Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

No News is (No More) Good: Pepatah yang Berubah karena Teknologi

1 Oktober 2016   17:41 Diperbarui: 1 Oktober 2016   18:11 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: www.pinterest.com

Tentang pepatah klasik yang tak lagi tepat karena kemajuan teknologi...

TEKNOLOGI, bukan hanya merubah cara manusia berinteraksi satu sama lain. Teknologi, juga membuat pepatah klasik yang selama ini sering kita dengar menjadi tidak lagi terlalu tepat.

Ini contohnya.

Pernah dengar kalimat no news is good news?

Jaman dahulu kala, ketika alat komunikasi belum secanggih sekarang, jika tak ada kabar (yang sebaliknya), maka bisa diasumsikan semua keadaan baik- baik saja.

Kini?

Ha ha.

Ini cerita yang belum lama terjadi.

Suatu siang, telepon genggamku berdering.

" Ibu tadi telpon? " begitu suara di ujung sana.

" Hai. Eh, iyaaaa.. " jawabku senang. Yang menelepon itu si mas, anak tengah, cah lanang yang kuliah di luar kota.

" Ada apa, bu ? "

" Nggak..nggak ada apa- apa.. Cuma ibu heran aja, koq kau dari pagi dikirimin message ngga jawab- jawab.. "

Anakku tertawa di ujung sana. " Iya bu, tadi aku bangun siang, terus langsung kuliah. Ini lagi istirahat, sebentar lagi kuliah lagi.."

Haha. Anak tengah ini memang punya kebiasaan tidur lagi setelah shalat subuh. Dan lalu rupanya pagi hari itu dia kebablasan baru terbangun lagi agak mepet jam kuliah, hingga harus berangkat terburu- buru sebelum sempat membalas pesan ibunya.

Omong-omong, eh..emang pesan ibunya itu penting dan perlu jawaban urgent ya?

Hmm.. haha.. tidak juga. Pesannya tidak sedemikian pentingnya sehingga harus dibalas seketika itu juga. Hanya saja, saat setengah harian belum dibalas, koq ya ibunya jadi cemas…

***

Ada cerita lain lagi.

Ini tentang si sulung putri kami yang kini sedang kuliah di negara lain.

Pada suatu akhir minggu, dia berencana pergi ke kota lain. Kami orang tuanya tahu rencana itu. Bukan hanya sekedar tahu, tapi aku tahu detailnya. Aku tahu jam berapa dan dengan apa dia akan berangkat dari kota tempatnya tinggal ke kota tujuan. Lalu apa kendaraan sambungannya setelah itu. Siapa yang menjemput, dan sebagainya.

“ Kirim kabar, “ kataku. “ Saat busnya sudah tiba di kota tujuan. Saat sudah sambung naik kereta (bawah tanah) dan tiba di setasiun tujuan, dan saat sudah tiba di rumah budhe X. Salam dari ibu dan bapak untuk budhe X. “

Anakku memang akan menginap di rumah kenalan baik keluarga kami yang dipanggilnya budhe itu. Dan begitulah, dari jarak belasan ribu kilometer, kupantau perjalanan anakku sejak mulai berangkat, hingga tiba di rumah kenalan baik kami itu melalui kabar dari Line yang secara teratur dikirimkannya.

Dia tiba dengan selamat disana. Kami lega.

Nah, sedikit ‘masalah’ timbul melihat perjalanan pulang dari kota yang dikunjunginya ke kota tempat tinggal dimana dia kuliah sekarang.

Bus yang ditumpanginya akan tiba jam 4 pagi di kota tempat tinggalnya.

Hmmm.. jam 4 pagi?

“ Berapa jauh terminal bus-nya dari asramamu? “ itu pertanyaan pertamaku padanya ketika kuketahui jadwal itu.

“ 10 menit jalan kaki, “ jawab putriku.

Oh, tak terlalu jauh, rupanya. Tapi.. walau tak terlalu jauh, tetap saja, pertanyaan yang muncul di kepalaku adalah, amankah seorang anak perempuan berjalan kaki sendirian pada jam 4 pagi seperti itu disana?

