Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Respons Kita Berbeda jika Korban Pemerkosaan adalah Lelaki Dibandingkan Perempuan?

8 Januari 2020   12:20 Diperbarui: 10 Januari 2020   05:03 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tribunwow/Kurnia AS

Tentang pemerkosaan itu..

BEBERAPA hari belakangan ini kita mendengar berita yang menghebohkan.

Hakim di Inggris baru saja memutuskan hukuman untuk kasus pemerkosaan paling keji yang pernah terjadi di Inggris. Pemerkosaan berantai yang terjadi bertahun- tahun. Korbannya ratusan.

Unfortunately, pelakunya adalah Warga Negara Indonesia.

Korbannya, para lelaki, yang banyak dari mereka, setelah itu mengalami gangguan psikologis.

Menurut berita yang beredar, para lelaki yang menjadi korban pemerkosaan banyak yang tidak ingin mendengar detail tentang apa yang terjadi pada mereka dari polisi. 

Banyak yang memilih untuk tidak memberi tahu orang-orang dekatnya, baik teman maupun keluarga tentang apa yang terjadi, dan mengalami trauma. Sudah ada yang mencoba bunuh diri. 

Kasus ini, korbannya lelaki. Dan pemerkosanya, juga lelaki, yang tampangnya manis, berpendidikan tinggi, dan konon taat beragama. Para lelaki korban pemerkosaan, mayoritas justru bukan homoseksual tapi heteroseksual.

***

Gambar: Headline Daily Mirror (from bbc.com) dan economicstime.com
Gambar: Headline Daily Mirror (from bbc.com) dan economicstime.com
Sejak pertama berita ini beredar di tanah air, tanggapan yang muncul adalah keprihatinan dan kemarahan. Caci maki ditujukan pada si pemerkosa. Sebutan- sebutan kasar disematkan padanya. 

Simpati diberikan pada para korban, yang banyak di antaranya bahkan tidak tahu bahwa terjadi pemerkosaan pada dirinya sampai titik dimana polisi memberitahukan hal tersebut pada dirinya. 

Respons prihatin, simpati pada korban, dan kemarahan yang tertuju pada pelaku (khusus yang terjadi di tanah air, juga ungkapan "memalukan" muncul berulang kali di sana sini) tumpah ruah.

Dari komentar-komentar yang ada, semua mendudukkan orang yang diperkosa sebagai korban. Pemerkosanya monster.

Positioning yang benar. Ya memang begitu. Dalam kasus pemerkosaan, yang "evil" itu pemerkosanya, yang diperkosa adalah korban.

Hanya saja..

Mari kita pindah sejenak dari kasus pemerkosaan di Manchester itu dan bayangkan banyak kasus pemerkosaan lain, dimana korbannya adalah perempuan, pelakunya lelaki. 

Dalam kasus semacam ini, akankah reaksi yang diberikan sama: secara otomatis mendudukkan orang yang diperkosa sebagai korban, pemerkosanya monster, atau tidak? 

Mengapa saat seorang lelaki memperkosa lelaki lain, opini yang segera terbentuk adalah orang yang diperkosa adalah korban, nyaris tanpa tudingan dan tanpa pertanyaan apapun, tapi tidak begitu yang terjadi jika korban pemerkosaan adalah seorang perempuan?

Berapa dari kita yang pernah atau senantiasa malah bereaksi menyalahkan pihak perempuan yang diperkosa?

Berapa banyak yang alih-alih membela malah mempertanyakan atau menuding perempuan yang diperkosa? 

Berapa sering kita melihat orang mengatakan bahwa pemerkosaan (pada perempuan oleh seorang lelaki) terjadi sebab pihak (perempuan) yang diperkosa genit, mengundang, lalu juga menyalahkan pilihan bajunya, dsb dsb. 

Intinya, perempuan yang diperkosalah yang salah, bukan lelaki pemerkosanya.

***

Memangnya ada yang seperti itu?

Ada.

Banyak.

***

Aku ingat beberapa tahun yang lalu, kupernah bereaksi keras terhadap seorang lelaki blogger yang sikapnya seperti itu.

Saat itu dia berdebat untuk suatu perkara dengan seseorang -- perempuan -- dan di tengah perdebatan yang memanas lalu lelaki tersebut keluar konteks, tiba-tiba menyerang ad hominem perempuan yg berdebat dengannya tentang kasus pemerkosaan yang pernah terjadi pada perempuan tersebut dan mengata-ngatainya, menuduh perempuan itulah yang mengundang sampai terjadi peristiwa pemerkosaan tersebut.

Padahal topik yang sedang mereka perdebatkan adalah topik lain. Tak ada hubungannya sama sekali dengan kasus pemerkosaan yang pernah dialami oleh si perempuan yang diungkitnya.

Demi tujuan memenangkan perdebatan, lelaki pengecut itu mengungkit hal yang menjadi trauma bagi lawan debatnya.

Bayangkan!

Aku yang saat itu menyaksikan perdebatan tersebut sampai gemetar menahan marah.

Lelaki macam apa itu?

Lelaki itu, yang dalam tulisan-tulisannya tanpa sungkan sering mencitrakan dirinya seakan dia orang yang cerdas dan memiliki pengetahuan agama yang baik (dia lulusan pesantren, sepertinya) sama sekali tidak punya kehalusan rasa, jauh dari welas asih.

Aku memutuskan untuk turun berkomentar saat itu. Of course, bisa diduga, komentarku dihapus. Belakangan, kubuatkan satu tulisan yang lalu kumuat di blog-ku sendiri mengenai kasus tersebut.

Untuk informasi, peristiwa pemerkosaan yang oleh blogger lelaki itu dipertanyakan "apakah korban atau nawarin" itu, bahkan terjadi pada situasi sangat sulit. 

Perempuan korbannya, saat itu sedang berusaha menyelamatkan hidupnya, membebaskan diri, yang membuatnya harus berada di luar rumah sendirian saat itu.

Dia sama sekali tidak sedang bergenit-genit. Dan mengingat situasi serta lokasi dimana pemerkosaan itu terjadi, bisa dipastikan dia saat itu tidak menggunakan jenis baju yang sering disebut orang sexy, terbuka, pendek, dan sebagainya. Tidak begitu.

Jadi bahkan tanpa harus terjadi pemerkosaan itupun, situasi bagi dirinya sudah sedemikian rumit. Apalagi ditambah terjadinya pemerkosaan. 

Dan bayangkan, untuk kasus semacam itu, bahkan ada orang yang tega mempergunakan fakta tentang pemerkosaan tersebut untuk menyerang perempuan itu pada perdebatan tentang topik lain. Apa coba, yang ada di kepala dan hatinya?

***

Oh ya, sebelum ada yang bertanya, perlu kusampaikan sedikit di sini bahwa perempuan korban pemerkosaan itu pernah memuat tulisan tentang pemerkosaan yang menyangkut dirinya. Jadi memang ada banyak orang yang mengetahui kasus tersebut.

Kita semua tahu, ada banyak tujuan orang menulis.

Dalam kasus- kasus sulit, menulis bahkan bisa digunakan sebagai trauma healing.

Bisa juga untuk membagikan informasi, untuk membuat orang lain waspada, agar peristiwa yang sama tidak perlu terulang.

Apapun tujuannya, jelas, selayaknya  informasi yang ditulis oleh korban pemerkosaan itu tidak digunakan balik untuk menyerang dirinya. Kecuali oleh orang- orang yang tak punya hati.

***

Kasus pemerkosaan yang terjadi di Manchester yang menggemparkan kali ini menunjukkan dengan jelas, bahwa orang-orang yang diperkosa itu korban.

Mereka dibius, tidak sadarkan diri ketika pemerkosaan itu terjadi, dan mayoritas dari mereka adalah lelaki heteroseksual. 

Ada berita yang menyebutkan, beberapa korban muntah-muntah saat mendengar informasi dari polisi tentang kejadian yang menimpa mereka.

Para psikolog banyak yang urun bicara. Membahas trauma dan gangguan psikologis yang kemungkinan akan diderita oleh para korban.

Nah padahal, baik korbannya lelaki maupun perempuan, banyak efek pemerkosaan yang serupa. Banyak jenis trauma yang sama. Perasaan terhina dan sebagainya, itu juga akan diderita oleh para korban pemerkosaan perempuan. 

Belum lagi malah, jika korbannya perempuan, ada risiko terjadinya kehamilan yang tak diinginkan.

Lalu kenapa, jika korban pemerkosaan itu perempuan, tingkat empati dan simpati yang diberikan tak bisa solid? Kenapa selalu ada saja yang menuding bahwa kesalahan ada di pihak perempuan?

***

Setelah ada kasus pemerkosaan yang menghebohkan di Manchester ini, ke depan, jika ada kasus pemerkosaan terjadi lagi, tanyakan pada diri sendiri, di pihak mana kita akan berdiri. 

Bersimpati pada korban, atau membela si pelaku? Atau masih akan memilih-milih dan memberikan respons yang berbeda, tergantung pada apakah yang diperkosa itu lelaki atau perempuan?

Jika korbannya lelaki, pelaku adalah monster. Jika korbannya perempuan, masih harus dipertanyakan dulu.. hmm.. well, barangkali perempuannya itu yang tak bisa menjaga diri, genit, berada di tempat- tempat yang tak seharusnya disinggahi oleh "perempuan baik-baik", bajunya terlalu pendek, terbuka, dsb dsb dsb, begitu? 

Padahal, siapapun korbannya, pada suatu kasus pemerkosaan, yang salah itu cuma satu: si pelaku. Titik. Maka seharusnya, respons pilih- pilih itu tak terjadi.

Oh ya, last but not least, ini catatan bagi para perempuan, jika menemukan lelaki yang membela pemerkosa dan/ atau menyalahkan korban pemerkosaan, jauh-jauh darinya. Lelaki tak punya hati macam itu warnanya gelap!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun