ikut lomba akademik nantinya. Tapi diakui, anaknya itu kurang logika matematiknya. Tapi namanya juga masih kanak-kanak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, tentu hal tidak bisa dijadikan " dasar hukum " untuk menjustifikasinya, sebab masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun kejiwaan intelegensinya. Berdasarkan pengalaman di lapangan, ada anak yang semula tidak suka pelajaran tertentu, dalam perkembangan di jenjang tingkat pendidikan selanjutnya, malah jatuh hati pada mata pelajaran tersebut. Itu biasanya karena faktor pendidiknya atau gurunya. Kebetulan dapat guru yang enak penyampainnya dan sikapnya sreg dihati.
   Selain lomba futsal, sebenarnya anak kami itu dipersiapkan pula untuk ikut lomba kaligrafi di computer. Kebetulan karena aku juga guru agama, kulatih pula dirumah, karena aku juga punya aplikasinya. Sayangnya, ketika penyisihan antar teman, ada gangguan teknis, ceritanya dia sudah hampir selesai juga menulisnya, tapi kemudian keyboardnya bermasalah, ditekan tuts F yang mestinya muncul tanda harokat, yang muncul malah angka. Jadi kacau dan tidak bisa rampung. Saingannya kakak kelas, anak kelas enam. Anakku jadi menyimpan semacam " dendam " tahun depan harus bisa ikut sebagai wakil sekolah untuk lomba kaligrafi. Apalagi saingannya itu juga sudah tamat, sementara yang seangkatan dengan dirinya belum atau tidak ada.
   Sebuah " dendam " dan harapan yang positif. Dan sebagai orang tua, kami sangat mendukungnya, apa pun bidang lomba yang diikutinya. Baik akademik maupun non akademik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H