Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernah Tak Makan Sebab Beasiswa Terlambat Diterima, Kini Gadis Ini Sudah Lulus Sarjana

24 Oktober 2016   10:03 Diperbarui: 24 Oktober 2016   10:38 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Selamat ya bu, anaknya sudah lulus..“

SORE itu, dua hari yang lalu, kupeluk anak gadis yang berdiri di hadapanku. Dan kusalami ibunya, untuk mengucapkan selamat.

Gadis itu, baru saja diwisuda pada pagi harinya. Dadaku penuh dengan rasa senang, bahagia, terharu…

***

“Ibu dan Bapak bisa bantu? Temanku sudah tidak makan beberapa hari. Beasiswanya terlambat turun..“

Dua tahun yang lalu, kuterima pesan pendek dari putri sulungku. Pesan yang mengatakan bahwa seorang teman baiknya ada dalam kesulitan. Teman yang diceritakan ini adalah teman kuliahnya, mahasiswa yang menerima beasiswa Bidikmisi -- bantuan biaya pendidikan yangdiberikan kepada para mahasiswa yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi.

Saat itu rupanya beasiswa Bidikmisi terlambat turun, dan belum ada kepastian akan kapan bisa diterima, sementara uang di dompet teman anakku itu tinggal dua puluh ribu rupiah.

Aku tahu teman yang dia maksud, karena putriku memang berteman dekat dengannya. Dia kost di kota tempat kuliahnya. Orang tuanya sendiri tinggal jauh di luar kota, di provinsi yang berbeda. Dan dia.. sudah beberapa hari tidak makan, katanya?

Perutku mendadak sakit membaca pesan yang dikirimkan putriku itu.

“Iya, “ kujawab segera pesan dari putriku, “ Bisa. Ibu dan Bapak bisa bantu. Nanti ibu kirim uang, berikan pada temanmu. Dan ajak dia ke rumah. Bilang sama yangti kau mau ajak teman pulang, mau ikut makan di rumah..“

Putriku, semenjak kuliah, memang juga tinggal di kota yang berlainan dengan kami orang tuanya. Dia tinggal bersama ibuku, neneknya. Dan aku tahu pasti, ibuku akan dengan senang hati mengijinkan teman anakku ikut makan di rumah.

***

Dan kini, dua tahun kemudian…

Sabtu akhir minggu yang lalu merupakan hari bahagia bagi kami sekeluarga.

Putra bungsu kami berulang tahun hari itu. Kami sekeluarga pergi makan malam di luar, dan hadir bersama kami, teman kuliah anak sulungku yang kuceritakan di atas, beserta ibunya. Ibunya yang tinggal di kota lain, di provinsi yang berbeda, datang ke kota dimana anaknya kuliah untuk menghadiri wisuda anaknya tersebut. Aku mengundang mereka untuk bergabung bersama kami di makan malam keluarga itu.

Putri sulung kami sendiri tak hadir dalam makan malam keluarga saat itu, sebab dia sendiri mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Dia sedang berada jauh disana, di benua yang berbeda. Jadi, kukirimkan saja padanya foto- foto ketika kami orang tua, adik- adik serta neneknya sedang makan malam bersama teman baiknya yang baru diwisuda beserta ibundanya itu. Makan malam yang menyenangkan, dan mengharukan.

Aku berulang kali harus menahan agar air mataku tidak tumpah, malam itu.

Ibu kawan putriku itu dengan sederhana menyatakan perasaannya tentang kelulusan putrinya.

“Ya senang, ya bangga, ya lega, “ katanya. “ Bagaimanapun, kan tidak semua orang bisa kuliah di kota ini. Tidak semua orang bisa kuliah di perguruan tinggi yang ini.“

Kuanggukan kepalaku. Kupahami apa yang dikatakannya. Perguruan Tinggi Negeri dimana putrinya kuliah, itu perguruan tinggi ternama di negeri ini. Googling dan ketikkan kata kunci ‘perguruan tinggi terbaik di Indonesia’, dan nama perguruan tinggi tersebut akan muncul di deretan atas.

Mengingat keterbatasan ekonomi, pengetahuan dan kemampuan mereka untuk memberikan sarana pendukung bagi anaknya, bisa menembus masuk dan lulus dari perguruan tinggi itu memang pasti membutuhkan banyak perjuangan.

Kami mengobrol saat makan malam itu.

“Dia ini kan kuliah dibiayai negara, “kata sang ibu sambil menunjuk anaknya.“ Kami sendiri tak mampu membiayai. Ayahnya sehari- hari menarik becak, tidak cukup uangnya untuk bayar kuliah.“

Aku tak banyak berkata- kata. Kudengarkan saja cerita ibu itu, sambil beberapa kali menelan ludah, untuk mencegah agar air mataku tidak mengalir keluar. Tidak lucu kan, malam itu kami sedang bersenang- senang sebab putra kami berulang tahun dan kawan putri kami wisuda, masa’ aku malah nangis- nangis. He he.

Sang ibu sendiri tidak bercerita dengan cara yang dramatis. Tidak pula ada air mata tumpah. Kami mengobrol biasa saja. Tapi ceritanya sendiri memang mengharukan.

“Dia mengurus semuanya sendiri,“ kata ibunya, “Kami kan nggak ngerti. Kami bukan orang pintar. Jadi semua urusan sekolah, dia atur sendiri. Jadi saya ini ya gimana ya, dia lulus ini, ya bangga, ya senang, tapi ya.. ya itu, gimana juga rasanya, sebab kami ini membiayai ya ndak bisa, mengurus ya ndak ngerti. Dia maju seperti ini, ya maju sendiri..“

Kalimat ibunya itu segera kami – aku dan suamiku – koreksi. “Ya tidak begitu bu, ini anaknya bisa maju begini kan juga karena ibu yang ngurus, yang membesarkan. Dan ibu doakan terus..“

Anak perempuan teman kuliah putri kami itu santun. Perilakunya baik. Orang tuanya bisa jadi memang tidak mampu secara ekonomi, sebab penghasilan pas pasan ayahnya yang menarik becak. Tapi kami percaya, betapapun ibunya mengatakan bahwa anak ini ‘mengurusi sendiri urusan sekolahnya’, peran orang tuanya sangat besar sampai dia bisa mencapai apa yang dicapainya sekarang. Lulus dari fakultas teknik perguruan tinggi yang ternama.

Aku tahu jalan yang dilalui anak ini untuk sampai lulus tidak mudah. Dia harus bekerja keras selama kuliah sebab dikejar target. Beasiswa Bidikmisi hanya akan diterima selama delapan semester. Maka dia tak bisa bersantai- santai, dia harus lulus tepat waktu dalam delapan semester.  

Lulus dengan IPK yang sangat baik, memahami kondisi keluarganya, dia tak mengambil jeda waktu untuk bersantai- santai dulu seusai lulus. Dengan gesit anak ini mencari peluang kerja dan kemarin mengatakan pada kami bahwa dia sudah diterima untuk kerja magang. “Sambil cari kerja tetap, magang dulu,“ katanya, “Dapatnya juga lumayan dari uang magang ini.“

Alhamdulillah.

Aku sungguh senang mendengar hal tersebut.

***

Dua tahun yang lalu, saat kuterima kabar dari anakku tentang teman kuliahnya yang sudah beberapa hari tidak makan sebab tak punya uang karena beasiswanya terlambat turun itu, waktunya hanya berselang beberapa hari dari keberangkatan aku dan suamiku ke Tanah Suci untuk berhaji.

Maka di puncak masa ibadah haji, ketika berada di Arafah, teman putriku ini menjadi salah satu orang yang kusebut namanya dalam doaku. Kupintakan kebaikan, kelancaran dan kesejahteraan hidup baginya pada Sang Maha Baik di Atas sana.

Dua hari yang lalu, di akhir minggu, kami kembali memasukkan dia ke dalam doa- doa kami.

Sebelum memulai makan malam, suamiku memimpin kami berdoa yang terutama ditujukan untuk untuk dua orang diantara kami, yakni putra bungsu kami yang sedang berulang tahun, serta teman kuliah anak sulungku yang baru diwisuda tersebut:  semoga ilmu yang diperolehnya di bangku kuliah akan membawa kebaikan bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya dan memberikan keberkahan bagi hidupnya kelak…

p.s. Tulisan terkait: http://www.kompasiana.com/rumahkayu/dana-terlambat-diterima-mahasiswa-penerima-beasiswa-bidikmisi-tak-makan-berhari-hari_54f5dc08a33311d6508b4696

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun