Mohon tunggu...
Rumaisha Putri
Rumaisha Putri Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti-Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Saya adalah Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Fokus isu saya adalah isu-isu internasional, terutama terkait dengan lingkungan dan kerja sama internasional khususnya Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kilas Balik Advokasi Masyarakat Indramayu

22 Desember 2023   07:00 Diperbarui: 22 Desember 2023   07:05 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PLTU Indramayu 1 (Sumber: Petrominer/Pris)

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara terus menyisakan berbagai permasalahan pelik bagi kelestarian lingkungan dan sosial di berbagai wilayah tanah air. Terdapat tren pengurangan batu bara di berbagai negara imbas polusi dan komitmen menuju pada Net Zero 2050. PLTU mempunyai dampak lingkungan yang signifikan karena tingginya tingkat emisi sebagai sumber energi listrik. Debu yang dihasilkan saat PLTU terbakar bukanlah debu biasa. Fly ash dan bottom ash, yang secara kolektif disebut FABA, merupakan dua jenis limbah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Emisi udara hasil pembakaran batu bara mengandung zat pencemar seperti debu dan gas (NO2, CO, CO2, dan SO2) yang dapat merugikan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar kawasan industri.

Dampak Perluasan PLTU Batu bara

Jika ditelusuri kembali ke masa awal penambangan batu bara, kerusakan lingkungan yang masif tidak hanya berdampak pada ekosistem lokal dan struktur lapisan bumi, seperti deforestasi, namun mempengaruhi ruang hidup masyarakat yang tinggal di sekitar tambang. Konstruksi PLTU sendiri membutuhkan lahan yang cukup luas dan seringkali merambah ke kawasan hutan, lahan pertanian, dan pemukiman warga, termasuk warga Desa Mekarsari, Indramayu. Meski belum dibangun, dampak proyek perluasan PLTU Indramayu II sudah dirasakan masyarakat. Misalnya konversi lahan pertanian yang memaksa banyak pemilik sawah di Desa Mekarsari menjual sawah produktifnya ke PLTU. Akibatnya, banyak warga desa yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani kehilangan pekerjaan. Beberapa kriminalisasi terhadap warga juga terjadi, ditambah dengan polusi udara dan masalah kesehatan yang dialami warga akibat aktivitas PLTU tersebut.

Rekam Jejak Perlawanan terhadap PLTU Indramayu

Sepanjang tahun 2016, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat telah menerima 26 pengaduan dari warga, yang sebagian besar pengaduan tersebut berisi tentang situasi yang melibatkan lingkungan tempat tinggal mereka. Warga memberikan informasi terkait usulan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di Indramayu yang didanai oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). Masyarakat mendapatkan informasi ini setelah jalan akses dibangun pada Maret 2017 untuk pelaksanaan pembangunan PLTU Indramayu II. Lokasi pembangunan itu terletak di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Sebelum dilaksanakannya rencana pembangunan tersebut, PLTU Indramayu I yang berkapasitas 3x300 MW yang telah lebih dulu beroperasi telah menimbulkan sejumlah permasalahan kesehatan dan lingkungan bagi masyarakat sekitar kawasan industri pertambangan. Keberatan yang sama juga disampaikan masyarakat terhadap usulan pembangunan PLTU Indramayu II yang rencananya berkapasitas 2x1.000 MW.

Pada 17 April 2017, warga mengajukan permintaan akses informasi kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Indramayu dalam upaya mengetahui lebih jauh. Dokumen izin Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu harus diperoleh. Setelah menunggu hingga 12 Juni 2017, warga memperoleh dokumen izin tersebut dan selanjutnya mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Izin lingkungan PLTU Indramayu II akhirnya dinyatakan tidak sah oleh majelis hakim PTUN Bandung. Pada tanggal 6 Desember 2017, lisensinya dibatalkan. Namun, menyusul keberhasilan warga tersebut, pemerintah secara tidak adil menargetkan banyak penduduk setempat.

Salah satu CSO (Civil Society Organization) lokal, WALHI, menyampaikan petisi tersebut langsung ke Kedutaan Besar Jepang di Jakarta pada 12 Oktober 2018 setelah sebelumnya mengumpulkan 171 CSO dari 40 negara untuk mendukung penyetopan pendanaan tersebut. Selain itu, sehari sebelumnya, mereka bersama petani lokal dari Indramayu menyerbu kuliah terbuka di Universitas Indonesia (UI) pada tanggal 11 Oktober, dalam rangka menyampaikan keprihatinan mereka langsung kepada presiden Japan International Cooperation Agency (JICA), Mr. Shinichi Kitaoka, yang hadir di sana.

Menuju Kemenangan Masyarakat

Berkat gerakan transnasionalisme oleh beberapa CSO di Indonesia, sebuah petisi internasional yang ditandatangani oleh 188 Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) dari seluruh dunia (termasuk 26 negara) telah diserahkan kepada pemerintah Jepang pada 2018, menuntut pemerintah Jepang untuk mengambil tindakan segera atas pembebasan tanpa syarat terhadap dua petani pembela lingkungan hidup di Indonesia, yang sedang melakukan protes atas kesejahteraan dan kesehatan lingkungan tempat tinggalnya dikarenakan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara kotor yang didukung Jepang.

Sebagai respon atas kritik internasional, pemerintah Jepang akhirnya mengambil kebijakan untuk menghentikan pendanaan atau pemberian pinjaman terhadap proyek pembangunan PLTU baru ini. Keputusan ini sekaligus menguatkan komitmen Jepang terhadap kepentingan iklim. Pada tahun 2021, negara-negara G-7 juga telah bersepakat untuk mengakhiri segala bentuk bantuan baru untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang gagal menurunkan emisi dan memberi dukungan terhadap percepatan transisi energi.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menanggapi dan mengkonfirmasi bahwa PLN telah membatalkan rencana perluasan tersebut beberapa hari setelah pengumuman pembatalan pendanaan dari Jepang. Namun, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Nasional 2021-2030 (RUPTL) terbaru, tercantum status pembangunan PLTU Indramayu II itu dinyatakan "ditunda karena menyesuaikan dengan kebutuhan sistem" Jawa-Bali. Sistem kelistrikan di Jawa-Madura-Bali (Jamali) saat ini memang cenderung kelebihan kapasitas (over capacity), sehingga penyetopan dana dari Jepang untuk pembangunan PLTU ini tidak begitu berdampak signifikan. 

Meskipun begitu, cerita ini dapat menjadi tren positif yang menginspirasi dan menjadi peluang untuk masyarakat turut andil dalam mendesak pemerintah Indonesia menghentikan pembangunan PLTU baru dan mempercepat transisi ke energi terbarukan. Upaya warga terdampak sejak pertama kali mereka tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Indramayu (Jatayu) pada tahun 2015 berbuah manis dan dianggap sebagai sebuah kemenangan. Walau begitu, perjuangan mereka belum usai dan harus tetap berlanjut.

Perlu Desakan Lebih Nyata Hentikan PLTU

Survei dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memperlihatkan tingginya dukungan mayoritas masyarakat Indonesia untuk pensiun dini PLTU batubara, yaitu sekitar 89%. Tidak hanya dari segi lingkungan, secara ekonomi pun PLTU sudah tidak lagi menguntungkan dan menarik minat investor, bahkan terhitung berisiko. Dari sisi lingkungan, emisi karbon yang dihasilkan diperkirakan mencapai 5,2 juta ton CO2 ekuivalen setiap tahun. Penggantian PLTU ke Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di fase ketiga transisi juga masih diragukan karena umur hidup PLTU masih bisa mencapai 30-60 tahun.

Dari sisi ekonomi, pendanaan ke aset batu bara memiliki risiko transisi dan risiko stranded asset (aset yang kehilangan nilai) akibat perubahan kebijakan untuk meninggalkan batubara. Menurut penjelasan Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, aset yang terkait dengan batubara bisa menurun nilainya seiring dengan fluktuasi harga batu bara, perubahan kebijakan negara tujuan ekspor, serta dianggap tidak sejalan dengan upaya transisi energi sehingga berpotensi merugikan investor.

Terlepas dari berbagai penjelasan tersebut, hal yang masuk akal mengapa PLTU perlu segera diberhentikan untuk menahan kerusakan lebih jauh di berbagai aspek kehidupan masyarakat, gagasan ini akan selalu menuai kontroversi dan hambatan yang tidak mudah. Pemerintah bahkan secara terang-terangan menyebut bahwa meskipun transisi energi hijau tengah dikebut di seluruh dunia, hal itu tidak akan mengesampingkan peran dari energi fosil di Indonesia, karena minyak bumi yang berlimpah masih bisa dimanfaatkan sebagai energi utama untuk transportasi sebelum digantikan dengan kendaraan listrik. Ada banyak alasan mengapa kebijakan pemerintah memberikan subsidi kendaraan listrik, yang hingga kini masih sepi peminat, dinilai tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Selain karena menguras APBN, pembangkit listrik masih menggunakan energi kotor dari tenaga batu bara dan tidak menjawab permasalahan kemacetan di ibukota. Batu bara bahkan diarahkan ke program hilirisasi seperti gasifikasi batubara dan penerapan clean coal technology untuk pembangkit. Hal ini jelas solusi palsu.

Agenda transisi energi yang berkeadilan seolah menjadi agenda pemerintah dan tidak mempertimbangkan persetujuan masyarakat sebagai pihak yang paling merasakan dampak pencemaran PLTU batu bara. Padahal, masyarakat memiliki andil yang besar dalam merealisasikan transisi energi. Mendengarkan aspirasi dan melibatkan warga lebih banyak akan menghasilkan lebih banyak dukungan untuk intervensi yang lebih berpengaruh, sehingga kesalahan dalam persiapan dan pelaksanaan rencana transisi energi dapat dihindari dan berbasis fakta lapangan.

Mewujudkan masyarakat yang sadar hukum juga memiliki urgensi yang besar, karena advokasi dapat menghindari jatuhnya lebih banyak korban dalam upaya perlawanan terhadap ketidakadilan. Keterbatasan akses pendidikan memang menjadi tantangan tersendiri, namun komunitas sudah memiliki modal sosial dan keterampilan untuk melakukan transisi energi di lingkup area yang paling kecil. Adapun keahlian masyarakat dapat diasah bila diberikan kesempatan belajar melalui pelatihan-pelatihan. Yang perlu disediakan dan difasilitasi adalah biaya yang lebih murah untuk teknologi komunitas, pelatihan perangkat desa dan pemuda, serta hibah yang lebih besar melalui pendanaan pemerintah terkait transisi energi di tingkat komunitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun