He he, sebetulnya tidak.
Saat ini dia tinggal di asrama universitas. Asramanya menyediakan makan dua kali sehari. Lalu satu kali dalam sehari dimana dia tidak mendapat jatah makan dari asrama, anakku memasak nasi sendiri. Tidak ada dapur di asramanya, hanya ada microwave di pantry. Maka, dia tak memasak lauk. Lauknya dia beli di luar dalam bentuk matang.
“ Beli apa biasanya ? “ tanya ayahnya pada putriku.
“ Beli ikan, “ jawab putriku. “ Ukurannya besar- besar. Sekali beli, bisa dimakan beberapa kali.”
Oh, jadi dia bisa makan ikan betulan, rupanya. Bukan hanya siripnya.
Belum lagi, rupanya di awal semester begini banyak tempat makan di sekitar kampusnya memberikan voucher makan gratis.
Adiknya sampai berkomentar, “ Mbak ini lho, koq kerjanya makan melulu… “ ketika suatu hari kakak sulungnya bercerita bahwa dia mendapatkan taco gratisan. “ Juga burrito, “ kata kakaknya.
“ Dan padahal kemarin malam katanya mbak juga dapat voucher makan malam gratis all you can eat dari tempat lain, terus pergi ramai- ramai dengan teman- temannya makan gratisan itu ,” cerita adiknya padaku.
Oh, begitu ya, pikirku.
Hmm, jadi memang sebetulnya aku tak harus terlalu mengkhawatirkan dia. Putri sulungku itu sedang menyongsong masa depannya dengan kuliah di benua lain, sambil bersenang- senang menikmati hidup.
Tapi sungguh, walau aku menyadari hal itu, aku sendiri tidak yakin bahwa setelah ini tak akan ada lagi air mata yang tumpah jika aku melihat suatu jenis makanan dan teringat pada si sulung.