Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LombaPK] Ben Hur vs Tiga Dara: Merenda Nostalgia, Memelihara Sejarah

10 September 2016   11:33 Diperbarui: 10 September 2016   12:06 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Ben Hur dan Tiga Dara(screenrant.com/planetkenthir/dok.pribadi)

APA hubungan antara Ben Hur dengan Tiga Dara? Sepanjang yang kita tahu, hubungan keduanya baik-baik saja, hehehe. Ben Hur dan Tiga Dara adalah dua film klasik yang di era digital saat ini mencoba menggeliat.

Ben Hur adalah film epik yang dibuat tahun 1959 dan dibintangi aktor kharismatik Charlton Heston (yang tiga tahun sebelumnya juga berperan sebagai Nabi Musa dalam film epik kolosal terkenal, The Ten Commandments). Di masanya, Ben Hur yang diadaptasi dari kisah klasik karya Lew Wallace yakni Ben-Hur: A Tale of the Christ ini sangat spektakuler. Pembuatannya melibatkan lebih dari 200 unta dan 2.500 kuda. Adegan lomba kereta selama sembilan menit menjadi salah satu adegan paling terkenal sepanjang masa.

Ben Hur meraih rekor dengan mendapat 11 Academy Awards, termasuk untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktor Pemeran Utama Terbaik dan Aktor Pemeran Pembantu Terbaik. Rekor raihan Oscar oleh Film Ben Hur bertahan hingga puluhan tahun kemudian, dan baru dipatahkan oleh film Titanic di tahun 1997 dan The Lord of the Rings: The Return of the King tahun 2003.

Tahun 2016, versi baru dari fim Ben Hur diluncurkan, dengan pemeran yang baru dengan kisah yang sedikit berbeda. Dan hasilnya? Film berbiaya 100 juta dolar ini jeblok di pasaran. Saat tulisan ini dibuat, Ben Hur versi terkini baru meraup 54 juta dolar di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Tiga Dara? Seperti Ben Hur, Tiga Dara juga mencoba menggeliat dan eksis di era modern. Setidaknya ada dua pendekatan yang diambil. Pertama, membuat versi baru (atau lebih populer dengan istilah remake), dengan judul Ini Kisah Tiga Dara, dengan produser dan sutradara Nia Dinata. Film ini dibintangi oleh Titiek Puspa, Shanty Paredes, Tara Basro, Tatyana Akman dan Rio Dewanto.

Pendekatan kedua, dikenal sebagai restorasi. Yakni merestorasi film asli, dan membuatnya menjadi layak ditonton.

Apa saja yang direstorasi? Secara umum ada dua hal yang direstorasi, yakni kualitas gambar dan kualitas suara. Sebelum direstorasi, kualitas gambar sangat parah. Setiap frame banyak goresan, coretan, hingga bekas lem yang menguning. 

Adegan Tiga Dara sebelum restorasi (kanan) dan sesudah (kiri), foto dari Youtube/SA Films
Adegan Tiga Dara sebelum restorasi (kanan) dan sesudah (kiri), foto dari Youtube/SA Films
Setelah direstorasi, kualitas gambar menjadi lumayan. Setidaknya mata tidak menjadi sakit, hehehe.

Cuplikan adegan Tiga Dara sebelum restorasi (youtube/SA Films)
Cuplikan adegan Tiga Dara sebelum restorasi (youtube/SA Films)
Cuplikan adegan Tiga Dara sesudah restorasi (youtube/SA Films
Cuplikan adegan Tiga Dara sesudah restorasi (youtube/SA Films
Kualitas suara juga menjadi obyek restorasi. Sebelum direstorasi, banyak suara yang rusak. Ada yang bahkan tidak jelas dan terputus.

Proses restorasi fisik dan audio dilakukan di L'Immagine Ritrovata, Bologna, Italia selama 8 bulan dan dilanjutkan dengan konversi ke format digital yang dilakukan di Indonesia. Konversi bentuk digital untuk menghasilkan format 4K secara total filenya berukuran 12 tera (1 terabyte itu setara dengan  1000 gigabytes).

Menyelamatkan sejarah

Restorasi film Tiga Dara tak semata menyelamatkan satu judul film. Namun pada dasarnya merupakan bagian dari penyelamatan sejarah dan budaya. Ya. Lewat film Tiga Dara dengan kualitas layak tonton, kita bisa melihat seperti apa wajah Indonesia di tahun 1956.

Di tahun 1956 saya belum lahir. Kedua orang tua saya bahkan belum pacaran, dan belum berkenalan, hehehe. Saat itu ibu saya masih kanak-kanak dan ayah baru memasuki usia remaja. Ketika film Tiga Dara mendapat anugerah Piala Citra untuk kategori Tata Musik Terbaik pada Festival Film Indonesia 1960, ayah saya berada di hutan menjadi bagian dari gerilyawan pemberontak Permesta.

Lewat Tiga Dara saya bisa mengetahui bagaimana kondisi kehidupan salah satu keluarga Indonesia di Jakarta saat itu. Kondisi yang boleh dibilang cukup berada. Nunung, Nana dan Neni tinggal di rumah beton yang sangat luas, dan sudah menggunakan listrik (sementara sebagian wilayah Indonesia baru mendapat penerangan listrik di era ’70-an).

Di salah satu meja terlihat telepon, sementara mayoritas warga Indonesia baru akrab dengan telepon rumah di tahun ’80-an. Mereka punya piano (berapa banyak keluarga Indonesia di tahun 50-an yang punya piano?)

Di film itu kita bisa melihat bagaimana busana warga Indonesia (yang laki-laki umumnya mengenakan pakaian berwarna terang). Kita bisa melihat suasana jalan raya, ornament di dalam rumah, dapur, termasuk budaya dansa tradisional.

Film Tiga Dara dengan kisah yang lucu, dengan akting pemain yang (sejujurnya) “yah begitulah”, yang lagu-lagunya gak cocok di telinga saya yang suka ngerock, hehehe, menawarkan cita rasa Indonesia yang asli. Cita rasa yang memperlihatkan bagaimana corak kehidupan masyarakat, yang saat itu diperintah Kabinet Ali Sastroamidjojo II.

Restorasi vs realitas

Ketika film Tiga Dara versi restorasi diluncurkan pada 11 Agustus 2016, penikmat film menyambut dengan gegap gempita. Namun bagaimana animo penikmat film secara umum, khususnya para generasi muda? Animonya, sayang sekali, sangat rendah.

Menurut situs theatersatu yang mendapat data dari kelompok 21, hingga 4 September 2016, film Tiga Dara versi restorasi hanya ditonton 28.638 orang. Tiga Dara tak mampu menandingi keperkasaan film Uang Panai (rilis 25 Agustus 2016) yang meraup 239.337 penonton, Winter in Tokyo (rilis 11 Agustus 2016) dengan 108.877 penonton, dan Surat Untukmu (rilis 25 Agustus 2016) 31.772 penonton.

Mengingat Tiga Dara masa tayangnya di bioskop sudah berakhir (setidaknya di sinema langganan saya, yang bahkan hanya bertahan selama dua hari), maka dipastikan angka 28.638 itu tak akan bertambah. Bisa jadi, angka perolehan penonton film Tiga Dara akan dikalahkan oleh versi remakenya, Ini Kisah Tiga Dara yang kendati baru rilis 1 September sudah ditonton 20.305 orang.

Jika harga karcis rata-rata 50 ribu rupiah, maka penonton berjumlah 28.638 itu setara dengan 1.431.900.000 rupiah. Karena biaya restorasi mencapai angka 3 milyar rupiah, maka  bisa dibilang SA Films yang merestorasi film ini merugi sekitar 1,5 milyar rupiah!!!

Dengan kata lain, Tiga Dara memperlihatkan fakta pahit bahwa restorasi film nasional pada dasarnya merupakan proyek rugi. Bahwa akan ada uang yang terbuang. Dan jumlahnya milyaran.

Kita berharap, fakta terkait jumlah penonton tidak membuat SA Films, atau pihak lain yang berniat merestorasi film lawas Indonesia, mundur teratur atau merasa kapok.

Untuk itu, sinergi dan kontribusi pemerintah sangat diperlukan. Pemerintah seharusnya menganggarkan restorasi film lawas Indonesia. Jika satu tahun pemerintah menganggarkan 10 milyar untuk restorasi, maka di era pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla setidaknya ada belasan film lawas nasional yang terselamatkan.

Jika pemerintah menutup mata dan telinga (dengan alasan tak punya dana atau apalah), maka harapan kita hanya pada pihak-pihak seperti SA Films, yang mau berlelah dan bersusah payah mengeluarkan uang guna menyelamatkan asset berharga bangsa yang terancam lenyap.

Jika pemerintah berdiam diri, kita berharap, pihak SA Films (dan juga pihak lain) tetap berkomitmen dan melakukan perbuatan luhur, yakni merestorasi film lawas yang punya nilai budaya yang tinggi.

Sekalipun, di Indonesia, perbuatan luhur dan mulia terkadang tidak mendapat penghargaan yang sepantasnya…

Tiga Dara 

Produser: Usmar Ismail

Sutradara: Usmar Ismail

Penulis skenario: Usmar Ismail, M Alwi Dahlan

Pemeran: Chitra Dewi, Indriati Iskak, Mieke Wijaya, Rendra Karno, Fifi Young, Hassan Sanusi, Bambang Irawan, Roosilawaty

Format syuting: 35mm

Warna: Hitam Putih

Sistem suara: Mono

Bahasa utama: Indonesia

Genre: Komedi, Musikal

Lama tayang: 116 menit

Catatan

Tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber

Tulisan ini dibuat oleh penggemar Liga inggris yang suka nonton film Hollywood bergenre superhero, spionase, fiksi ilmiah namun jarangggggg banget nonton film Indonesia, hahahaha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun