“ Wah, kami nggak punya durian lagi nih, kebun duriannya sudah dijual untuk biaya kuliah si sulung.. “
ITU kalimat yang dikatakan seorang kawan ketika kami suatu hari berkunjung ke rumahnya.
Anak pertama kawan itu memang baru masuk universitas ketika itu. Diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur mandiri, yang uang pangkalnya lebih mahal daripada melalui jalur reguler. Orang tuanya membayar dana yang diperlukan untuk kuliah anaknya tersebut dari penjualan tanah kebun durian yang dibicarakan itu.
Kelak ketika anak berikutnya kuliah, kawan yang sama menjual kebun lain lagi untuk membiayai kuliah anaknya.
***
Tak lengkap membicarakan urusan menyimpan dana untuk pendidikan anak tanpa membicarakan investasi.
Kalau kami suami istri memilih cara untuk menyimpan uang dalam bentuk tabungan pendidikan, kawan yang kami ceritakan ini memilih berinvestasi untuk membiayai kuliah anaknya.
Eh, bedanya apa sih, menabung dengan berinvestasi?
Bedanya, tabungan seperti yang kami pilih, jumlah akhirnya yang terkumpul akan hampir sama dengan yang kami setorkan. Sementara dalam kasus kawan kami, harga jual kebunnya jauh di atas harga beli kebun itu.
Hasil yang diperoleh, return dari investasi pembelian kebun kawan kami itu jauh di atas tabungan seperti yang kami lakukan. Tapi, resiko yang kami tanggung jauh lebih rendah. Selain itu tabungan bentuknya lebih cair daripada tanah atau bangunan. Dana dalam bentuk tabungan siap digunakan segera, sementara jika bentuknya tanah atau bangunan, akan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk menjualnya.
Nah, jadi pilihan tentang bagaimana cara menyimpan dan menyediakan dana untuk kepentingan pendidikan anak harus dikembalikan pada hal yang mendasar lagi: Pilih produk yang sesuai, bisa dipahami cara perhitungannya dan tingkat resikonya sanggup kita tanggung.