Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekilas, Selintas, Namun Membekas

26 Mei 2024   05:45 Diperbarui: 26 Mei 2024   06:13 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haji ? Ah, belum, nunggu antri. Baru umroh. Belum lama, akhir Februari kemarin, usai pemilu. Emang sih, haji itu beda dengan umoh. Orang opergi haji, pasti melaksanakan ibadah umroh juga. Umroh itu bagian dari kelengkapan kesempurnaan ibadah haji. Tapi kalau baru umroh, belum haji. Sebab memang ada rukun dan wajib ibadah yang bukan rukun umroh, sehingga tiak ( bisa ) dilaksanakan saat umroh. Apa itu ? Wuquf di Arofah, mabit di Musdalifah, juga mabit di Mina dan melempar tiga jumroh. Jadi ada perbedaan muatan ibadah. Jadi persamaan ibadah haji dengan umroh kira-kira mencakup 75 %, sedang bedanya hanya 25 %. Makanya ada yang bilang, umroh itu haji kecil.

Baik rombongan haji atau umroh, pastilah orang yang baru ( dikenal ). Mereka berasal dari tempat yanh berbeda, entah itu desa, kecamatan atau kabupaten. Demikian pula dengan status sosial dan usia mereka juga beraneka ragam. Ada yang berlatar belakang petani, pedagang, kyai, pegawai dan atau profesi lainnya. Usia mereka juga beragam, ada yang muda, dewasa dan tua. Semua itu saja sudah bia menjadi cerita bersama diantara kami semua atau kita semua bukan ?

Cerita atau kisah ( persahabatan ) antar jama'ah haji dengan umroh, boleh dibilang ( hamper ) sama. Karena lokasi sama. Aksi ibadah juga banyak yang sama. Hanya ibadah haji bisa jauh lebih riuh. Tapi suka duka persahabatan, hakektanya sama.

Langkah Tak Seirama

Waktu itu aku pergi jama'ah subuh di masjidil Haram. Aku berangkat Bersama seorang sahabat yang satu kamar. Dia usianya diatasku, sebagai orang tua, dia lebih senior juga. Tubuhnya juga lebih besar dari pada aku. Kira-kira gambarannya seperti antara bapak dengan anak. Dia tipe petani desa jaman dulu; sabra, rendah hati dan berbuat  tidak menarik perhatian. Berjalan cepat, dia masih bias. Tapi tetap kurang lincah. Apa lagi berjalan di tengah-tengah keramaian banyak orang lalu Lalang.

Konsekuensinya, aku harus memperlambat jalanku. Kadang tanpa sadar, langkahku cepat juga. Maklum, " bersaing " jalan dengan orang banyak. Karena susah juga untuk jalan berdampingan, lebih sering beriringan. Dan aku lebih banyak tampil didepan, karena untuk mencari jalan. Anggap saja aku sedang membimbing jalan buat " ayahku  ". Kalau sudah disadari begtu, hati tetap teenang, tidak " kemrungsung ".

Emang harus jalan cepat ? Refleks ! Kok ?! Yaa ... karena berjalan ditengah keramaian orang banyak, arus arah orang berjalan juga malang melintang. Makanya jalannya terbawa cepat dengan sendirinya, agar bisa " jaga jalur "  jalan kita. Apa tidak satu arah ? Dihalaman depan di luar masjid dan di luar waktu shalat , banyak bermain kepentingan ibaratnya, walaupun yang kea rah masuk masjid lebih terlihat dominan. Dan untuk masuk masjid juga harus sambal " liat-liat " juga, pintu mana yang bisa dimasuki ? dan begitukita masuk pintu masjid, bukan berarti pula kita sudah " nyampe " di dalam masjid. Masih harus menerobos Lorong panjang, jalan me;lingkar untuk bias sampai ditempat kita mau sholat dan harus mencari tempat mana shof yang masih longgar ?

Itulah makanya harus jalan cepat, sadar atau tidak sadar. Itu saja diwaktu-waktu biasa, bukan di waktu istimewa musim haji, tentu lebih berjubel lagi. Nah, karean aku berjalan Bersama orang tua, jadi aku harus bias menahan diri, sabar dikit, biar bisa bareng.

Tangan tak Sampai

Alloh Maha Tahu dan Alloh Maha Melihat. Dan ini ditempat suci. Kesabaranku memperlambat jalan sedikit atau menunggu sejenak atau memberi arah jalan pada shabat tuaku itu, berbalas balik saat itu kuga. Kami berdua tadi o t w sikitar jam setengah empat dini hari. Kami bermaksud mau thowaf sunnah. Nah di akhir thawaf, kami bermaksud untuk mendekat dan menjamah Ka'bah ! tapi susah juga.

Di depan, Ka'bah tinggal sejengkal. Tapi desakan arus, kadang adi arah kanan,kadng dari arah kiri dan juga dari belakang, tak putus-putusnya. Sahabat tuaku, yang lebih tinggi dan panjang lengannya tangannya, sudah bias menjamah Ka'bah. Tapi aku yang lebih kecil an pendek, tanganku tak sampai ..... ! Padahal tinggal tinggal seinci !

Nah, sahabat tuaku itu mencoba untuk bertahan sejenak, dan itu tidak mudah, agar aku bisa menyentuh Ka'bah. Aku pun jadi tambah semangat dan  berusaha sekuat tenaga sambal berdo'a dan .... Alhamdulillah berhasil juga akhirnya. Untuk mundur keluar pun tidak mudah, karena dorongan desakan dari belakang dari mereka yang ingin menyentuh Ka'bah juga. Disaat itu ada seorang jama'ah perempuan malahan yang berkata menegur;  " udah pak gantian ", kujawab ; " Ya, ini juga mau keluar ", lalu dia bilang ; " ya, sini pak saya bantuin dikit ". Siapa orang itu saya tidak tahu dan saya juga tidak melihat karena di belakangku posisinya.

Drama " mini kata "

Diluar " kita ", ada " mereka ". Mereka adalah orang asing; bisa orang Arab itu sendiri, orang Afrika atau orang Pakistan , atau orang Korea dan sebagainya ? Mungkinkah kita berinteraksi dengan mereka dengan keterbatasan bahasa yang " kita derita " ? Sangat mungkin, walau cuma selintas dan sekilas tapi juga tetap membekas.

Misalnya saat kami di Madinah. Di dalam lif, di tempat penginapan. Mini kata,seru sapa, tapi akrab. Gara-gara didalam lif boleh dikata seringnya jumlah kami yang dominan, di banding jumlah mereka. Apa lagi penam[ilan kami khas, berpeci da bersarung. Karena sering bertemu, saling anggu atau senyum tegambar juga, biasa, karena jumlah kami lebih banyak, jadi lebih " berani ", maka diantara kami ada yang iseng ngomong sekenanya saja; " Do you from ? " Ia pun mejawab; " Pakistan, and you ? " jawabnya sambal tanya balik. Teman kami pun menjawab " Indonesia !" Diantara kami yang dekatdengan orang itupun lantas saling berjabat tangan. Nah, sejak saat itu, bila bertemu di dalam lif, atau kami keluar dari lif, orang Pakistan itu berseru ;"  Indonesia !" dan kami membalas ; " merdeka ! " sambal sama-sama tertawa. Lucu dan aman, jadi tidakditangkep askar alias polisi.

Demikian pula dengan tukang sapu di masjid Nabawi. Kadang diantara kami ada yang menyelipkan uang sambal berjabat tangan, memberi sodaqoh.  Dari situ kami bisa komunikasi sepatah dua patah kata, sehingga tahu mereka -- para petugas kebersihan kebanyakan - dari Bangladesh. Bila kami bertemu di halaman masjid, kadang ada sapaan; " Apa kabar ?"

Dan yang terakhir, walaupun mini kata, saya pribadi sempat berkenalan juga dengan seorang jama'ah Umroh dari Uzbekistan, saat sama-sama sedang menanti sholat subuh.

Semua itu Cuma sekilas, selintas tapi membekas.

begitu dekat ( dok.pribadi )
begitu dekat ( dok.pribadi )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun