Saat aku tanyakan pada anakku bagaimana ceritanya dia bisa 'kesasar' kesitu, dia cuma nyengir kecil dan dengan santai berujar, " Aku juga heran koq makalahku bisa diterima..". Ha ha.
Sudah, begitu saja.Â
Sejujurnya aku pribadi senang dengan reaksinya yang santai saja seperti itu. Tidak tampak merasa ‘keren banget ya gue', tidak juga tampak terbeban saat tahu siapa dan seperti apa profil orang- orang lain yang terpilih makalahnya.
Melihat reaksinya seperti itu, kami juga ikut nyengir saja, tidak berpanjang- panjang membahasnya. Hanya belakangan saja saat sedang menjalani winter camp itu, kami menanyakan padanya " Kau bisa nggak ngikutin diskusinya? " Dia menjawab, " Bisa koq. Walau lumayan berat, jadi mesti konsentrasi penuh.."
Nah, yang lucuuu.. sepulang dari winter camp itu dia bercerita begini pada kami, " Masa aku diledek 'dasar bocah' disana.. "
Hahaha. Ini lucu, sebab ia diledek begitu rupanya bukan karena keteteran atau tak bisa mengikuti saat diskusi berlangsung, tapi sebab saat mereka peserta winter camp dari beragam negara di dunia itu pergi beramai- ramai mencari kartu telpon lokal, setelah menunjukkan passportnya, anakku tidak diijinkan membeli. Rupanya, di negara itu ada batasan usia minimal untuk membeli kartu telpon dan dari passportnya ketahuan bahwa usia dia beberapa tahun lebih muda dari usia minimal yang disyaratkan. Semua peserta yang lain bisa membeli kartu telepon lokal tersebut, tapi si 'bocah' yang kemudaan itu ditolak.. hahaha..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H