Isu krisis iklim khususnya transisi energi menjadi topik internasional yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini, mengingat urgensi dan dampaknya yang cukup urgen. Dalam realisasinya, negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) melihat adanya kebutuhan akan kemitraan dengan negara-negara berkembang untuk mengakselerasi transisi energi. Pendanaan untuk membantu Indonesia untuk proyek transisi energi ini diumumkan pertama kali pada November 2022 dalam G20 dan disepakati dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Indonesia termasuk negara penerima dana terbesar dibanding negara penerima lainnya seperti Vietnam dan Afrika Selatan, yaitu sebesar US$21,6 miliar. Di forum yang sama, pemerintah juga meluncurkan skema Energy Transition Mechanism (ETM) yang dimaksudkan untuk pensiun dini atau “suntik mati” proyek-proyek PLTU batu bara di Indonesia. Skema JETP dan ETM saling terkait dalam satu dokumen percepatan transisi energi Indonesia di sektor ketenagalistrikan.
Rencana investasi dan rumusan kebijakan dari pendanaan ini disusun dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Sayangnya, peluncuran resmi CIPP yang seharusnya dilaksanakan pada 16 Oktober 2023 lalu diundur hingga 21 November 2023. Hal ini dikarenakan CIPP yang masih perlu revisi dan masih perlu lebih banyak masukan-masukan yang komprehensif. Terlepas dari adanya tambahan waktu untuk membuka dialog publik dalam revisi CIPP, implementasi komitmen JETP di Indonesia terlihat menemui banyak tantangan. Keberhasilan Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP) di Indonesia bisa jadi akan terganggu dikarenakan keengganan koalisi IPG untuk menyediakan dana bagi pensiun dini PLTU batu bara. Pemerintah Indonesia juga cukup frustasi karena ketidakpastian mengenai jaminan dan ketersediaan dana langsung dari negara maju.
Center of Economic and Law Studies dalam hal ini berpendapat bahwa JETP menjadi terlalu "donor-driven" atau terlalu berorientasi pada kebutuhan negara pendonor, dan kurang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan spesifik Indonesia dalam konteks transisi energi. Hal ini berkaitan dengan ambisi bauran energi terbarukan yang mencapai 44% pada 2030 dalam CIPP JETP, namun PLTU batu bara yang di pensiunkan hanya ada 2 yakni Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu. Padahal, jika pensiun dini PLTU batu bara tidak dilakukan terlebih dahulu, komersialisasi energi terbarukan akan menjadi kurang layak dilakukan. Selain itu, pendanaan JETP lebih dominan pinjaman ketimbang hibah sehingga berisiko merugikan negara dan menciptakan jebakan utang (debt trap). Padahal sebagai negara maju, IPG sudah sepatutnya memberikan lebih banyak hibah sebagai bentuk tanggung jawab historis atas krisis iklim.
Dinamika ini perlu dilihat juga dari perspektif hubungan internasional untuk mendapatkan gambaran bagaimana perkembangan diplomasi Indonesia yang terjadi dalam setahun terakhir untuk meloloskan kesepakatan JETP dengan negara-negara IPG.
Setelah pertama kali diumumkan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali Jokowi bersama beberapa menteri kabinetnya melakukan serangkaian pendekatan ke negara-negara IPG untuk maintaining hubungan kerja sama ini, baik dalam kunjungan kenegaraan maupun konferensi. Sekretariat tim kerja untuk realisasi JETP juga dibentuk dan resmi berkantor di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia sejak Februari 2023. Jika diurutkan, penyebutan JETP dalam berbagai kunjungan bilateral dan rangkaian pertemuan pihak Indonesia dengan perwakilan negara-negara IPG telah terlaksana. Dimulai dengan Jepang, Jerman, Kanada, Norwegia, Denmark, Prancis, Italia, Uni Eropa, hingga kunjungan ke Amerika Serikat dalam rangka APEC pada November 2023 lalu.
Pembahasan JETP dengan Jepang (Februari-Maret 2023)
Tindak lanjut komitmen pendanaan JETP Indonesia ke Jepang diawali dengan pertemuan bilateral Menteri Keuangan kedua negara, Sri Mulyani dan Shun'ichi Suzuki, dalam rangkaian kunjungan kerja ke Jepang pada 14 Februari 2023. Kunjungan kerja dilakukan di tengah rangkaian agenda pertemuan IMF-JICA, yaitu Joint Conference on Recovery from the Pandemic in Developing Asia. Dalam kesempatan itu, Menkeu Sri Mulyani dan dan Menkeu Jepang Shun’ichi Suzuki bertemu secara daring membahas realisasi dan tindak lanjut dari kerja sama pembiayaan JETP. Jepang juga ikut mendukung skema pendanaan lainnya, yaitu ETM. Kesempatan membahas transisi energi juga dilakukan Menlu Retno Marsudi dengan Menlu Jepang Hayashi Yoshimasa dalam dialog strategis, yaitu 8th Indonesia-Japan Ministerial Level Strategic Dialogue pada 6 Maret 2023 di Tokyo, Jepang.
Pembahasan JETP dengan Jerman (April 2023)
Dalam kunjungan ke Hannover, Jerman pada 16 April 2023, Presiden Jokowi ditemani Menlu Retno Marsudi bertemu Kanselir Jerman Olaf Scholz untuk mempererat kerja sama pada level pemerintah (government to government/G2G) dan antar perusahaan (business to business/B2B). Dalam diskusi ini, Jokowi menyinggung pembahasan terkait implementasi JETP, dan mengajak pengusaha Jerman untuk investasi dalam transformasi ekonomi Indonesia, dengan tiga bidang prioritas, yaitu hilirisasi industri, transisi energi, dan pembangunan IKN.
Pembahasan JETP dengan Kanada (Mei 2023)
Di sela-sela KTT G7 pada 20 Mei 2023, Jokowi melakukan pertemuan dengan Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada, di Hotel Grand Prince, Hiroshima, Jepang. Jokowi meminta dukungan terkait percepatan realisasi dana JETP, dengan penekanan dukungan dana US$20 miliar tersebut tidak dalam bentuk utang.
Pembahasan JETP dengan Norwegia (Juni 2023)
Pertemuan antara Menlu Indonesia Retno Marsudi dengan Menlu Norwegia Anniken Huitfeldt berhasil saat Norwegia menyampaikan komitmennya atas pendanaan sebesar US$250 juta atau setara Rp3,7 triliun dalam skema JETP. Selain itu, dialog dua Menlu di Oslo, Norwegia, pada 12 Juni 2023 ini juga menghasilkan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) untuk kerja sama pengurangan emisi dari forestry and other land use (FOLU).
Pembahasan JETP dengan Denmark (Juni 2023)
Kunjungan kerja Retno Marsudi ke Denmark pada pertengahan Juni 2023 lalu merupakan kunjungan kenegaraan pertama sejak kunjungan terakhir pada tahun 2006 atau 17 tahun lalu. Pertemuan itu dihadiri Menlu Denmark Lars Lokke Rasmussen, Perdana Menteri (PM) Mette Frederiksen, Menteri Imigrasi dan Integrasi Denmark, dan pimpinan 8 perusahaan multinasional Denmark.
Pendanaan skema JETP belum secara gamblang dibahas dalam forum ini. Namun Retno sempat membahas tentang sektor potensial di Indonesia di bidang energi serta menekankan kesamaan interest dua negara dalam isu perubahan iklim. Dari pertemuan ini, Retno berhasil mendapatkan Implementing Arrangement untuk MoU on Infrastructure Project Financing senilai 1 miliar euro atau sekitar Rp 16 triliun dalam kerja sama proyek infrastruktur strategis di Indonesia.
Pembahasan JETP bersama Belanda dan Prancis (September 2023)
Jokowi menggelar pertemuan secara khusus dengan pemimpin kedua negara ini di sela-sela KTT G20 di New Delhi, India pada 9 September 2023. Kepada Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, Jokowi meminta dukungan dan tindak lanjut dari kedua negara untuk merealisasikan komitmen kerja sama JETP.
Pembahasan JETP dengan Italia (September 2023)
Esok harinya, dalam kesempatan yang sama Jokowi juga mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, yaitu 10 September 2023. Jokowi berharap realisasi skema JETP bisa segera diwujudkan dalam waktu dekat. Jokowi juga mengundang Italia untuk terlibat dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik dan infrastruktur hijau di Indonesia.
Pembahasan JETP dengan Amerika Serikat (September dan November 2023)
Sebelum pertemuan Jokowi dengan Presiden AS, Joe Biden pada 13 November 2023, ia telah bertemu Wakil Presiden AS Kamala Harris pada 6 September 2023 di Jakarta Convention Center dalam rangkaian kegiatan KTT ke 43 ASEAN. Kamala sempat menyinggung tentang pendanaan JETP dalam pidato kenegaraannya di pertemuan bilateral tersebut. Pada Joe Biden, Jokowi kembali menagih janji US$20 miliar awal komitmen JETP itu.
Biden lalu mengumumkan program-program baru untuk kerja sama kedua negara dalam memajukan kerja sama teknis mengenai sumber daya energi terbarukan, ketahanan jaringan listrik, dan praktik pertambangan yang bertanggung jawab. Usulan program-program baru ini akan disusul dengan MoU nantinya.
"Proyek JETP ini mengembangkan strategi replikasi untuk penerapan jaringan listrik mini terbarukan yang lebih luas di seluruh kawasan dan akan dilaksanakan oleh perusahaan AS TQ Automation dalam kemitraan publik-swasta dengan laboratorium nasional Departemen Energi AS di bawah Net Zero World Initiative," komentar pihak Gedung Putih turut memberikan keterangan terkait kesepakatan JETP.
Kesimpulan
Dari sini, kita mendapatkan sedikit gambaran bagaimana upaya diplomasi Indonesia ke negara-negara IPG. Namun dari semua rangkaian kunjungan untuk meloloskan kepentingan JETP, belum ada satupun kunjungan balasan dari tokoh negara-negara IPG ke Indonesia, selain kunjungan piknik Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN, Sujiro Seam, ke Jakarta pada September 2023. Memang ada berita bahwa Kanselir Jerman Olaf Scholz akan mengunjungi Indonesia, namun belum ada keterangan yang pasti mengenai penyambutan dan waktu kunjungannya di Indonesia. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pun, implementasi JETP belum ada kemajuan yang berarti saat itu.
Hal ini menandakan bahwa Indonesia masih kurang percaya diri dalam menegaskan potensi dan kedudukan untuk suksesi skema JETP dan ETM, sehingga belum mampu menjadikan negara-negara IPG melihat percepatan transisi energi di Indonesia sebagai hal yang urgent dan utama. Terlebih dengan fakta bahwa dalam kerja sama bidang energi, Indonesia masih mesra dengan mitra rival negara IPG secara umum, yaitu China. Hal ini dikarenakan China pada saat BRI Summit 2023 memiliki komitmen membantu proses transisi energi dan dekarbonisasi Indonesia dengan total US$56 miliar atau lebih dari dua kali lipat komitmen JETP.
Alih-alih hibah dan percepatan skema, satu-satunya kesempatan yang diberikan pada Indonesia hanyalah kesepakatan konsesional dan non-konsensial yang artiya skema utang dengan bunga pasar. Ini tentu saja bukan hasil yang setimpal untuk usaha diplomasi Indonesia yang sudah jor-joran dan makan banyak biaya untuk menyusun CIPP JETP dan berkunjung ke negara maju. Ada baiknya setelah semua upaya ini, Indonesia bisa lebih fokus menawarkan aspek strategi dan teknik yang pasti untuk realisasi JETP.
Indonesia juga harus lebih jeli dalam membaca state interest masing-masing negara IPG agar dapat memberikan penawaran keuntungan yang sesuai dan tepat sasaran. Dengan potensi keuntungan yang jelas di kedua belah pihak, negara-negara IPG akan terdorong untuk berkomitmen lebih serius pada Indonesia. Menagih komitmen negara maju bisa terus dilanjutkan terutama dalam COP28 yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Karena tidak hanya Indonesia, tapi negara IPG seharusnya juga membutuhkan suksesi skema JETP dan ETM ini untuk akselerasi transisi energi dan mengejar penurunan emisi secara global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H