Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Full Day School, Bukan Semata Tentang Jumlah Jam di Sekolah

27 September 2016   12:28 Diperbarui: 13 Juni 2017   11:26 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: fordesigner.com

Yang mana sekolahmu yang paling asyik, coba urutkan…

KERIUHAN soal wacana full day school dan pro kontra tentangnya beberapa bulan terakhir ini membuatku pada suatu hari membuka pembicaraan dengan anak tengah di keluarga kami dan mengajukan pertanyaan seperti di atas.

Kenapa sampai kubicarakan hal ini , sebab menurut pendapatku, full day school itu bukan semata tentang jam sekolah,bukan semata tentang berapa lama anak berada di sekolah.

Menurutku, jika niat diselenggarakan full day school itu tujuannya untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air, maka yang terpenting adalah konten. Tentang apa yang dilakukan di sekolah, dan bagaimana penyelenggaraannya. Termasuk di dalamnya, tentu saja, bagaimana hubungan para guru dengan muridnya.

Dan.. yang terpenting, apakah anak- anak akan bahagia menjalaninya.

Urusan berapa jam disekolah, bahwa full day school itu memiliki jumlah jam yang membuat anak- anak berada lebih lama di sekolah tidak lagi termasuk ke dalam hal yang ingin kuketahui. Atau paling sedikit, jika pertanyaan itu ditujukan pada anak (-anak)ku, pertanyaannya menjadi tidak lagi relevan. Sebab walau mereka menjalani sekolah di tempat yang berbeda- beda, sejak mereka duduk di kelas 3 SD mereka bersekolah hingga jam 3 sore. Jam yang kurang lebih sama mereka jalani sejak itu hingga lulus SMA.

Jadi, jumlah jam sekolahnya sih sama saja. Maka bukan itu yang kutanyakan.

***

Tentu saja, sebagai orangtua, aku memiliki gambaran tentang sekolah anak- anakku. Tapi bagaimanapun, yang sekolah setiap hari kan anak- anak. Itu sebabnya, kutanyakan pertanyaanseperti yang kusebutkan di atas pada anakku.

Dan…

Oh, kupahami dengan amat sangat bahwa wacana fullday school yang selama ini berseliweran dalam berita dan percakapan adalah tentang sekolah SD hingga SMA. Tapi spesifik mengenai pertanyaanku pada anak tengahku, aku memasukkan seluruh periode sekolahnya, dari SD hingga Perguruan Tinggi.

Kenapa?

Sederhana, sebab dikepalaku, Perguruan Tinggi itu juga ‘sekolah’ namanya. He he.

Tentang pertanyaannya sendiri, tujuan utama pertanyaanku bukan semata mengenai jam belajar, tapi tentang bagaimana anak- anak bisa belajar dengan bahagia. Sebab pendek atau panjangnya murid berada di sekolah hanya akan menjadi berarti dan bisa menanamkan nilai- nilai hidup yang baik jika anak- anak juga bahagia menjalaninya.

Nah, mengapa diantara ketiga anakku, pertanyaan ini diajukan pertama kali pada anak tengahku?

Sebab, jika bicara tentang sekolah, dialah yang paling ‘kaya pengalaman’. Kalau ingin tahu tentang apakah anak- anak bahagia di sekolah, menurutku mengambil sampel serupa anak tengahku yang memiliki riwayat mogok sekolah bertahun- tahun mungkin bisa membuat para konseptor sekolah dan orang tua memahami apa yang perlu ada dan apa yang bisa dieliminir di sekolah untuk mencegah terjadinya lebih banyak lagi anak-anak yang mogok sekolah.

Anak tengah ini menjadi ‘kaya pengalaman’, bersekolah di jenis sekolah yang berbeda- beda, sebab yaitu, anak tengah ini pada awal- awal usia sekolahnya hingga hampir lulus SD bolak- balik mogok sekolah, maka sangat menjadi tantangan bagi kami orangtuanya untuk mencarikan sekolah yang cocok.

Dan itu tidak mudah. Sebab disamping mencari sekolah dimana anak kami itu bisa bahagia, bagaimanapun sebagai orang tuanya kami juga menyadari bahwa proses bersekolah itu bukannya tanpa batas waktu. Tak bisa dalam rangka mencari kebahagiaan anak kami keluar masuk sekolah yang berbeda- beda dan menyelesaikan sekolahnya dalam waktu tak terbatas. Disamping itu, bagaimanapun salah satu tujuan utama sekolah adalah juga mengenai kecakapan akademik yang perlu dimiliki seorang anak dalam tingkatan sekolah tertentu.

Nah, jadi urusannya memang menjadi kompleks jika pada suatu batasan waktu tertentu, diharapkan anak bisa mencapai kecakapan akademik sampai suatu tingkatan yang diharapkan, yang prosesnya bisa dijalani dengan bahagia dan juga membangun karakter positif. Apalagi, jika anaknya adalah anak semacam anak tengahku, yang secara eksplisit beribu kali pernah mengatakan bahwa ‘sekolah itu tidak asyik’. Ha ha.

Maka anak tengahku ini pernah bersekolah di sekolah- sekolah dengan metode yang beragam, yakni sekolah Islam, sekolah berkurikulum Nasional yang diperkaya dengan kurikuluminternasional, dan di sekolah Negeri. 

Ini alasan utama kenapaaku tak menanyakan pertanyaan serupa pada anak pertamaku.

Anak pertamaku juga menjalani jam sekolah yang sama sejak dia kelas 3 SD. Pulang sekolah jam 3 sore. Tapi putri sulung kami ini model anak yang tak pernah mengeluh atau memiliki masalah urusan sekolah. Dia, tentu saja, juga tak selalu menapaki jalan yang mulus. Ada banyak tantangan yang dihadapinya. Tapi semua tantangan itu masih bisa dihadapinya dengan baik dan tenang. Maka dalam hal jenis sekolah, dia tidak se-kaya adiknya yang tengah. Putri sulung kami menjalani Sekolah Dasar di sekolah Islam, dan selanjutnya sejak SMP hingga PerguruanTinggi di sekolah negeri. Tak seberagam adik tengahnya.

Si bungsu, sempat aku tanyai juga pendapatnya. Tapi putra bungsu kami ini juga, berbeda dengan kakaknya, pengalaman sekolahnya berbeda. Putra bungsu kami ini melalui masa SD kelas 3 hingga SMP-nya di sekolah dengan metode yang sama, yakni sekolah berkurikulum Nasional yang diperkaya dengan kurikulum internasional. Juga, dia masih SMP saat ini, belum sampai tahap mahasiswa. Jadi baik keberagaman maupun panjang pengalamannya berbeda dengan kakak tengahnya yang jenis sekolahnya bermacam- macam itu...

***

Oh ya, kembali pada pasal kenapa kumasukkan juga perguruan tinggi ke dalam pertanyaanku pada si mas anak tengah kami ketika membicarakan fullday school padahal wacana yang berkembang sebetulnya semata tentang pelaksanaan full day school di SD hingga SMA, itu karena dasar pertanyaanku adalah hipotesaku sendiri bahwa bahagia atau tidak bahagianya seseorang di sekolah bukan semata karena jumlah jam di sekolah. Bahagia itu tentang apa dan bagaimana pengalamannya di sekolah (dan sekali lagi, mohon dicatat,Perguruan Tinggi menurut pendapatku juga kategorinya adalah ‘sekolah’ ).

Setelah menjalani masa panjang penuh gejolak, aku senang sekali melihat anak tengah kami saat ini stabil dan tampak gembira menjalani masa- masa kuliahnya.

Masuk  perguruan tinggi di usia enam belas setengah tahun, disana dia bukan hanya bisa mencapai nilai-nilai ujian yang bagus saja (walau ini juga penting, he he – dan yes, nilai ujiannya bagus-bagus, Alhamdulillah) tapi dia juga tampak menikmati pertemanan dengan kawan-kawannya di kampus dan kegiatan- kegiatan ekstra kurikulernya. Padahal jam yang dia lalui di kampus ini jauh lebih panjang daripada ketika dia bersekolah sejak SD hingga SMA. Ada banyak hari dimana dia ada di kampus sejak pagi hingga malam hari.

Dan..

Percakapan dengan anak tengah ini memang akhirnya membuatku makin sadar. Jika halnya menyangkut anak,maka penting untuk mengetahui pendapat anak itu sendiri. Sebab pendapat anak bisa jadi berbeda dengan pendapat orang tua.

Melihat pencapaian akademik dan kegembiraannya menjalani masa kuliah, tadinya saat kutanyakan padanya ‘mana yang paling asyik’ dari masa SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi pada anak tengahku, tadinya kuduga hampir pasti jawabannya: ya Perguruan Tinggi, dong…

Ternyata, dugaanku salah. Bukan itu jawabannya…

Jawaban dia tentang yangmana sekolahnya yang paling asyik adalah…

( nanti ya, ceritanya bersambung, panjang soalnya.. he he.. )

p.s. Tulisan terkait:Bisakah Sekolah Membentuk Karakter Anak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun