Survei dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memperlihatkan tingginya dukungan mayoritas masyarakat Indonesia untuk pensiun dini PLTU batubara, yaitu sekitar 89%. Tidak hanya dari segi lingkungan, secara ekonomi pun PLTU sudah tidak lagi menguntungkan dan menarik minat investor, bahkan terhitung berisiko. Dari sisi lingkungan, emisi karbon yang dihasilkan diperkirakan mencapai 5,2 juta ton CO2 ekuivalen setiap tahun. Penggantian PLTU ke Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di fase ketiga transisi juga masih diragukan karena umur hidup PLTU masih bisa mencapai 30-60 tahun.
Dari sisi ekonomi, pendanaan ke aset batu bara memiliki risiko transisi dan risiko stranded asset (aset yang kehilangan nilai) akibat perubahan kebijakan untuk meninggalkan batubara. Menurut penjelasan Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, aset yang terkait dengan batubara bisa menurun nilainya seiring dengan fluktuasi harga batu bara, perubahan kebijakan negara tujuan ekspor, serta dianggap tidak sejalan dengan upaya transisi energi sehingga berpotensi merugikan investor.
Terlepas dari berbagai penjelasan tersebut, hal yang masuk akal mengapa PLTU perlu segera diberhentikan untuk menahan kerusakan lebih jauh di berbagai aspek kehidupan masyarakat, gagasan ini akan selalu menuai kontroversi dan hambatan yang tidak mudah. Pemerintah bahkan secara terang-terangan menyebut bahwa meskipun transisi energi hijau tengah dikebut di seluruh dunia, hal itu tidak akan mengesampingkan peran dari energi fosil di Indonesia, karena minyak bumi yang berlimpah masih bisa dimanfaatkan sebagai energi utama untuk transportasi sebelum digantikan dengan kendaraan listrik. Ada banyak alasan mengapa kebijakan pemerintah memberikan subsidi kendaraan listrik, yang hingga kini masih sepi peminat, dinilai tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Selain karena menguras APBN, pembangkit listrik masih menggunakan energi kotor dari tenaga batu bara dan tidak menjawab permasalahan kemacetan di ibukota. Batu bara bahkan diarahkan ke program hilirisasi seperti gasifikasi batubara dan penerapan clean coal technology untuk pembangkit. Hal ini jelas solusi palsu.
Agenda transisi energi yang berkeadilan seolah menjadi agenda pemerintah dan tidak mempertimbangkan persetujuan masyarakat sebagai pihak yang paling merasakan dampak pencemaran PLTU batu bara. Padahal, masyarakat memiliki andil yang besar dalam merealisasikan transisi energi. Mendengarkan aspirasi dan melibatkan warga lebih banyak akan menghasilkan lebih banyak dukungan untuk intervensi yang lebih berpengaruh, sehingga kesalahan dalam persiapan dan pelaksanaan rencana transisi energi dapat dihindari dan berbasis fakta lapangan.
Mewujudkan masyarakat yang sadar hukum juga memiliki urgensi yang besar, karena advokasi dapat menghindari jatuhnya lebih banyak korban dalam upaya perlawanan terhadap ketidakadilan. Keterbatasan akses pendidikan memang menjadi tantangan tersendiri, namun komunitas sudah memiliki modal sosial dan keterampilan untuk melakukan transisi energi di lingkup area yang paling kecil. Adapun keahlian masyarakat dapat diasah bila diberikan kesempatan belajar melalui pelatihan-pelatihan. Yang perlu disediakan dan difasilitasi adalah biaya yang lebih murah untuk teknologi komunitas, pelatihan perangkat desa dan pemuda, serta hibah yang lebih besar melalui pendanaan pemerintah terkait transisi energi di tingkat komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H