Jadi, kuminta anakku untuk menanti hingga terang tiba. “ Tunggulah di tempat perhentian bus itu dulu sampai sudah agak terang sekitar jam 6 pagi, ya, “ kataku, “ Jangan nekad jalan kaki sendirian gelap- gelap jam 4 pagi.. “

Tapi percakapan kami diinterupsi oleh ayahnya. Suamiku.

Kata ayahnya, “ Kotamu itu aman nggak, Nduk ? “

“ Aman, koq, “ kata putriku.

“ Ya sudah, “ kata ayahnya, “ Kalau begitu lihat- lihat kondisi saja. Hitung- hitung sendiri ya, mana kira- kira alternatif paling baik. “

Hmmm. 

Kupahami apa yang dikatakan ayahnya pada putriku itu. Dasar bapak- bapak, he he.. pesan itu merubah pesanku yang jelas- jelas mengatakan ‘tunggu sampai terang’ menjadi ‘jika kau pikir itu lebih aman dan nyaman, kau bisa memilih opsi lain (daripada yang diminta ibu).Ha ha “

“ Kabari ya. Setelah sampai busnya, terus akhirnya gimana. Kalau bisa, tetap pilih nunggu sampai terang aja deehhh.. ” kataku akhirnya.

Putriku meng-iya.

Dan.. inilah yang kemudian terjadi..

***

Sejak putriku kuliah di luar negeri, aku memiliki jam ganda di telepon genggamku. Yang satu menunjukkan Waktu Indonesia Bagian Barat, yang satu lagi, menunjukkan waktu dimana putriku berdada.

Hari itu, kuperhatikan jam tersebut baik- baik.

Jam 4 pagi waktu di kota tempat putriku kuliah, jadwal dimana bus itu seharusnya sudah tiba.

Belum ada kabar.

Ah, mungkin bus-nya agak terlambat, pikirku.

Kunanti sebentar lagi.

10 menit kemudian…

Belum ada kabar.

20 menit kemudian..

Tak juga ada kabar.

Kutunggu lagi.

30 menit..

Lalu...

Ketika tak juga ada kabar setelah hampir 40 menit kutekan tombol telepon di telepon genggamku.

Dan sungguh aku lega sekali ketika telepon di ujung sana diangkat.

“ Nduk, “ kataku, “ Sampai mana ?”

“ Sudah sampai, “ jawab putriku.

“ Oh, baru sampai? “ tanyaku, “ Busnya telat? Mestinya jam 4 pagi tadi kan? Ini masih di halte ?”

Ada jeda sedetik sebelum putriku menjawab.

“ Sudah di dorm.. “

Haaa. Aih, dasar. Dia sudah tiba di dormitory, asramanya, ternyata?

“ Sudah di kamar? “

“ Belum, “ katanya, “ Ini baru mau masuk dorm.. “

Hmm.. Hmm..

Dan kupahami akal- akalannya. Kuduga, dia sengaja menunda mengabari dan niatnya akan menghubungiku begitu sudah tiba di kamarnya di asrama saja, sebab dia memutuskan untuk tidak menunggu sampai sekitar jam 6 pagi seperti permintaanku tapi menuruti saran ayahnya untuk “lihat- lihat situasi, hitung sendiri mana yang paling baik” saja – hal yang dia tahu akan membuatku cemas sebab permintaanku padanya kan ‘tunggulah sampai terang baru jalan ke asrama.. '.

Ha ha.

Ya itu, ‘sayang’-nya, niatan menunda menghubungi itu gagal. Dia lupa memperhitungkan bahwa ada ibunda di belahan dunia lain yang menanti kabar dan kini tak lagi menerapkan pepatah ‘no news is good news’.  Dengan kecanggihan teknologi saat ini, ibunya itu mengharapkan kabar real time dari putra- putrinya yang tinggal jauh dari rumah. Terlambat 40 menit mengabari, itu sudah cukup untuk membuat sang ibu sakit perut karena khawatir.. Ha ha.

p.s. Tulisan ini dibuat oleh seorang ibu yang (sebenarnya) baik saat lajang maupun setelah menikah juga sering luntang- lantung di tempat asing sendirian, dan sejauh ini merasa bahwa hal itu baik- baik saja, tapi tetap cemas jika putra- putrinya melakukan hal yang sama. Ha ha..

* Tulisan terkait: Ini Tentang Urusan Cinta dan Rindu yang Terjembatani oleh Teknologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun