Ini adalah malam pertama aku menempati rumah baru. Sayangnya, aku3 hanya berdua saja dengan Dandi yang baru berusia satu tahun. Sepulang sekolah tadi, Mas Arga memutuskan untuk pulang ke rumah lama karena disuruh pulang oleh Mama.
"Kamu berani kan Dik untuk tinggal berdua saja dengan Dandi?"
"Sebenarnya see takut juga, Mas. Lha misalnya pulangnya ditunda bagaimana?"
"Kata Mama gak bisa. Ini menyangkut keadaan Papa saat ini."
"Ya, udahlah. Besok sudah kembali 'kan?"
"Ya, semoga."
Usai salat Maghrib, semua pintu dan jendela rumah sudah kukunci. Saat salat Isya, kuputuskan untuk melaksanakannya di rumah saja. Hal itu karena demi Dandi. Kalau sudah tidur, tidak mungkin akan kutinggalkan sendiri di rumah.
Suasana malam bertambah senyap. Suara cengkerik kecil bernyanyi di beberapa sudut rumah. Hal itu mengingatkanku pada pemakaman umum yang ada3 di kampungku. Bila kebetulan malam tiba, dari sana juga terdengar suara cengkerik berdendang, menambah suasana malam kian mencekam.
Kebetulan, rumah baru yang aku tempati berada di kawasan yang sepi. Jarak antar rumah lumayan jauh. Di sekitar rumah masih berupa kebun dengan aneka tanaman seperti pisang, pete, jengkol, dan sebagainya.
Dengan disinari penerangan lampu kecil, kami tertidur dengan menyimpan perasaan yang mengharu biru.
Azan Subuh sudah terdengar. Dandi sudah bangun dari tidurnya. Kuputuskan untuk salat Subuh di musala yang ada di depan rumah kira - kira 100 meter. Saat melewati kebun di depan rumah itu, sekilas ada seseorang yang ada di belakangku. Dia adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berjubah putih. Di pundaknya ada sajadah.Â