Gerimis sejak pagi. Wangi tanah basah menghambur.
Udara dingin. Tapi, hati Dee hangat.
Dia bergelung dalam pelukan Kuti, suaminya, di kursi depan rumah kayu mereka. Menikmati rintik hujan, dan pepohonan yang bergerak- gerak mengikuti arah angin.
Dua cangkir coklat panas ada di hadapan mereka.
***
Dee merindukan Kuti.
Amat. Sangat.
Kuti baru saja kembali kemarin, larut malam dari perjalanan dinas yang agak lama.Â
Dee, dan anak- anak -- Pradipta, serta si kembar Nareswara dan Nareswari -- tentu saja menyambut kedatangan Kuti dengan gembira. Tapi sebab tiba di rumah ketika waktu  tidur sudah tiba, mereka belum banyak saling bercerita.
Dan pagi ini, setelah anak- anak semua berangkat ke sekolah, hanya ada mereka berdua di rumah.
Dee menyesap perlahan coklat di cangkirnya. Begitu juga dengan Kuti. Â
Mereka mengobrol kesana kemari.Â
Tentang anak- anak. Pradipta yang mewakili sekolahnya mengikuti olimpiade IPA. Prakarya yang dibuat oleh si kembar. Juga tentang kucing mereka yang baru saja melahirkan tiga anaknya dua hari yang lalu, tapi dua diantaranya tak bertahan hidup. Tentang kura- kura dan ikan di kolam di belakang rumah. Tentang pekerjaan Kuti yang dilakukannya selama dia bepergian, dan lalu meloncat- loncat lagi kesana kemari, sampai pada..
" Prameswari berkunjung akhir minggu yang lalu, " kata Dee.
" Oh, dengan Wirya dan Pratama? " tanya Kuti.
Dee mengangguk.
" Ya, " katanya.
Prameswari adalah saudara Dee. Dee menceritakan kunjungan Prameswari beserta Wirya suaminya serta Pratama anaknya akhir minggu lalu ke rumah mereka, saat Kuti masih berada di luar kota.
" Apa kabar mereka? " tanya Kuti.
" Baik, sehat semua, " jawab Dee.
" Dan Cintya? " tanya Kuti.
" Cintya baik, betah disana. Katanya, nilai- nilai kuliahnya juga bagus, Â " ujar Dee menjawab pertanyaan suaminya.
Kuti mengangguk.
Cintya, putri sulung Prameswari dan Wirya, sedang berada di benua lain. Dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Inggris. Beberapa minggu yang lalu Prameswari baru saja pergi menengoknya kesana.
" Masih dingin ya, disana? " kata Kuti.
" Iya, masih sekitar tujuh derajat, katanya, " sahut Dee. Dan Dee kemudian teringat sesuatu.
" Oh ya, Prameswari sempat ke Edinburgh," kata Dee, " Dan, tau nggak.. "
Kuti mendengarkan Dee bercerita sambil tetap memeluk istrinya. Bukan hanya Dee yang merindukan dirinya. Kuti, sebaliknya juga merindukan Dee. Amat. Sangat.
Dielusnya rambut sang istri yang tersenyum- senyum senang menerima kemesraan suaminya.
" Di Edinburgh, Prameswari sempat mampir ke cafe.. itu lhooo, cafe yang katanya tempat pertama kali JK Rowling nulis Harry Potter itu.. "
Oh.
Kuti, walau bukan fans berat Harry Potter, tentu saja tahu kisah itu. Bahwa konon JK Rowling menemukan ide- ide pertamanya tentang Harry Potter pada suatu saat ketika dia sedang berada pada perjalanan dari Manchester ke London dan kereta yang ditumpanginya terlambat. Lalu, setelah ide ditemukan, dalam banyak berita disebutkan bahwa JK Rowling sering melewatkan waktunya menulis bab- bab awal Harry Potter itu di sebuah cafe...
" Dan cafe itu, berada di Edinburgh? " tanya Kuti.
" Iya, " Dee, yang seperti juga Prameswari, merupakan penggemar berat Harry Potter, mengiyakan dengan antusias. " Namanya The Elephant House, " kata Dee.
Dee tertawa. Senang, tentu saja, dilimpahi kemesraan serupa itu. Dia meraih telepon genggamnya. Lalu membuka beberapa gambar dan menunjukkan pada Kuti.
" Aku dapat fotonya dari Prameswari, " kata Dee.
Kuti melihat foto etalase dan pintu sebuah cafe yang dengan segera menarik perhatian sebab berwarna merah, diantara warna- warna lebih teduh dan gelap pada  bangunan- bangunan di sekitarnya.
" Kata Prameswari, cafe ini mengoleksi beragam pernak- pernik berbentuk gajah, " cerita Dee.
" Dan eh, " Dee masih dengan antusias meneruskan ceritanya, " Tau nggak siiihhh.. nggak ada wifi di cafe ini. "
" Oh ya, nggak ada Wifi? " -- wah, itu keputusan yang berani, pikir Kuti. Hari gini, ketika biasanya begitu masuk ke cafe yang ditanyakan pengunjung adalah password wifi di tempat itu, The Elephant House malah memutuskan untuk tidak memasang wifi.
Dee menunjukkan lagi sebuah gambar. Isinya pengumuman, yang membuat Kuti tersenyum lebar.
" We do not have wifi. Talk to each other. Pretend it's 1995, " bunyi tulisan itu.
Hahaha.
The Elephant House didirikan tahun 1995. Pada saat itu, telepon genggam belum sebanyak saat ini feature-nya. Wifi juga belum bertebaran dimana- mana. Dan adalah keputusan yang sangat berani ketika hingga saat ini, lebih dari 20 tahun berselang setelah caf ini berdiri, mereka berteguh hati untuk tetap tidak menyediakan fasilitas wifi.
" Talk to each other" -- saling mengobrol-lah, saran yang tertulis di pengumuman itu.
Ahay. Betapa benarnya apa yang disarankan tersebut ya? Kini, dengan mudah kita akan menemukan banyak orang yang duduk bersama, tapi tidak saling bicara. Masing- masing sibuk dengan telepon genggamnya.
Orang berkomunikasi tanpa lagi terbatas jarak dengan orang- orang yang berada jauh dengannya, tapi lalu tak saling mengobrol dengan orang- orang yang saat itu berada, bahkan duduk semeja dengannya.
***
Dee menghirup kembali coklat di dalam cangkir, yang kini mulai mendingin.
" Di bagian belakang cafe itu, ada jendela, yang menghadap ke Edinburgh Castle, " Dee menyampaikan pada Kuti apa yang didengarnya dari Prameswari.
" Nah lalu, " Dee melanjutkan, " Dari jendela itu juga terlihat area pemakaman besar. Dan katanya, beberapa nama yang digunakan di buku Harry Potter itu terinspirasi dari nama- nama yang ada di batu nisan dalam pemakaman tersebut. "
" Terus yaaa.. yang unik ituuu.. " Dee melanjutkan ceritanya, tapi lalu terputus sebab dia menggelinjang kegelian.
Kuti tertawa. Dia masih terus menggoda istrinya dengan menyentuhnya disana- sini, yang membuat Dee lalu tertawa- tawa kecil sebab merasa geli.
" Yang unik itu, toiletnya.. " kata Dee, " Toiletnya penuh dengan..gra.."
Dee juga masih memiliki banyak cerita lain tentang di cafe itu.Â
 Tapi, dia menangkap senyum suaminya. Dan Dee memahami senyum yang dilontarkan dengan tatapan mesra itu. Dia memahami kerinduan yang membanjir di balik senyum tersebut.
Dee membalas senyum Kuti. Menanggapi ajakan tak terucap yang disampaikan melalui senyum sang suami.
Baiklah, pikir Dee, kalau begituuuu.. nanti kapan- kapan lagi saja kulanjutkan cerita tentang cafe yang di kaca depan-nya menulis besar- besar kalimat "Birthplace of Harry Potter" itu.Â
Dan Dee menatap suaminya, dengan kemesraan yang sama. Dia juga rindu, amat rindu, pada Kuti...