Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Biarkan Anak Tumbuh Tanpa Privilese

28 April 2023   00:23 Diperbarui: 28 April 2023   00:29 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KALAU kebetulan kamu anak dari orang tua yang memiliki privilse, " nimati " atau lebih tepat " jalani " secara wajar -- wajar saja. Itupun kalau anda misalnya sudah tahu tentang hal itu. Anak sebenarnya tidak perlu tahu atau menjadi tahu bahwa ada privilese dalam dirinya atau keluarganya gegara orang tuanya. Sehingga anak pun akan bertingkahlaku biasa saja. Mengapa  anak tidak perlu diperkenalkan ?

     Privilese muncul dalam masyarakat adalah secara alamiyah. Dan kalaupun kebetulan anak itu turut bisa merasakan privilese orang tuanya, biarkan prosesnya secara alami juga. Tidak perlu  di " doktrin " secara verbal, sebab disamping anak belum ( tidak ) memahami  masalah tersebut juga ini yang penting bahwa anak tidak membutuhkan hal itu dalam pergaulan sehari -- hari  dengan sesamanya. Kalaupun akhirnya tahu, biarkan dia tahu dengan sendirinya dengan segala keterbatasan pemahamannya . Mengapa pula ?

Tak Selamanya

PRIVILESE , walaupun bukan " pangkat " formal, tapi ia pun punya waktu masa " pensiun " juga. Bila privilese itu didapat karena pangkat jabatan formal, ia akan berkhir bersama pensiunnya pangkat jabatan formal tersebut. Bayangkan , anaknya Sambo yang dulu menikmati betul privilese ketika bapak -- ibunya masih pegang jabatan, kini tercerabut keras hilang tanpa bekas begitu saja. Apa yang dirasakan anaknya Sambo ( dn juga Sambo sendiri ) sekarang ?

     Atau contoh yang berhenti secara baik-baik, terhormat, karena pensiun dengan selamat. Misalnya AHY, ketika bapaknya masih menjabat Presiden, tentu ia turut menikmati privilese itu. Tapi sekarang, setelah bapaknya tidak lagi jadi presiden, dia sering jadi bulan-bulanan politik. Secara psikologis, tentu tetap berdampak.

     Dan lagi contoh dari dunia artis. Anak yang orang tuanya jadi artis yang kondang, tentu akan menikmati privilese keartisan orang tuanya. Sekedar contoh ( ma'af) misalnya Dedi Dores, penyanyi dan pencipta lagu yang termasuk ngetop di era 80 -- an. Masih ingat kisah pilu anaknya yang jadi kuli bangunan, jadi tukang batu dan tinggal dirumah kontrakan. Tapi penulis salut, dia tetap tabah artinya tingkahlakunya tetap terjaga, tidak terjerumus kedalam tindak yang negatf, misalnya terjerukus ke narkoba, karena frustasi. Dia tetap bertanggung jawab terhadap keluarganya, semoga nasibnya berubah semakin membaik.

     Karena alasan itu semua, tak perlu dengan sengaja dan kesadaran penuh memperkenalkan privilese orang tua pada anaknya, sungguhpun anaknya juga sedang turut menikmatinya. Sehingga kalau nanti privilese orang tuanya itu hilang ( berakhir ) anak pun tidak merasa kehilangan sekali

Bumi Kehidupan yang Datar Sudah

MENGAPA privilese orang tua tidak perlu diperkenalkan pada anak ? Selain karena alasan yang pertama itu tadi, untuk pertanyaan " mengapa " yang kedua ini adalah karena " Bumi Kehidupan itu Kini Datar ". Maksudnya apa ? Strata sosial masyarakat sekarang sudah tidak setajam dulu, walaupun strata kedudukan formal dan non formal itu masih tetap ada. Memang semenjak dunia kehidupan ini diterpa " gelombang ketiga " ( menurut teorinya Alfin Tofler yang kini terbukti benar ) strata sosial dan sekat sosial kini sudah semakin " lumer ".

     Buktinyata sudah banyak banget. SBY saja waktu jadi presiden pernah dihina dengan seekor kerbau sewaktu demo. Sambo, Arteia dahlan, dihujat habis-habisan di dunia maya, Padahal waktu itu dia masih punya privilee, dan Arteria Dahlan sebagai  orang yang duduk dikursi DPR yang masih aktif, privilisenya tidak diragukan lagi hingga kini. Kak Seto yang penampilannya ( sok ?! ) humanis sebagai penyayang anak, pernah juga dijutat habis karena keblinger membela Tuan Putri Candrawati yang berpangkat dan berduit.dan terakhir kasus Bima denga gubernur Lampung yang akhirnya jadi bulan-bulanan di internet, padahal beliau masih pejabat aktif dan privilesenya pun tinggi. Tapi didunia maya, ia sudah kehilangan martabat.

     Jadi memang bumi kehidupan itu kini sudah datar betul. Tidak ada yang eklusif lagi. Pekerjaan yang dulu sangat eklusif, seperti penyiar televisi, sutradara film, penulis skenario, wartawan, kini sudah lumar banget.  Dengan adanya You Tube, siapa saja bisa jadi bintang, bis jadi sutradara, penulis skenarrio dan juga pemain film. Semua profesi tersbut yang dulu bersifat eksklusif, kini sudah biasa-biasa aja !

     Bila demikian, previlise sudah tidak berarti banyak. Kalaupun ada , privilise sudah bersifat formal, lokal  dan artifisial. Maka sangat mengherankan kekisruhan di keraton mangkunegaran Solo, tak juga berakhir. Keratonsekarang sudah tidak punya kuasa, mereka berebut apa ? Orang diluar tembok memandang keraton dengan pandangan yang biasa. Tak lagi istimewa.

     Karena alasan itu semua, tidak perlu memperkenalkan privilese yang dimiliiki orang tua kepada anaknya. Bumi kehidupan kini datar sudah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun