Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Kita Membela Membabi Buta Anak-anak yang Cerdas dan Berbakat?

3 Juni 2017   21:17 Diperbarui: 3 Juni 2017   22:30 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah kita selalu harus membela anak- anak sangat cerdas dan berbakat, apapun situasinya?

APAKAH dukungan kita pada anak- anak sangat cerdas dan berbakat harus ditunjukkan sampai pada level menganggap dia 'can do no wrong' ? Atau jikapun kita tahu dia salah, kita tutup mata?

***

Begini. Aku selalu mendukung anak- anak atau remaja yang melesat lebih cepat dari kebanyakan anak seusianya. Mereka perlu didukung. Bukan dihambat.

Sebagai orang tua dari tiga orang anak dengan segala keunikan mereka, kami -- aku dan suamiku -- berusaha mengupayakan apa yang kami bisa upayakan untuk mengoptimalkan potensi mereka. Dan saat mereka sudah siap terbang lebih tinggi, walau teman- teman sebayanya belum siap, menurut kami sih, tak perlu mereka mesti dihambat, diminta melambatkan langkah agar sejajar dan seirama dengan teman- teman sebayanya.

Kenapa harus dihambat?

Biar saja mereka terbang lebih tinggi. Biar saja mereka melatih diri,  jika memang mereka siap dan ingin melakukan itu. Tingkat kesulitan di tempat yang lebih tinggi itu juga sebetulnya besar lho. Mereka akan berhadapan dengan orang yang lebih tua, lebih senior, lebih tinggi pendidikannya, lebih berpengalaman dan sebagainya dan sebagainya. Maka diperlukan seni tersendiri untuk bisa survive. Dan jika mereka bisa, artinya mereka memang pantas ada di level itu.

***

Saat ini, kita menyaksikan banyak anak- anak dan remaja serupa ini muncul ke permukaan. Dalam banyak bidang. Termasuk, dalam hal tulis- menulis.

Dalam hal tulisan hasil karya anak- anak cerdas dan berbakat ini, aku termasuk yang suka nyengir jika ada yang tidak percaya bahwa anak- anak remaja bisa berpikir dewasa dan bisa menulis bagus. Jika kita dulu seusia mereka tidak bisa menulis sebagus itu, tidak berarti tidak ada anak remaja yang bisa menulis sebagus itu kan?

Nah, kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini: Apakah dukungan kita pada anak- anak cerdas dan berbakat harus ditunjukkan sampai pada level menganggap dia 'can do no wrong' ? Atau jikapun kita tahu dia salah, kita tutup mata?

Aku sendiri sih, betapapun aku percaya bahwa ada anak- anak dan remaja yang bisa menulis bagus, lebih bagus dari teman- teman seusianya atau bahkan lebih bagus dari orang dewasa, aku  tidak sepakat dengan cara membela membabi buta. Anak- anak sangat cerdas justru harus diajari tentang baik buruk. Diajari etika. Diajari menjaga kejujuran, menjaga integritas. Jadi, pada anak- anak dan remaja cerdas dan berbakat, kita jangan cuma bilang hebat.. hebat.. keren.. keren.. dan lalu saat mereka salah kita tutup mata.

Menurutku, tak perduli seberapa hebat atau cerdaspun seseorang, dia tetap perlu tahu tata krama. Membela membabi buta dan bilang tidak salah untuk sesuatu yang salah itu menjerumuskan.

Jangan kita bilang dia hebat karena 'masih kecil sudah bisa begitu' tapi saat dia salah dibiarkan dengan alasan 'masih kecil ya nggak ngerti'.

Justru terhadap anak- ana cerdas dan berbakatlah kita mesti berhati- hati. Jika mereka tumbuh baik, mereka akan jadi lebih baik dan berguna dari rata- rata orang, tapi juga sebaliknya, jika tersesat dan jadi jahat, mereka juga bisa tersesat lebih jauh dari kebanyakan orang.

Maka, kita perlu katakan salah jika memang salah. Benar jika memang benar. Tentu.. janganlah anak atau remaja itu lalu dibully dengan cara yang jahat atau dibunuh bakat dan kesempatannya untuk mengembangkan diri. Tegur dengan cara yang baik, pastikan dia memahami kesalahannya tanpa perlu ngeles- ngeles panjang lebar mencari alasan pembenaran lagi. Setelah itu, beri dia kesempatan terbang tinggi kembali.

***

Oh ya, omong- omong, terkait topik 'terbang ke level yang lebih tinggi' ini, aku mau mendongeng sedikit.

Sekitar hampir dua tahun yang lalu anakku, mahasiswa fakultas teknik, pernah menulis dan mengirimkan makalahnya sebagai syarat untuk mengikuti sebuah  winter camp di luar negeri. Makalah ini diseleksi, dan yang terpilih diundang untuk mengikuti winter camp tersebut.

Makalah bertopik sosial politik dengan tema Demorasi di Asia yang dia tulis itu ternyata terpilih. Jadi dia diundang ke winter camp yang pesertanya datang dari seluruh penjuru dunia, dari benua yang berbeda- beda.

Ketika itu, dia merupakan satu- satunya mahasiswa fakultas teknik dan merupakan peserta termuda yang makalahnya diterima. Yang lain, peserta dari beragam benua itu bahkan banyak yang sudah lulus S2 sosial politik atau praktisi di bidang sosial politik di lapangan. Beberapa dari mereka, dari biodatanya, juga terlihat sudah sering sekali malang melintang memenangkan penghargaan dalam hal tulis menulis.

Wah !

Saat aku tanyakan pada anakku bagaimana ceritanya dia bisa 'kesasar' kesitu, dia cuma nyengir kecil dan dengan santai berujar, " Aku juga heran koq makalahku bisa diterima..". Ha ha.

Sudah, begitu saja. 

Sejujurnya aku pribadi senang dengan reaksinya yang santai saja seperti itu. Tidak tampak merasa ‘keren banget ya gue', tidak juga tampak terbeban saat tahu siapa dan seperti apa profil orang- orang lain yang terpilih makalahnya.

Melihat reaksinya seperti itu, kami juga ikut nyengir saja, tidak berpanjang- panjang membahasnya. Hanya belakangan saja saat sedang menjalani winter camp itu, kami menanyakan padanya " Kau bisa nggak ngikutin diskusinya? " Dia menjawab, " Bisa koq. Walau lumayan berat, jadi mesti konsentrasi penuh.."

Nah, yang lucuuu.. sepulang dari winter camp itu dia bercerita begini pada kami, " Masa aku diledek 'dasar bocah' disana.. "

Hahaha. Ini lucu, sebab ia diledek begitu rupanya bukan karena keteteran atau tak bisa mengikuti saat diskusi berlangsung, tapi sebab saat mereka peserta winter camp dari beragam negara di dunia itu pergi beramai- ramai mencari kartu telpon lokal, setelah menunjukkan passportnya, anakku tidak diijinkan membeli. Rupanya, di negara itu ada batasan usia minimal untuk membeli kartu telpon dan dari passportnya ketahuan bahwa usia dia beberapa tahun lebih muda dari usia minimal yang disyaratkan. Semua peserta yang lain bisa membeli kartu telepon lokal tersebut, tapi si 'bocah' yang kemudaan itu ditolak.. hahaha..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun