Dan percayalah, memberikan ASI langsung pada bayi saat kita bisa mendekapnya, bisa mengobrol dan tertawa- tawa dengannya, itu menyenangkan, membahagiakan. Tapi menampung ASI, itu cerita lain. Ada rasa nyeri yang terasa. Apalagi entah kenapa, saat menampung ASI itu, beragam jenis pompa yang kucoba tak berhasil membuat ASI mengalir. Satu- satunya yang bisa, hanya jika itu dilakukan manual dengan tangan.
Jadi, selain nyeri, waktu yang dibutuhkan juga lumayan banyak, mengeluarkan ASI dengan cara manual itu.
Kuterima saja kondisi tersebut sebagai konsekwensi sebuah pilihan.
Freezer di kulkas rumah kami dikosongkan. Tak diisi apapun yang lain selain botol- botol berisi ASI beku yang kuberi nomor dan tanggal. Lalu, dua hari sekali, asisten rumah tangga kami pulang pergi naik bus ke kota dimana ibuku dan bayiku berada, membawa termos es berisi berbotol- botol ASI beku dan es batu untuk mempertahankan suhu tetap dingin selama perjalanan.
Lalu nanti, ibuku yang akan menerima botol- botol ASI itu, memindahkan ke freezer di rumah ibu, dan nanti, mencairkan ASI beku tersebut sesuai kebutuhan, untuk diberikan kepada putriku.
Disamping mengirimkan ASI, aku sendiri juga memiliki jadwal pulang ke rumah ibu, agar bisa tetap menyusui bayiku secara langsung. Ada satu hari di tengah minggu, sekitar hari Selasa atau Rabu, dimana pulang kantor aku langsung menuju stasiun kereta, menempuh perjalanan selama beberapa jam, untuk menemui bayiku, memberinya ASI semalaman, dan subuh keesokan harinya, kembali naik kereta api menuju kota dimana kantorku berada. Langsung ke kantor dari stasiun.
Lalu di akhir minggu, pada Jumat malam, aku dan suamiku menempuh rute yang sama. Naik kereta api, menemui bayi kami. Kembali Senin subuh, langsung ke kantor.
Hal tersebut kami jalani selama berbulan- bulan.
Alhamdulillah, walau dibesarkan dengan ASI beku serupa itu, bayi kami tumbuh sehat. ASIku sendiri mengalir deras, hingga walau berjauhan begitu, bayi kami bisa mendapatkan ASI tanpa tambahan susu formula sama sekali hingga usianya menginjak 7 bulan.
Cukup aman. Sebab dia sudah mulai mendapatkan makanan selain ASI pada usia 4 bulan ( iya, saat itu, kampanye ASI ekslusif meliputi waktu 4 bulan. Bayi- bayi sudah mulai diberi makan di usia 4 bulan, bukan 6 bulan seperti saat ini), jadi masih terus mendapat ASI tanpa susu formula sampai 7 bulan dalam kondisi tidak ideal dimana ibu dan bayi terpisah tempat tinggal itu, sudah membuatku cukup bersyukur.
Putriku masih terus mendapat ASI sampai usia 11 bulan. Pada usia 8 bulan, Â dia mulai menggeleng- gelengkan kepala jika ditawari minum ASI. Bisa jadi ini memang terpicu kondisi tak ideal dimana dia kadang minum dari botol, atau sendok, atau dapat ASI langsung dari aku, dan menyebabkan kondisi bingung puting yang membuatnya akhirnya memilih mana yang lebih nyaman baginya. Hal yang tak terjadi dengan adik- adiknya yang sebab tinggal sepenuhnya denganku, terus mendapat ASI hingga usia 2 tahun.