Lalu, kutemukan lagi kenyamanan yang tak kuduga.
Betapa dia, Sang Maha Cinta, menjaga dan melimpahkan segala kemudahan itu. Ketika aku justru sudah menurunkan harapanku. Ketika aku sudah berjanji apapun yang kulihat nanti, tak akan kukeluhkan, ternyata memang nyatanya, tak ada yang patut dikeluhkan.
Dan lagipula…
Memang akan sangat dangkal jika membicarakan Arafah semata tentang akomodasi yang ada.
Sebab ada di Arafah pada 9 Dzulhijah itu berarti jauh lebih dalam daripada semata urusan akomodasi itu.
Sekali lagi, kata- kata tak akan cukup untuk bisa menggambarkan..
Berada di Arafah pada masa puncak haji, Jumat 9 Dzulhijah dua tahun lalu itu adalah keindahan tak terperi, kenikmatan  tak bertepi, ketika seluruh diri ini semata pasrah, pasrah, pasrah. Ketika seluruh kesadaran, jiwa dan raga terpusat pada Dia Yang Esa. Dia Sang Maha Cinta. Sang Pemilik Hidup. Pemilik seluruh kebaikan di Jagad Raya ini.
Berada di Arafah adalah karunia luar biasa. Yang secara murah hati diberikan pada dia Sang Kuasa padaku dan suamiku ketika itu. Kusadari, tanpa kehendakNya, tak akan bisa kami berada disana pada hari itu.
Di Arafah pada 9 Dzulhijjah dua tahun yang lalu, air mataku mengalir deras, merasakan semua karunia dan keindahan yang berlimpah, serta mengiringi doa- doa yang kukirimkan ke Atas sana, dengan sepenuh jiwa. Doa bagi diriku sendiri, bagi semua orang yang kusayangi, yang kucintai.