Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Anak Memaknai Jerih Payah

5 September 2024   05:40 Diperbarui: 5 September 2024   05:59 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
berangkat latihan ( dok.pribadi)

Sore itu, baru saja aku mau masuk kedalam rumah, mendadak terdengar teriakan anakku yang baru saja memasuki halaman dan belum turun dari sepedanya.

     "Pak aku menang , aku menang!" teriaknya riang

     Karuan saja langkahku terhenti didepan pintu tak jadi masuk.. dan anaku Yuli segera turun dengan setengah berlari mendekatiku. Tentu saja aku harus menyambutnya baik-baik.

     "Pak aku menang, juara tiga. Aku tadi sudah makan pake fread chiken, enak banget, dan dikasih uang lima ribu!" anaku nyerocos bercerita.

     Tadi aku sempat cemas. Ini sudah hampir jam lima sore, anaku belum pulang. Dari tadi pagi. Memang sih, dia waktu berangkat sekolah juga sudah memberi tahu, hari ini akan ada lomba. Tapi aku pikir waktunya ya pagi saat jam sekolah, bukan sampai sesore ini. Sementara itu, istriku juga belum pulang, kebetulan minggu ini giliran masuk sore, karena sebagian ruang sekolah sedang direnov, jadi digilir ada yang masuk sore sebagian.

     Tepatnya, yang menang itu adalah "kami", bukan "aku", sebab merupakan team, yaitu team footsal. Tapi namanya juga anak-anak, lagi pula dia lagi menunjukan keakuan akan keberadaan dirirnya, dan sedang menunjukan pada orang tuanya, maka maklum saja kalau dia bilang aku tanpa bermaksud menafikan teman-teman lainnya tentu saja.

     Dan tak lama kemudian, ibu pulang. Lebih riuh lagi dia bercerita kepada ibunya. Lebih panjang dan lebih lengkap ceritanya, lebih bebas ekspresinya serta lebih keras powernya. Pokoknya hebring. Akupun lalu undur diri melanjutkan pekerjaanku.

Beda Rasa

Hal yang sama, tapi diperoleh dengan cara yang berbeda, hasilnya menjadi beda rasa. Makan fried chicken,  tentu itu bukan yang pertama sekali sebagaimana umumnya anak-anak jaman sekarang. Tapi sensasinya seolah-olah itu adalah pengalaman yang pertama, katanya enak sekali dan lebih krispi. Padahal biasanya kalau makan dengan lauk yang sama seperti itu satu potong saja tidak habis. Makannya disuapin dan setengah dibujuk dan dipaksa dulu. Makanya iseng-iseng aku goda ;

     "Yul, kamu tadi makan sendiri apa disuapin?"

     "Ya sendiri!" ucapnya agak sewot

Dalam hati sih aku tertawa.

      Dan dapat uang lima ribu, tentu itu bukan yang pertama kali pula. Dan  bahkan dapat yang lebih besar nominalnya tentu lebih pernah juga. Tapi seakan-akan ia kini mendapat uang yang nilainya sangat besar sekali. Mengapa bisa begitu?

     Karena apa yang semuanya didapat kali ini adalah merupakan hasil jerih payah keringatnya sendiri. Hasil perjuangannya sendiri. Bukan hasil merengek-rengek meminta. Atau bukan dari pemberian suka rela yang seakan jatuh dari langit begitu saja. Bila hal seperti itu yang terjadi, maka akan terasa hambar dan tawar. Makanya, mendapat nilai tinggi tapi nyontek misalnya, tak berasa apa-apa didalam hati, tak meninggalkan kesan.

Dendam dan harapan

Hari berikutnya, dia bilang akan pergi latihan lagi. Sudah juara tiga kok masih latihan lagi, apa mau maju tanding lagi, tanya saya. Dia menjelaskan, kalau kemarin itu lomba handbol, footsalnya belum dan ini mau latihan futsal. Soalnya sebelumnya dia cuma bilang lomba futsal doang, jadi tahuku ya cuma itu.

     Setelah merasakan perjuangan dapat juara, dapat makan siang gratis dan uang saku, sangat bersemangat pergi berlatih. Penghargaan memang penting, walaupun sederhana sekalipun misalnya, sebab itu bisa menumbuhkan harga diri dan percaya diri. Dia bercerita, rasanya saat itu enggak ingin pulang dan disitu terus, jangan usai....! Maklumlah, pengalaman pertama ikut lomba dan dapat juara.

    Ibunya, sebagai guru matematik, berharap juga ia bisa ikut lomba akademik nantinya. Tapi diakui, anaknya itu kurang logika matematiknya. Tapi namanya juga masih kanak-kanak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, tentu hal tidak bisa dijadikan " dasar hukum " untuk menjustifikasinya, sebab masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun kejiwaan intelegensinya. Berdasarkan pengalaman di lapangan, ada anak yang semula tidak suka pelajaran tertentu, dalam perkembangan di jenjang tingkat pendidikan selanjutnya, malah jatuh hati pada mata pelajaran tersebut. Itu biasanya karena faktor pendidiknya atau gurunya. Kebetulan dapat guru yang enak penyampainnya dan sikapnya sreg dihati.

     Selain lomba futsal, sebenarnya anak kami itu dipersiapkan pula untuk ikut lomba kaligrafi di computer. Kebetulan karena aku juga guru agama, kulatih pula dirumah, karena aku juga punya aplikasinya. Sayangnya, ketika penyisihan antar teman, ada gangguan teknis, ceritanya dia sudah hampir selesai juga menulisnya, tapi kemudian keyboardnya bermasalah, ditekan tuts F yang mestinya muncul tanda harokat, yang muncul malah angka. Jadi kacau dan tidak bisa rampung. Saingannya kakak kelas, anak kelas enam. Anakku jadi menyimpan semacam " dendam " tahun depan harus bisa ikut sebagai wakil sekolah untuk lomba kaligrafi. Apalagi saingannya itu juga sudah tamat, sementara yang seangkatan dengan dirinya belum atau tidak ada.

     Sebuah " dendam " dan harapan yang positif. Dan sebagai orang tua, kami sangat mendukungnya, apa pun bidang lomba yang diikutinya. Baik akademik maupun non akademik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun