Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Butir-Butir Pasir di Laut

13 Juni 2023   11:57 Diperbarui: 13 Juni 2023   12:09 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Gajah Gunung" dengan pohon pandan jumbo, bahan baku pembuat tikar (sumber: foto dok. pribadi)

"Radio Republik Indonesia, bekerja sama dengan BKKBN mempersembahkan sandiwara radio;" Butir-Butir Pasir di Laut ". Penulis naskah Buce Saiyah. Sutradara Jhon Simamora ....."

SETELAH membaca salah satu Topik Pilihan di Kompasiana, tentang rencana pemerintah untuk mengekspor pasir, penulis jadi teringat " opening " sandiwara radio bersambung di RRI tahun tujuhpuluhan dulu. Bagi anak-anak generasi tahun tujuhpuluhan, tentu sangat akrab dengan ( opening ) sandiwara bersambung tersebut, karena satu-satu hiburan yang ada kala itu ya radio, apa lagi di desa, radiopun tidak semua orang punya. Tapi kita biasa dengerin radio secara  bareng-bareng saat itu. Malah asyiiik !

Tentu saja, saya disini tidak akan membahas sandiwara tersebut yang kalau tidak keliru salah satu pemainnya adalah Bung OlanSitompul, namun " butir-butir pasir dilaut " sedikit banyak meninggalkan kenangan juga bagi umumnya anak desa seperti kami yang dekat dengan pantai. 

Tempat tinggal saya memang agak lumayan dekat dengan pantai selatan. Jaraknya kurang lebih dua setengah kilo meter. Dan ada jalan raya dari pusat kecamatan , lurus keselatan menuju kepantai. Tentu saja waktu itu keadaaan jalannya masih sangat alami sekali; jalannya tanah dan kanan kiri jalan pagar tanaman hidup, bila melewati  persawahan, kanan kiri jalan ada jajaran pepohonan yang besar-besar, yaitu pohon asem.

Gajah Gunung

PERLU diketahui, walaupun pantai dataran rendah, bukan pantai daerah pegunungan,  namun pantai tidaklah datar seperti sawah atau lapangan, melainkan dibalik pantai ada "  pegunungan pasir " yang membentang sepanjang pantai. Gunung-gunung  pasir itu biasa disebut dengan " gumuk pasir " atau kalau didaerah tempat tinggal kami, desebut dengan nma  " Gajah Gunung ".

Kenapa disebut gajah gunung ? Mungkin karena bentuknya yang " gemuk " tinggi dan besar, seperti binatang gajah.  Bukankah di Wonogiri juga ada dua buah gunung yang berdampingan  yang dinamakan " Gajah Mungkur " yang kemudian jadi nama waduk ? " Mungkur  " dalam bahasa Jawa artinya membelakangi. Gajah Mungkur ibarat ada dua binatang gajah yang saling membelakangi.

Gajah gunung ini ibarat lapisan tanggulnya pantai, namun tidak berhubungan langsung dengan  hempasan deburan ombak.  Sebab antara gajah gunung dan laut masih  ada  hamparan pantai yang landi. Dan perlu diketahui pula, walaupun deburan ombak pantai selatan itu besar, tapi anehnya seperti nyaris tidak ada kasus abrasi di daerah pantai tersebut boleh dikata. 

Berbeda dengan daerah pantai utara, dimana abrasi pantai sangat besar, sampai " merangsek "  daerah pemukiman, padahal ombaknya  kecil, lautnyan tenang. Mengapa bisa begitu ? Ombak pantai selatan walaupun besar, tapi ombak itu juga membawa pasir, baik ketika " datang " maupun " pergi ". Akhirnya jadi " netral ", karena pasirnya tidak kemana-mana, cuma bolak-balik disitu aja.

Rumor Anak-Anak

ENTAH bermula kapan dan dari mana, dimasa itu, dimasa kami masih kanak-kanak, sudah beredar " rumor " yang mengkhawatirkan ( atau lebih tepatnya menakutkan ) bagi kami anak-anak  saat itu. Konon kabarnya, gajah gunung itu semula jumlahnya ada tujuh, dan kini sudah berkurang, tinggal empat ( kaya lagu " balonku " aja ya; balonku tinggal empat, kupegang erat-erat ). 

Dan rumor itu kadang tiba-tiba muncul begitu saja dalam obrolan kami saat berkumpul.  Bilakami berkumpul, takjarang kamijuga senang membicarakan tentang " memedi " alias hantu. Suasana jadi mencekam takut, tapin senang, dan asyik karena bareng bareng, persis kayak nonton film horor kalau jaman sekarang. Tentang gajah gunung, yang membuat kami takut, karena kalau gajah gunung itu habis, berarti datanglah kiamat ! ( waktu itu kami menyebutnya dengan istilah barkiamat )

Kenapa kiamat ?! Karena air laut akan meluap membanjiri dan menenggelamkan desa kami yang terletak disebelah utaranya. Sehingga kadang terlintas juga dalam benak pikiran kami saat itu, kalau begitu beruntunglah orang-orang yang tinggal di gunung sebelah utara nun jauh disana, karena akan terbebas dari  luapan air laut ( pokoknya halu banget ). Kenapa ada " paham " kiamat seperti itu ? Ditahun tujuh puluhan anak-anak desa umumnya " religius-religius " sekali, karena kalau malam pada rajin mengaji di surau atau langgar. Belum ada gangguan nonton televisi. Kalaupun malam hari main, karena pas terang bulan atau bulan purnama, adalah setelah mengaji.

Dan cerita kiamat yang kami dapati dari guru ngaji, kalau kiamat lautnya meluap sampai memporakporandakan desa-desa yang ada disekitarnya. Kebetulan pula, waktu itu dimana desa benar-benar suasananya masih  " ndesa " sekali yang  sungguh sepi, sehingga dimalam hari sering terdengar deburan ombak laut selatan dimusim-musim tertentu. Bila malam hari terjaga dari tidur dan terdengar deburan ombak itu,  membuat gelisah dansulit tidur kembali, terbayang kalau datang kiamat !

Sehingga keberdaan gajah gunung sangat berarti bagi ketenangan jiwa kami saat itu.

Trik Melewati " Padang Pasir "

ADA tradisi dari dulu ( bahkan hingga sekarang ), bila hari raya adalah saat plesir kepantai atau laut. Waktunya selama tujuh hari . Disaat itu, pantai yang dijadikan tempat wisata, banyak didirikan tempat jualan makanan atau jajanan, oleh penduduk sekitar. 

Dan waktu itu juga pantai yang dijadikan obyek wisata tidak banyak, boleh dibilang satu kecamatan satu, karena mengikuti " jalan resmi " yang sudah ada. Dan pada hari kedelapan, dijadikan pesta syukuran oleh para pedagang, jadi pada hari itu mereka membawa " nasi tumpeng mogana " untuk dimakan bersama bagi siapapun yang ada disitu.

Karena adanya tradisi liburan kepantai pada waktu hari raya Idul Fitri seperti itu, tentu saja anak-anak biasanya full selama tujuh hari ( atau hampir full )main kepantai. 

Dan jarak dari pemukiman terakhir atau pemukiman paling selatan ke pantai, cukup lumayan juga, sekitar seratus sampai dua ratus meter jauhnya. Umumnya orang pergi kepantai waktu itu jalan kaki. Kalaupun naik kendaraan ya sepeda onthel atau bila ramai -- ramai dengan keluarga dari kota, naik delman atau dokar. Tempat parkir kendaraan, ya dipemukiman terakhir lokasinya, sehingga siapapun harus jalan kaki menempuh " padang pasir " nantinya.

Ketika sudah dekat dengan pantai, kita akan melewati area padang pasir gajah gunung. Namanya juga anak-anak, sering tak hirau akan waktu, pas siang hari terik pergi  kepantai, atau pulang dari pantai. Tentu saja pasir itu akan tersa panas sekali. Apa akal ? Anak-anak menyiasatinya dengan memetik batang-batang pucuk pepohoonan yang ada tumbuh dikanan kiri jalan sebelum sampai  area " padang pasir " itu. 

Dikanan kiri jalan, banyak tumbuh " pohon jarak " yang jadi pagar kanan kiri jalan bersama dengan pohon-pohon yang lain. Saat kami melewati  padang pasir, kita jalan setengah lari atau malah berlari dan  nanti kalau telapak kaki kita sudah tidak kuat menahan panas, kita berhenti  sambil bertumpuan pada dedaunan yang kita bawa tadi. Dan kalau panas telapak kaki kita sudah reda, lari lagi, berhenti lagi, lari lagi ... sampai akhirnya tiba di hamparan pantai yang sudah tidak panas lagi karena sudah banyak gubug-gubug penjual makanan atau sudah terkena siraman air laut.

Kalau ibu-ibu dengan anak-anaknya, mereka bawa kain ( jarik / jarit ) atau kain selendang. Tekniknya sama, kain jarik atau selendang itulah yang dijadikan tumpuan. Oh ya perlu diketahui juga, jalur pasir " gajah gunung " ini bergelombang, walau tidak tinggi-tinggi amat, karena sudah jadi " jalur resmi  " , sehingga sering dilewati . itulah kesan semua orang yang pergi ke pantai kala itu, sebab tempat parkir kendaraan memang jauh. Kalau sekarang memang sudah lain ceritanya.

Kembang Api Alami 

AREA gajah gunung merupakan batas pantai yang melandai.  Gajah gunung ini ibarat bentangan pegunungan pasir yang membentang sepanjang pantai.  Dan gajah gunung ini ada beberapa lapis, sehingga banyak lembah-lembahnya juga. Tanaman yang tumbuh di area gajah gunung ini yaitu pandan berduri, pohon semak-semak atau perdu, rerumputan dan  " pohon jantran ". 

Oleh karena itu, area gajah gunung ini juga sebagai tempat menggembala sapi dan kambing. Tumbuhan pohon pandan berduri yang ukuranya  " jumbo-jumbo " itu, dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai bahan membuat tikar pandan.

Pohon jantran, pohonnya sejenis rerumputan padang pasir. Tumbuh " merayap " tapi tidak menjalar panjang seperti  ketela rambat , batangnya berbuku-buku dan daunnya  kecil -- kecil memanjang melengkung. 

Uniknya, pohon jantran ini, menghasilkan kembang yang  aneh juga. Kembangnya  seperti ribuan jarum  yang panjang yang berpusat pada satu titik pusat sebagai pangkal kelopak kembang  jantran tersebut, Dan lucunya pula, bila kembang itu dibakar, maka akan menghasilkan  bunyi  suara yang  mirip dengan  kembang api yang dibakar. Jadilah ia kembang api alami. Makanya kala itu anak-anank itu juga suka membawa kembang jantran untuk di bawa pulang, buat dibakar nanti..

Di pantai, kami biasanya bercanda dengan kepiting pantai yang " bertebaran dan berkeliaran " , tapi kalau didekati segera lari dengan cepat menghindar masuk lobang, atau masuk kedalam gelombang air yang sedang datang menghempas , da kamipun mundur. Selain itu kami juga bisa mencari kerang -- kerangan  yang sudah lepas yang kadang memiliki motif yang unik. Dan teristimewa lagi kalau kami bisa menemukan " secuil " batu apung ... wow seneng banget, nanti akan dibawa pulang dan dicemplungkan di sumur, katanya airnya jadi lebih sejuk dinginnya ... he he ...rumor anak-anak pantai !

Pohon rumput
Pohon rumput "kembang api alami" tumbuh digaris depan menantang laut (sumber: dok. foto pribadi)

Kekhawatiran 

MUNDUR sedikit dari gajah gunung, ada tanaman palawija warga, misal kacang tanah dan ketela rambat. Dikawasan itu juga sudah mulai ada pohon kelapa tapi masih jarang. 

Mulai tahun  sembilan puluhan, kawasan tersebut mulai lebih didayagunakan yaitu ditanami pohon kelapa hibrida oleh pemerintah untuk diambil niranya sebagai bahan baku membuat gula kelapa. Ini bekerja sama dengan penduduk sekitar. Kadang ada juga yang menyewa lahan padang pasir itu untuk bertanam semangka.

Sampai disitu, keadaannya masih aman-aman saja. Nah, ditahun dua ribuan, setelah reformasi usaha ekonomi  mulai meningkat lagi yang " menghawatirkan " keberadaan gajah gunung itu. Yaitu usaha tambak udang. 

Gajah gunung-gajah gunung dipantai selatan banyak yang " dibabat " habis  untuk tambak udang. Hal itu akan berpotensi merusak pantai selatan bila aturan tidak dipatuhi.  Bahkan ada juga, gajah gunung yang tinggi didaerah lain, ada yang di " papral " rata dan  pasirnya di jual. Bila .... bila .... bila dan bila pemerintah akan mengekspor pasir, bagaimanakah nasib gajah gunung-gajah gunung itu ???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun