Lalu jadi rikuhkah kami?
Tidak.
Aku menerima fakta bahwa dalam budaya tertentu, alkohol menjadi menu yang biasa dihidangkan dalam suatu pertemuan. Aku juga tahu bahwa keyakinan mereka tidak melarang hal tersebut. Pada saat yang sama, mereka menerima dengan baik pilihanku untuk mempertahankan apa yang kuyakini untuk tidak menyentuh minuman beralkohol tersebut sama sekali.
Nah lalu aku ngapain saat mereka minum- minum itu?
Ya, ngobrol dengan mereka sambil.. makan, dong. Aku malah jadi ‘untung’. Gara- gara sibuk dengan minuman dalam cawan itu, kawan- kawan tak banyak menyentuh makanan Korea lezat yang dihidangkan malam itu, jadi aku bisa makan sepuasnya. Haha.
Nah,begitulah ceritanya.Â
Semoga inti cerita yang agak ngalor ngidul ini tertangkap. Yang ingin kukatakan adalah bahwa sebenarnya, tidak semudah itu membuat seseorang yang berkeyakinan bahwa dirinya tak diijinkan untuk minum alkohol untuk kemudian mau ikut- ikutan pesta miras.
Jadi jika masih ada yang bisa dan/ atau mau ikut- ikutan seperti itu, atau berpikir bahwa seseorang akan semudah itu dipengaruhi dan mau ikut- ikutan, jangan buru- buru menyalahkan orang lain, tapi tengoklah dulu diri sendiri.Â
Periksalah dulu apakah kepribadiannya sendiri cukup kuat, apakah keyakinannya untuk tak menyentuh alkohol itu ada dalam setiap denyut nafas dan aliran darahnya? Sebab orang yang berkepribadian kuat yang meyakini sesuatu sungguh tak akan semudah itu dipengaruhi untuk mau minum alkohol, pesta ataupun mabuk minuman keras, bergaul dengan siapapun dia.
Begitu, lho. Salam hangat!
p.s. Mohon dicatat aku tak memiliki KTP DKI, jadi tulisan ini tak dimaksudkan sebagai kampanye pilgub. Aku bukan buzzer dan bukan tim sukses calon tertentu. Oh ya, aku juga hampir tak pernah menonton Liga Inggris, lho ( Halah, apa hubungannya, ya? Hehehe ).