Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LombaPK] Ben Hur vs Tiga Dara: Merenda Nostalgia, Memelihara Sejarah

10 September 2016   11:33 Diperbarui: 10 September 2016   12:06 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan adegan Tiga Dara sebelum restorasi (youtube/SA Films)

Restorasi film Tiga Dara tak semata menyelamatkan satu judul film. Namun pada dasarnya merupakan bagian dari penyelamatan sejarah dan budaya. Ya. Lewat film Tiga Dara dengan kualitas layak tonton, kita bisa melihat seperti apa wajah Indonesia di tahun 1956.

Di tahun 1956 saya belum lahir. Kedua orang tua saya bahkan belum pacaran, dan belum berkenalan, hehehe. Saat itu ibu saya masih kanak-kanak dan ayah baru memasuki usia remaja. Ketika film Tiga Dara mendapat anugerah Piala Citra untuk kategori Tata Musik Terbaik pada Festival Film Indonesia 1960, ayah saya berada di hutan menjadi bagian dari gerilyawan pemberontak Permesta.

Lewat Tiga Dara saya bisa mengetahui bagaimana kondisi kehidupan salah satu keluarga Indonesia di Jakarta saat itu. Kondisi yang boleh dibilang cukup berada. Nunung, Nana dan Neni tinggal di rumah beton yang sangat luas, dan sudah menggunakan listrik (sementara sebagian wilayah Indonesia baru mendapat penerangan listrik di era ’70-an).

Di salah satu meja terlihat telepon, sementara mayoritas warga Indonesia baru akrab dengan telepon rumah di tahun ’80-an. Mereka punya piano (berapa banyak keluarga Indonesia di tahun 50-an yang punya piano?)

Di film itu kita bisa melihat bagaimana busana warga Indonesia (yang laki-laki umumnya mengenakan pakaian berwarna terang). Kita bisa melihat suasana jalan raya, ornament di dalam rumah, dapur, termasuk budaya dansa tradisional.

Film Tiga Dara dengan kisah yang lucu, dengan akting pemain yang (sejujurnya) “yah begitulah”, yang lagu-lagunya gak cocok di telinga saya yang suka ngerock, hehehe, menawarkan cita rasa Indonesia yang asli. Cita rasa yang memperlihatkan bagaimana corak kehidupan masyarakat, yang saat itu diperintah Kabinet Ali Sastroamidjojo II.

Restorasi vs realitas

Ketika film Tiga Dara versi restorasi diluncurkan pada 11 Agustus 2016, penikmat film menyambut dengan gegap gempita. Namun bagaimana animo penikmat film secara umum, khususnya para generasi muda? Animonya, sayang sekali, sangat rendah.

Menurut situs theatersatu yang mendapat data dari kelompok 21, hingga 4 September 2016, film Tiga Dara versi restorasi hanya ditonton 28.638 orang. Tiga Dara tak mampu menandingi keperkasaan film Uang Panai (rilis 25 Agustus 2016) yang meraup 239.337 penonton, Winter in Tokyo (rilis 11 Agustus 2016) dengan 108.877 penonton, dan Surat Untukmu (rilis 25 Agustus 2016) 31.772 penonton.

Mengingat Tiga Dara masa tayangnya di bioskop sudah berakhir (setidaknya di sinema langganan saya, yang bahkan hanya bertahan selama dua hari), maka dipastikan angka 28.638 itu tak akan bertambah. Bisa jadi, angka perolehan penonton film Tiga Dara akan dikalahkan oleh versi remakenya, Ini Kisah Tiga Dara yang kendati baru rilis 1 September sudah ditonton 20.305 orang.

Jika harga karcis rata-rata 50 ribu rupiah, maka penonton berjumlah 28.638 itu setara dengan 1.431.900.000 rupiah. Karena biaya restorasi mencapai angka 3 milyar rupiah, maka  bisa dibilang SA Films yang merestorasi film ini merugi sekitar 1,5 milyar rupiah!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun