Nah, bila beliau sudah tidak menjabat lurah lagi, disebutlah ia sebagai " manten ". Orang jawa menyebut manten ini, bukan sekadar karena beliau mantan lurah semata, tapi manten disini mengandung makna ; " man = eman dan ten = wonten " , eman artinya sayang, sedang wonten artinya ada. Maksudnya, biarpun beliau sudah tidak jadi lurah lagi, tetapi rasa syang rakyatnya masih ada tersisa baginya.
   Maka dari itu pula, sebutan manten ini hanya berlaku bagi lurah saja. Sedang jabatan lain seperti guru, polisi, mantri kesehatan, atau pegawai kantor kecamatan , tidaklah mendapat julukan manten. Di desa umumnya, bila menyebut " orang berpangkat " adalah nama pangkatnya itu. Misalnya ada orang bertemu dijalan dengan seorang guru, maka bila bertanya menyapa; " Pak Guru, mau kemana ? " tanpa menyebut nama orangnya. Demikian pula dengan " manten " maka menjadi " Pak Manten " dalam sebutan kesehariannya.
   Dan satu hal lagi yang berkaitan dengan jabatan lurah di desa, selain sebutan manten, juga ada istilah " dongkol " dan " glondong ". Dongkol, dari namanya saja sudah terkesan negatif; misalnya hatinya measa dongkol. Istilah dongkol ini diberikan kepada lurah yang berhenti secara tidak atau kurang terhormat, sebab terkena kasus. Hanya saja karena ini sebutan buruk, mamang tidak diucapkan langsung didepan nama orang tersebut misalnya dalam pembicaraan kesehariannya secara langsung dengan orang  tersebut. Sedangkan " glondong " adalah semacam ketuanya para lurah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H